Pak Abdul Chaer, dia seorang ahli bahasa dan linguis yang tersisa di masa kini. Dia pula yang mengajari saya saat kuliah S-1 di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS IKIP Jakarta (kini UNJ). Selalin Pak Parera, dia-lah yang “menanamkan benih ilmu ” tentang linguistik, semantik, sosiolinguistik, bahkan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah (basarkomil). Tidak kurang dari 50 buku tentang linguistik, bahasa Indonesia dan budaya Betawi telah dihasilkannya.
Pak Chaer, begitu saya memanggilnya, adalah maestro linguistik
yang tersisa di era digital sekarang. Seorang cendekiawan yang sederhana namun
ber-ilmu tinggi. Banyak teori tata bahasa praktis dari tangannya yang dijadikan
referensi skripsi, tesis dan disertasi.
Sebagai putra asli Betawi, beliau pun sangat peduli terhadap kelestarian budaya
Betawi. Harus diakui, saya pun produk “racikan” beliau semasa kuliah. Dan
akhirnya, saya menekuni profesi sebagai pengajar di perguruan tinggi, profesional
di dana pensiun, dan pegiat literasi hingga kini.
Kini, Pak Chaer berusia 82 tahun. Tapi dia tetap aktif menulis
padahal draft tulisannya selalu dibuat dengan tulisan tangan. Sosok beliau-lah
yang menginspirasi saya sebagai pegiat literasi dan pendiri TBM Lentera Pustaka
untuk mengikuti jejaknya, untuk selalu menulis. Saya belajar betul darinya bahwa
membaca buku tidak cukup bila tidak mampu dituliskan. Karena sebaik-baik ilmu
bukanlah yang dipahami sendiri, melainkan yang mampu dibagikan kepada orang
lain. Karena itu, setiap hari pun saya menulis. Bagi saya, menulis adalah nafas
bagi pegiat literasi.
Sebagai wujud bakti dan penghormatan kepada beliau, pada
tahun 2010 lalu, saya sebagai Ketua IKA BINDO FBS UNJ (Ikatan Alumni Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNJ) menginisiasi penerbitan buku “Bunga Rampai
Problematika Bahasa Indonesia” di hari ulang tahun Pak Chaer yang ke-70 kala
itu. Bersama teman-teman alumni IKA BINDO FBS UNJ, kami mempersembahkan karya
yang sulit diulang kembali sebagai “hadiah istimewa” dari murid kepada sang
guru, Pak Chaer. Buku, adalah cara murid menghormati gurunya.
Kini sebagai mantan mahasiswa beliau, saya pun akan menjadi pembahas
dalam bedah buku peluncuran buku beliau
"Abdul Chaer: Linguis Peduli Budaya" pada Jumat 17 Juni 2022 pukul
14.00-16.00 WIB yang dilakukan oleh Pusake Betawi UNJ. Momen ini, buat saya,
adalah bentuk penghormatan murid kepada gurunya. Karena siapa pun boleh jadi
apa pun. Tapi ketika kehilangan “rasa hormat” kepada guru atau sesama, maka di
situ siapa pun telah kehilangan jadi dirinya.
Banyak orang lupa. Satu-satunya “barang”
yang tidak bisa dibeli oleh uang, pangkat, harta, bahkan popularitas adalah “rasa
hormat”. Banyak orang hidup secara fisik tapi sebenarnya mereka “telah mati”
akibat hilangnya rasa hormat. Di situlah substansi pentingnya punya rasa hormat
kepada siapa pun.
Jadi benar, hidup itu tidak usah “perfect” tapi cukup dengan “respect”. Salam literasi #IKABINDOUNJ #BedahBuku #AlumniMengabdi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar