Bulan puasa bolehlah disebut bulannya sarungan. Lebih dekat dengan tradisi sarungan. Saat sholat tawarih, saat tadarusan bahkan saat ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa. Apalagi bila sarung dipakai anak-anak muda. Sebagai kain menjadi tradisi masyarakat Indonesia, sarung dengan berbagai motif-nya layak dijadikan gaya hidup atau flexing. Pamer sarungan nggak masalah dong.
Maraknya tawuran, penganiayaan, bahkan gaduh di media bisa
jadi karena banyak orang sudah jarang sarungan. Jadi apa saja dipersoalkan.
Sampai-sampai drawing piala dunia 2023 dibatalkan. Sudah lupa memakai sarung. Sehingga
gagal menahan diri. Semua hal “digaduhkan”. Makin lupa, bahwa bulan puasa itu
bulannya menahan diri.
Memakai
sarung itu berarti mau menahan diri. Karena yang ada di dalam sarung itu
"sesuatu" yang berbahaya. Keris, pistol pun ada sarungnya. Disarungi,
agar tidak bahaya buat orang lain. Maka sarungan itu untuk menahan apa-apa yang
ada di dalamnya. Tidak untuk diperlihatkan dan dipamerkan ke orang lain. Sayang
sekali, mulut nggak ada sarungnya? Sarung juga bukan soal harga atau prestise.
Tapi soal nilai-nilai. Nilai untuk menahan ego, nilai kesederhanaan. Karena
saat sarungan, siapapun jadi lebih beradab, lebih peduli pada akhlak.
Maka
sejatinya, orang yang sering sarungan. Harusnya mampu menahan diri. Menahan
diri dari omongan yang nggak perlu dan nggak bermanfaat. Menahan diri dari nafsu
berkuasa dan nafsu dunia. Bahkan saat sarungan, siapapun mampu menjaga orang
lain agar tidak mendapat keburukan darinya. Makanya sarungan, agar nggak cidera
atau menciderai.
Sarung
atau sarungan dapat melembutkan hati. Untuk membaguskan ibadah, memperbaiki
diri. Sementara orang yang jarang sarungan, bisa jadi urusan ibadah hanya sebatas
didiskusikan. Memperdebatkan ajaran agama tanpa ikhtiar mengamalkannya. Jarang
sarungan, jadi sibuk
"menyarungi-menutupi" pikirannya yang kotor. Agar semua terlihat
begitu indah, begitu sedap dipandang mata. Walau tidak bermakna apa-apa.
Kata
peribahasa "bagai menghasta kain sarung". Banyak orang suka melakukan
pekerjaan yang tidak menghasilkan apa-apa. Banyak orang suka melakukan pekerjaan yang sia-sia. Orang
zaman now, mungkin, sudah nggak suka pakai sarung. Jarang sarungan, jadi nggak
bisa menahan diri lagi, gemar dengan yang sia-sia. Zaman now, banyak orang gampang
panasan. Banyak yang nafsuan. Banyak yang flexing atau pamer harta. Sudah lupa
pakai sarung. Sehingga hidupnya dikuasai ego, dikuasai nafsu. Maka pakailah
sarung. Agar bisa menahan diri, bisa menjaga apa-apa yang berbahaya.
Sarungan,
sejatinya jadi simbol. Untuk ebih legowo dan mau menerima realitas. Karena
siapapun, orang besar atau orang kecil sama saja bila pakai sarung. Sarung nggak
pernah membeda-bedakan ukuran. Semua cocok dan pas bila memakai sarung. Jangankan
ke masjid atau di rumah. Sarung juga pantas dipakai ke undangan, ke tempat
kerja atau ke sawah sekalipun. Ngobrol memakai sarung pantas, main bola pakai
sarung pun bisa. Apalagi tarawih atau walimahan, sangat pas pakai sarung.
Zaman
boleh digital atau zaman edan. Tapi bukan berarti, melupakan sarung. Karena
sarung, itu tempat singgah kita yang paling apa adanya, paling asli. Sarung,
jadi simbol kesederhanaan. Agar lebih rajin ibadah, rajin berbuat dan menebar
kebaikan. Bahkan sarung, bisa jadi tren busana
yang menunjukkan kesopanan dan kewibawaan. Dan yang penting, memakai sarung
itu gulungannya di depan bukan di belakang. Biar nggak kebanyakan mengingat
masa lalu. Tapi lebih fokus ke masa depan. Sebut saja, literasi sarungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar