Hari Buruh selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei. Buruh, pada dasarnya siapa pun yang bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Mau upahnya besar atau kecil, tetap saja buruh. Selain mendapatkan upah, maka syarat buruh pun harus punya majikan. Ada yang majikannnya orang, ada pula yang majikannnya perusahaan atau lembaga. Nah berarti, bila ada orang yang bekerja. Tapi tidak mendapatkan upah dan tidak jelas majikannya, maka dapat dikategorikan bukan buruh. Bisa jadi, mereka adalah pengusaha atau entrepreneur.
Istilah buruh, sejatinya dapat disamakan dengan pekerja, pegawai, karyawan, atau tenaga kerja. Yaitiu orang yang bekerja dan
mendapatkan upah. Walau terkadang istilah itu membingungkan. Bahkan tidak dapat
dipertukarkan. Misalnya, bila ada mbak-mbak yang disebut “pekerja seks komersial -
PSK”, kenapa tidak boleh dipanggil “buruh seks komersial – BSK”. Begitu pula
orang bekerja sebagai “buruh tani” pun tidak bisa disebut “pegawai tani”. Lalu,
apa mau “karyawan bank” dipanggil “buruh bank”? Bahkan dulu, sebelum dipanggil
ASN (Aparatur Sipil Negara), mereka disebut “pegawai negeri” tapi kerjanya
untuk negara. Maka jelas, urusan buruh itu kompleks dan sedikit memusingkan.
Sekarang
ini di Indonesia, setidaknya ada 130-an juta buruh atau pekerja. Baik di sektor
formal maupun informal. Di musim lebaran begini, mungkin semua yang mudik atau
pulang kampung statusnya buruh. Sebagian besar yang terkena dampak mahalnya
minyak goreng pun buruh dan keluarganya. Termasuk bila ada kasus korupsi atau OTT
KPK pun yang dirugikan sebenarnya buruh. Jadi segala hal dan urusan apa pun,
sejatinya tidak bisa dipisahkan dari problematikan buruh di Indonesia.
Satu
hal yang patut dipahami. Buruh itu bekerja bukan untuk kaya atau mengumpulkan
harta. Tapi bekerja untuk aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
menafkahi keluarga. Sesederhana itulah buruh memandang pekerjaan. Maka para pengusaha
dan perusahaan, sepatutnya tidak boleh bertindak semena-mena terhadap buruh.
Karena hari ini, para buruh tetap dihantui problematika. Seperti 1) masalah
upah atau gaji, 2) masalah pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup, 3)
masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), dan 4) masalah tunjangan dan kesehatan.
Maka di mata buruh, tidak ada pekerjaan yang tetap atau permanen. Karena kapan
pun, buruh nasibnya tergantung “majikan”. Dan pada level itu, bila terpaksa
berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan pun, buruh hanya bisa pasrah.
Di
era digital begini, buruh itu makin pusing. Semua urusan makin gampang via
online. Tapi daya beli buruh makin kalang-kabut. Puluhan tahun bekerja, buruh tetap
saja tidak punya uang banyak. Kebutuhan hidup makin meningkat, sementara
kesejahteraan tidak kunjung membaik. Buruh selalu khawatir. Bila seaktu-waktu
di-PHK atau tempat bekerjanya bangkrut. Belum lagi urusan masa pensiun buruh yang
kian tidak pasti. Maka jadi buruh itu pusing banget. Selain masalahnya
kompleks, kondisinya pun ketar-ketir.
Bila
hari ini, ada yang mengaku buruh tapi tidak pusing. Ya berarti itu bukan buruh.
Karena sejatinya, buruh itu hanya hanya simbol. Dan pusing adalah ciri
terpenting dari buruh. Jadi, saya buruh atau bukan? Selamat Hari Buruh #HariBuruh #Mayday
Tidak ada komentar:
Posting Komentar