Literasi sering disebut banyak orang. Ada yang menyebut literasi sebatas kemampuan membaca dan menulis. Ada pula yang meluaskan literasi menjadi keterampilan dalam berbahasa. Seiring dinamika zaman, literasi pun diterjemahkan lebih luas lagi. Muncul istilah “literasi dasar” sebagai landasan pengetahuan dan kecakapan dalam memperoleh dan mengolah informasi untuk mengembangkan pemahaman dan potensi diri seseorang. Ada 6 cakupan literasi dasar, yaitu 1) baca-tulis, 2) numerasi, 3) sains, 4) finansial, 5) budaya dan kewargaan, dan 6) digital. Tapi bila ada literasi dasar, mana literasi lanjutannya? Atau esok, boleh saja literasi dipetakan atas dasar literasi elementary, literasi intermediate, dan literasi advance. Memang literasi terus berdinamika dan tidak bisa “diberhentikan” di satu titik definisi.
Literasi memang terus ber-evolusi. Seiring dinamika abad 21, Clay dan Ferguson (2001) pun menjabarkan sebagai literasi informasi
yang mencakup literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi
media, literasi teknologi, dan literasi visual. Mungkin, literasi informasi
agak cocok di era digital. Sebagai antisipasi terhadap hoaks, hate speech,
dan penyimpangan informasi yang bertebaran di masyarakat. Hingga di titik ini,
literasi sudah melibatkan kemampuan berpikir seseorang. Menarik untuk dicermati
tentunya.
Jadi,
apa simpulan sementara tentang literasi?
Sekali
lagi, tidak ada simpulan baku tentang literasi. Karena literasi bukanlah sebuah
keniscayaan. Tapi literasi adalah sebuah sikap moral akan pentingnya kesadaran
belajar dan memahami realitas kehidupan. Sehingga siapa pun memiliki komitmen
untuk terus memperbaiki diri. Kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Setelah
menekuni dunia literasi dan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera
Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, saya pun meyakini tidak akan menemukan
definisi literasi yang paling pas. Tapi setidaknya hingga saati ini, saya bisa
menyimpulkan sementara tentang literasi yaitu 1) kesadaran untuk belajar secara
berkelanjutan, 2) kemampuan memahami realitas kehidupan, dan 3) proses untuk
memperbaiki diri dan bertahan hidup di segala zaman. Di era revolusi industri dan
serba digital begini, menurut saya, hanya literasi yang mampu meredam dampak negatif
dari dinamika peradaban manusia. Selain agama tentunya.
Apa
pun dalihnya, tujuan besar literasi adalah menjadi keadaan lebih baik. Bila
ilmu dan pendidikan makin tinggi tapi tidak menjadikan keadaan lebih baik,
berarti belum ada literasi. Bila zaman makin maju dan serba digital tapi hoaks dan
gaya hidup makin buruk, maka belum terjadi literasi. Maka literasi membutuhkan
kesadaran untuk belajar terus-menerus. Literasi pun harus menjadikan seseorang
mampu memahami realitas kehidupan, dengan segala lebih dan kurangnya. Dan
ujungnya, literasi adalah proses yang tidak akan pernah berhenti, butuh aksi
nyata di lapangan. Jadi, manusia literat tidak mungkin terjadi bila tidak
memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu sadar, paham, dan berproses. Literasi bukan
wacana apalagi hanya sebatas diseminarkan di mana-mana. Literasi itu pada akhirnya harus berujung pada
“ubah niat baik jadi aksi nyata”.
Ini
kisah nyata yang saya alami di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Saat berdiri di tahun 2017, TBM Lentera
Pustaka awalnya hanya menjalankan taman bacaan dengan 14 anak yang bergabung
dan koleksi bukunya pun hanya 600 buah. Tidak punya relawan. Hanya untuk
menyediakan akses bacaan kepada anak-anak di daerah yang angka putus sekolahnya
tergolong tinggi. Niatnya hanya untuk menekan angka putus sekolah. Tapi kini
setelah 5 tahun berjalan dan dengan mengembangkan model “TBM Edutainment”, TBM
Lentera Pustaka sudah menjalankan 13 program literasi, yaitu: 1) TAman BAcaan (TABA) dengan 140 anak
pembaca aktif usia sekolah yang berasal dari 3 desa, setiap anak pun mampu
membaca 3-8 buku per minggu per anak, 2) GEBERBURA
(GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA (Kelas
PRAsekolah) dengan 26 anak, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang
disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai sekolah, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan
8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI
LENTERA dengan 33 ibu-ibu anggota, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin
menaBUng) melalui celengan, 10) LITDIG (LITerasi DIGital) seminggu sekali, 11)
LITFIN (LITerasi FINansial) sebagai edukasi keuangan, dan 12) LIDAB (LIterasi
ADAb) untuk mengajarkan akhlak dan kesantunan, serta 13) MOBAKE (MOtor BAca
KEliling) yang beroperasi seminggu 2 kali. Dengan koleksi lebih dari 10.000
buku dan didukung 18 relawan aktif, tidak kurang dari 250 orang menjadi
pengguna layanan literasi di TBM Lentera Pustaka setiap minggunya. Hingga kini,
TBM Lentera Pustaka sangat aktif dalam menjalankan program literasi secara
rutin. Kata orang, taman bacaan yang paling komprehensif.
Manusia
Indonesia yang literat adalah target gerakan literasi itu sendiri. Bukan hanya
bisa membaca dan menulis. Tapi agar siapa pun mampu mengendalikan hawa nafsu
dan egonya sendiri. Tetap mau peduli, mau berbuat lebih baik dan menjaga
pikiran yang positif dalam setiap keadaan. Jangan karena nafsu, manusia merasa
boleh melakukan apa pun. Termasuk membuat “tempat tinggal” virus-virus terjajah.
Itulah sebab terjadinya pandemic Covid-19. Karena “rumah” virus yang terjajah
sehingga menyerang manusia itu sendiri.
Jadi,
simpulan sementara tentang literasi. Adalah sikap moral akan pentingnya
kesadaran belajar dan memahami realitas kehidupan. Agar bersedia untuk memperbaiki
diri dari waktu ke waktu. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar