Minggu, 01 Mei 2022

Literasi Buruh di Indonesia, Seperti Apa?

Hari Buruh selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei. Buruh, pada dasarnya siapa pun yang bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Mau upahnya besar atau kecil, tetap saja buruh. Selain mendapatkan upah, maka syarat buruh pun harus punya majikan. Ada yang majikannnya orang, ada pula yang majikannnya perusahaan atau lembaga. Nah berarti, bila ada orang yang bekerja. Tapi tidak mendapatkan upah dan tidak jelas majikannya, maka dapat dikategorikan bukan buruh. Bisa jadi, mereka adalah pengusaha atau entrepreneur.

 

Istilah buruhsejatinya dapat disamakan dengan pekerja, pegawai, karyawan, atau tenaga kerja. Yaitiu orang yang bekerja dan mendapatkan upah. Walau terkadang istilah itu membingungkan. Bahkan tidak dapat dipertukarkan. Misalnya, bila ada mbak-mbak yang disebut “pekerja seks komersial - PSK”, kenapa tidak boleh dipanggil “buruh seks komersial – BSK”. Begitu pula orang bekerja sebagai “buruh tani” pun tidak bisa disebut “pegawai tani”. Lalu, apa mau “karyawan bank” dipanggil “buruh bank”? Bahkan dulu, sebelum dipanggil ASN (Aparatur Sipil Negara), mereka disebut “pegawai negeri” tapi kerjanya untuk negara. Maka jelas, urusan buruh itu kompleks dan sedikit memusingkan.

 

Sekarang ini di Indonesia, setidaknya ada 130-an juta buruh atau pekerja. Baik di sektor formal maupun informal. Di musim lebaran begini, mungkin semua yang mudik atau pulang kampung statusnya buruh. Sebagian besar yang terkena dampak mahalnya minyak goreng pun buruh dan keluarganya. Termasuk bila ada kasus korupsi atau OTT KPK pun yang dirugikan sebenarnya buruh. Jadi segala hal dan urusan apa pun, sejatinya tidak bisa dipisahkan dari problematikan buruh di Indonesia.

 

Satu hal yang patut dipahami. Buruh itu bekerja bukan untuk kaya atau mengumpulkan harta. Tapi bekerja untuk aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarga. Sesederhana itulah buruh memandang pekerjaan. Maka para pengusaha dan perusahaan, sepatutnya tidak boleh bertindak semena-mena terhadap buruh. Karena hari ini, para buruh tetap dihantui problematika. Seperti 1) masalah upah atau gaji, 2) masalah pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup, 3) masalah pemutusan hubungan kerja (PHK), dan 4) masalah tunjangan dan kesehatan. Maka di mata buruh, tidak ada pekerjaan yang tetap atau permanen. Karena kapan pun, buruh nasibnya tergantung “majikan”. Dan pada level itu, bila terpaksa berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan pun, buruh hanya bisa pasrah.

 


Di era digital begini, buruh itu makin pusing. Semua urusan makin gampang via online. Tapi daya beli buruh makin kalang-kabut. Puluhan tahun bekerja, buruh tetap saja tidak punya uang banyak. Kebutuhan hidup makin meningkat, sementara kesejahteraan tidak kunjung membaik. Buruh selalu khawatir. Bila seaktu-waktu di-PHK atau tempat bekerjanya bangkrut. Belum lagi urusan masa pensiun buruh yang kian tidak pasti. Maka jadi buruh itu pusing banget. Selain masalahnya kompleks, kondisinya pun ketar-ketir.

 

Bila hari ini, ada yang mengaku buruh tapi tidak pusing. Ya berarti itu bukan buruh. Karena sejatinya, buruh itu hanya hanya simbol. Dan pusing adalah ciri terpenting dari buruh. Jadi, saya buruh atau bukan? Selamat Hari Buruh #HariBuruh #Mayday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar