Bisa mudik lagi tahun ini, setelah 2 tahun dilarang mudik akibat pandemi Covid-19. Bila terjadi macet di mana-mana, terpaksa dilakukan rekayasa lalu lintas. Itu semua hanya konsekuensi dari euforia mudik yang telah lama dinantikan. Jadi, tidak usah marah-marah di jalan. Nikmati saja perjalanannya dan syukuri atas anugerah-Nya. Karena akhirnya bisa mudik lagi.
Mudik itu memberi energi tersendiri.
Bukan soal orang kampung atau orang kota. Tapi mudik adalah sikap tentang cara
menghargai kampung halaman, cara menghormati tanah kelahiran dan bumi pijakan
para leluhur. Tidak peduli macet, tidak peduli panas terik matahari. Demi
menjenguk rindu akan kampung halaman dan segala kenangan yang ada di dalamnya.
Mudik berarti pulang kampung. Tradisi
leluhur bangsa Indonesia. Kebiasaan yang sama sekali tidak terpengaruh oleh
kemajuan teknologi. Mau secanggih apapun otak manusia, sehebat apapun
teknologi. Mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Ibaratnya, mudik adalah simbol
“lonceng disuruh pulang”. Sebuah panggilan psikologis untuk pulang. Karena
dengan mudik, siapa pun dapat “menemukan” kembali jati dirinya, seperti
aslinya.
Literasi mudik sulit dibantah. Karena
mudik adalah sebuah panggilan batin. Untuk mengingatkan manusia tentang “dari
mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju …”. Mudik hanya simbol. Bahwa setiap
manusia pasti akan pulang. Pulang ke kampung halaman, pulang ke orang tua. Dan
pada akhirnya akan pulang ke haribaan sang pencipta. Karena ke mana pun manusia
pergi dan berjalan, akhirnya akan “pulang” juga.
Mudik adalah ritual sederhana. Untuk
mengenali siapa sebenarnya manusia, di samping jadi momen untuk mencapai
kesucian lahir dan batin. Sebuah proses tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang
pernah dikotori oleh diri sendiri. Di kampung halaman, pemudik siap melapangkan
hati untuk menemui orang tua dan sanak saudara. Lalu berani meminta maaf dan
memaafkan kesalahan orang lain.
Maka mudik seharusnya bukan hanya
seremoni. Tapi harus dilihat dari esensi. Sebagai cara untuk mereposisi hakikat
hidup dan kehidupan manusia. Mudik untuk kembali pada empat filsafat hidup
manusia, yaitu:
1.
Lebaran, sebagai
tanda tuntasnya kewajiban berpuasa,
zakat fitrah, dan ibadah sunah lainnya. Tanda kemenangan orang-orang yang
berpuasa.
2.
Luberan sebagai
tanda melimpahnya rezeki dan karunia Allah SWT untuk berani berbagi dan sedekah
kepada kaum yang membutuhkan.
3.
Leburan sebagai
tanda melebur dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat sebelumnya. Berani dan
bersedia meminta maaf dan memaafkan agar terlebur dalam kesucian lahir dan batin.
4.
Laburan sebagai
tanda “kembali fitrah”, suci kembali. Dan senantiasa menjaga kebersihan lahir
dan batin di usia tersisa, di samping hijrah pada kebaikan.
Mudik, tentu bukan hilir-mudik. Bukan
pula ajang memamerkan kekayaan atau status sosial. Tapi mudik jadi momen
membangun kesadaran diri. Bahwa manusia itu bukan apa-apa dan bukan
siapa-siapa. Mudik sebagai proses untuk mengingatkan kembali. Akan arti penting
hidup yang sederhana, ikhlas, dan sabar. Bahwa manusia itu berasal dari Allah
SWT dan akan kembali kepada Allah.
Kenapa mudik? Karena hari ini makin
banyak manusia yang lupa “jalan untuk pulang”. Akibat terlalu cinta pada dunia,
pada pangkat pada jabatan. Salam
literasi #LiterasiMudik #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar