Jumat, 29 April 2022

Literasi Mudik, Agar Tidak Lupa Jalan Pulang

Bisa mudik lagi tahun ini, setelah 2 tahun dilarang mudik akibat pandemi Covid-19. Bila terjadi macet di mana-mana, terpaksa dilakukan rekayasa lalu lintas. Itu semua hanya konsekuensi dari euforia mudik yang telah lama dinantikan. Jadi, tidak usah marah-marah di jalan. Nikmati saja perjalanannya dan syukuri atas anugerah-Nya. Karena akhirnya bisa mudik lagi.

 

Mudik itu memberi energi tersendiri. Bukan soal orang kampung atau orang kota. Tapi mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman, cara menghormati tanah kelahiran dan bumi pijakan para leluhur. Tidak peduli macet, tidak peduli panas terik matahari. Demi menjenguk rindu akan kampung halaman dan segala kenangan yang ada di dalamnya.

 

Mudik berarti pulang kampung. Tradisi leluhur bangsa Indonesia. Kebiasaan yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Mau secanggih apapun otak manusia, sehebat apapun teknologi. Mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Ibaratnya, mudik adalah simbol “lonceng disuruh pulang”. Sebuah panggilan psikologis untuk pulang. Karena dengan mudik, siapa pun dapat “menemukan” kembali jati dirinya, seperti aslinya.

 

Literasi mudik sulit dibantah. Karena mudik adalah sebuah panggilan batin. Untuk mengingatkan manusia tentang “dari mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju …”. Mudik hanya simbol. Bahwa setiap manusia pasti akan pulang. Pulang ke kampung halaman, pulang ke orang tua. Dan pada akhirnya akan pulang ke haribaan sang pencipta. Karena ke mana pun manusia pergi dan berjalan, akhirnya akan “pulang” juga.

 

Mudik adalah ritual sederhana. Untuk mengenali siapa sebenarnya manusia, di samping jadi momen untuk mencapai kesucian lahir dan batin. Sebuah proses tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri sendiri. Di kampung halaman, pemudik siap melapangkan hati untuk menemui orang tua dan sanak saudara. Lalu berani meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain.

 


Maka mudik seharusnya bukan hanya seremoni. Tapi harus dilihat dari esensi. Sebagai cara untuk mereposisi hakikat hidup dan kehidupan manusia. Mudik untuk kembali pada empat filsafat hidup manusia, yaitu:

1.      Lebaran, sebagai tanda tuntasnya  kewajiban berpuasa, zakat fitrah, dan ibadah sunah lainnya. Tanda kemenangan orang-orang yang berpuasa.

2.      Luberan sebagai tanda melimpahnya rezeki dan karunia Allah SWT untuk berani berbagi dan sedekah kepada kaum yang membutuhkan.

3.      Leburan sebagai tanda melebur dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat sebelumnya. Berani dan bersedia meminta maaf dan memaafkan agar terlebur dalam kesucian lahir dan batin.

4.      Laburan sebagai tanda “kembali fitrah”, suci kembali. Dan senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin di usia tersisa, di samping hijrah pada kebaikan.

 

Mudik, tentu bukan hilir-mudik. Bukan pula ajang memamerkan kekayaan atau status sosial. Tapi mudik jadi momen membangun kesadaran diri. Bahwa manusia itu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Mudik sebagai proses untuk mengingatkan kembali. Akan arti penting hidup yang sederhana, ikhlas, dan sabar. Bahwa manusia itu berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada Allah.

 

Kenapa mudik? Karena hari ini makin banyak manusia yang lupa “jalan untuk pulang”. Akibat terlalu cinta pada dunia, pada pangkat pada jabatan. Salam literasi #LiterasiMudik #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar