Ini hanya renungan seorang pegiat literasi. Jelang
puasa, ada banyak pikiran berkecamuk. Tentang susahnya anak-anak diajak membaca
buku. Susahnya orang tua mendamping anak-anaknya belajar. Hingga susahnya
mengamalkan ilmu di era media sosial, di era serba internet. Akankah puasa bisa
menjadikan kita lebih baik?
Ada benarnya memang.
Zaman dulu, orang sulit mencari ilmu tapi mudah
mengamalkannya. Tapi zaman sekarang, orang begitu mudah mencari ilmu tapi sulit
mengamalkannya.
Zaman dulu, ilmu selalu
dikejar, ditulis, dihafal, diamalkan, lalu diajarkan. Tapi zaman sekarang ilmu
hanya diunduh, disimpan, dikoleksi, lalu diperdebatkan.
Zaman dulu, siapapun butuh
peras keringat dan banting tulang untuk mendapatkan secercah ilmu. Tiap zaman
sekarang, cukup peras kuota internet sambil duduk manis ditemani secangkir kopi
dan cemilan ringan.
Zaman dulu, ilmu disimpan di
dalam hati sehingga selama hati masih normal ilmu tetap terjaga. Tapi zaman
sekarang, ilmu disimpan di dalam memory external atau gadget maka bila baterai
habis, ilmu pun tertinggal. Bila gadget rusak, hilanglah ilmu.
Zaman dulu, siapapun harus
duduk berjam-jam di hadapan guru penuh rasa hormat dan sopan agar ilmu bisa
merasuk menjadi berkah. Tapi zaman sekarang, cukup tekan tombol atau layar
sambil tidur-tiduran hingga ilmu merasuk bersama kemalasan.
Selamat datang siapapun.
Inilah zaman dimana bicara tanpa perlu suara. Melihat tanpa perlu tatap muka.
Memanggil tanpa perlu teriak. Hingga bicara hanya perlu ketik saja, melihat
hanya perlu klik saja, dan memanggil hanya perlu japri saja. Media sosial telah
menjadi budaya dan tuntunan. Sementara kitab suci bisa jadi semakin terlupakan.
Ilmu kian disepelekan. Akhlak dan adab pun kian terpinggirkan.
Di media sosial, semua ada.
Dari yang hanya melihat-lihat, sampai mereka yang beradu pendapat. Dari tingkah
yang dibuat-buat, sampai yang terang-terangan maksiat. Dari omongan yang penuh
nasihat, sampai yang hanya kepura-puraan. Tanpa sadar, jari-jari tangan pun
mulai berani berkhianat. Komat-kamit mulut jadi barang bukti kedustaan.
Wahai diri ini yang begitu
lemah tapi mengaku kuat. Wahai diri yang nestapa tapi berbuat arogan. Ingatlah,
tangan dan mata sebentar lagi akan menjadi saksi. Mata dan tangan yang jadi
musuh saat bersaksi. Atas apa yang dilihat dan diperbuat di media sosial.
Bersaksi di hadapan-Nya. Tanpa bisa lagi berdebat dan membantahnya.
Renungan jelang puasa seorang pegiat literasi. Hanya
mengingatkan untuk diri sendiri. Saatnya untuk kembali ke jalan-Nya. Sambil
menjadikan media sosial dan apapun sebagai ladang amal. Hentikan perbuatan
buruk dan perilaku jelek yang telah jadi kebiasaan. Saatnya untuk menanam dan
menebar benih kebaikan. Hingga menuai hasilnya di akhirat kelak.
Saat puasa, sudah cukup bila mau dan mampu
memperbaiki diri. Meluruskan niat, membaguskan ikhtiar, dan memperbaiki banyak
doa. Karena saya wajib mengenal dan memahami diri sendiri, bukan memahami orang
lain. Semangat puasa. #Pegiat:iterasi
#TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar