Kisah ini sering terjadi di Indonesia. Saat beberapa orang pintar ngobrol di kedai kopi. Kata mereka, “Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya seperti ini kok penduduknya masih banyak yang miskin?”. Itulah obrolan orang-orang keder, bukan orang pintar. Mereka yang ngobrol, lalu mereka yang tanya pula. Anehnya, kok bisa-bisanya tidak ada di antara mereka yang mampu menjawab. Aneh sekali, mampu mempertanyakan tanpa mampu menjawabnya.
“Kenapa ya, bangsa
Indonesia yang kaya raya kok penduduknya masih banyak yang miskin?” Jawabnya
sederhana, karena kita tidak mau mengakui. Bahwa kita tergolong kaum yang tidak
mampu berbuat apa-apa. Fokusnya hanya pada masalah, bukan solusi. Terlalu
banyak bertanya tanpa mau berjuang untuk mencari jawabannya. Banyak bicara tapi
sangat sedikit berbuat. Jadi, hanya bisa menyalahkan orang lain, menyalahkan
bangsanya sendiri.
Berani mengakui realitas,
itulah makna hari buku sedunia. Karena pengakuan, bisa jadi hal yang langka
hari-hari ini. Banyak orang tidak mau mengakui keadaan yang objektif. Gagal
mengakui bahwa kita belum optimal berbuat. Bangsa Indonesia sangat butuh keberanuian
untuk mengakui. Pengakuan tentang apa saja. Mengaku belum optimal berbuat nyata
untuk bangsanya. Mengaku belum maksimal berbuat untuk rakyatnya. Harus diakui. Mengaku
salah, mengaku banyak kekurangan, mengaku tidak membaca buku.
Ketika minyak goreng
langka dan mahal, kita marah-marah. Saat mafia minyak goreng ditetapkan
tersangkam dibilang gimik. Jadi maunya gimana? Kok, semakin pintar semakin
tidak mampu mengakui keadaan yang objektif. Masih ingat dulu, wabah Covid-19 dituding
rekayasa. Covid-19 divonis sebagai propaganda negara lain. Tapi faktanya,
menimbulkan korban jiwa puluhan ribu. Semua orang dibatasi dan terpaksa “berdiam
di rumah” selama 2 tahun. Kenapa tidak mau mengakui keadaan? Kita butuh memperbesar
sikap untuk memgakui di hari buku sedunia.
Sebuah pengakuan di
hari buku sedunia.
Setengah dari
populasi orang Indonesia, 180-an juta orang, Saat ini sudah punya akses internet.
Tapi sayang, tradisi membaca tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara
berselancar di dunia maya bisa 5-8 jam sehari. Internet ada genggaman tangan.
Tapi digunakan untuk hal yang tidak produktif. Begitu diingatkan jangan main
internet terus? Langsung jawab, kuota punya gue handphone punya gue. Ngapain
sih mikirin urusan orang?
Maka akuilah, apa pun
yang terjadi. Pengakuan adalah cara mudah untuk muhasabah diri, untuk
instrospeksi diri. Karena terlalu banyak sisi kehidupan kita yang belum mau
diakui. Saat kita belum berbuat optimal, maka masalah bangsa pun akan tetap
ada. Lagi pula, memang ada satu bangsa di dunia ini tanpa masalah? Jadi,
akuilah realitas yang terjadi dan berbuatlah untuk mencari solusi atas masalah.
Bukan hanya bisa mempermasalahkan lalu menyalahkan orang lain.
Di dekat kita, ada
orang-orang tidak punya uang tapi bergaya selangit. Ada kaum jomblo yang sibuk
ingin berduaan. Seperti orang-orang yang merasa peduli sosial tapi tidak
berbuat apa-apa selain ocehan. Ibarat “orang yang memegang buku tapi tidak
pernah membacanya”. Maka akuilah realitas yang harus diakui. Termasuk mengakui
kekurangan diri sendiri. Mau mengakui, kita belum berbuat apa-apa. Lalu, kenapa
harus membenci orang tidak
seharusnya dibenci?
Di Hari Buku Sedunia,
23 April ini. Inilah momen untuk bersikap objektif. Untuk lebih berani mengakui
realitas. Untuk menambah energi untuk memberi solusi bukan mempermasalahkan. Jangan
hanya bisa menuding orang lain tanpa mau mengakui kesalahan diri sendiri. Untuk
introspeksi diri, muhasabah diri apalagi di bulan puasa. Bahwa dalam hidup, banyak
hal yang harus terus diperbaiki, baik untuk diri sendiri, untuk lingkungan, dan
untuk bangsa Indonesia. Berpikir lebih positif dan bertindak lebih manfaat. Agar
hidup atas apa yang diperbuat bukan atas yang diomongkan.
Maka bacalah buku
kembali. Bila belum mampu berbuat optimal untuk siapa pun dan apa pun. Karena buku
adalah sumber ilmu terbaik bagi siapa pun yang membacanya. Buku pun bisa jadi
sahabat paling setia yang rela mendampingi siapa pun dalam keadaan apa pun. Tanpa
pernah mempermasalahkan dibaca atau tidak dibaca. Karena sebaik-baik teman
sepanjang zaman adalah buku. Dan bila tidak mempu membaca buku lagi, maka
diamlah. Tidak usah banyak omong atau menuding orang lain.
Dan ketahuilah, sangat salah bila membaca buku untuk
pintar. Buku juga bukan alat untuk kaya dan sukses. Tapi buku adalah jembatan
untuk mencapai keseimbangan dalam hidup manusia. Agar selalu seimbang antara
jasmani dan rohani, seimbang antara pikiran dan tindakan. Untuk apa pintar
secara pikiran tapi tidak ada aksi nyata dalam perbuatan?
Maka di Hari Buku Sedunia. Setiap buku yang dibaca
seharusnya mampu diimplementasikan dalam kehidupan. Agar ada manfaatnya, ada
dampaknya dari membaca buku. Dan membaca buku itu ibarat tubuh tanpa jiwa. Untuk keseimbangan
hidup. Sehingga berani mengakui diri sendiri apa adanya, bukan berjuang keras
untuk menjadi seperti orang lain. Salam
literasi #HariBukuSedunia #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar