Sebagai pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka, saya adalah pengagum sarung. Cukup fanatik memakai sarung. Bahkan sehari-hari lebih senang memakai sarung daripada celana panjang. Selain jadi fashion, sarung pun punya nilai-nilai filosofis yang jadi sikap hidup saya. Sebutlah saya, kaum sarungan. Mungkin juga sedikit kampungan.
Kaum
sarungan. Sungguh, bukan soal gengsi atau prestise. Melainkan soal nilai-nilai.
Tentang cara sederhana untuk hidup sederhana dan berani menahan ego. Sekaligus
menjaga diri dari nafsu dunia. Kaum sarungan pun, selali komit untuk menjaga
orang lain. Agar tidak mendapat keburukan darinya. Karena sarungan itu ada
adabnya, ada akhlaknya.
Sarungan itu hanya simbol. Untuk lebih legowo dan mau
menerima realitas. Tidak perlu mengejar kesempurnaan dalam hal apa pun. Ketika
sarungan pun, tidak ada lagi orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat
atau jabatan. Semuanya sama saja dan setara. Karena sarung tidak pernah
membeda-bedakan orang. Apalagi kasta social. Persis seperti mottonya, “sarung
untuk semua”.
Tapi sayang di era digital
sekarang. Makin banyak orang yang tidak suka sarungan. Jarang memakai sarung. Mungkin
di matanya, sarung tidak keren. Maka pantas, banyak orang makin sulit menahan
diri. Terlalu emosial dan mudah tersinggung. Bahkan baperan, sehingga gampang
benci ke orang lain. Mudah menyalahkan orang lain, seolah-olah apa yang terjadi
pada dirinya akibat ulah orang lain. Jarang sarungan, akibatnya ber-mentalitas
korban. Susah move on.
Kaum
sarungan pun ada di taman bacaan. Hidupnya dihabiskan untuk menebar kebaikan kepada
orang lain. Selalu berbuat nyata untuk menebar manfaat kepada sesama. Sarungan
di taman bacaan, sederhana dalam ucapan tapi berdampak dalam tindakan. Berbeda
dengan orang-orang di media sosial. Malah terlalu banyak ucapan tapi sedikit dalam
perbuatan. Spirit sarungan itulah yang menginspirasi TBM Lentera Pustaka
di kaki Gunung Salak. Saat berdiri 2017 lalu, hanya ada 14 anak, kini menjadi
130 anak pembaca aktif. Cakupannya hanya 1 desa, kini menjadi 3 desa. Tadinya
hanya punya 600 koleksi buku, kini memiliki lebih dari 10.000 buku. Bahkan tadinya
hanya 1 program di taman bacaan, kini menjalankan 12 program literasi. Karena
kaum sarungan, selalu berpikir untuk terus-menerus menebar kebaikan. Dan
menjauhi perbuatan yang sia-sia.
“Bagai
menghasta kain sarung”, begitu kata pepatah. Artinya, jauhilah perbuatan yang
sia-sia. Selalu ikhtiar di jalan kebaikan. Jangan sibuk tapi tidak menghasilkan
apa-apa. Apalagi terjebak jadi manusia penggibah atas nama perhatian. Hari-harinya
hidup dalam keburukan tapi tidak pernah disadari.
Kaum
sarungan itu sederhana. Tidak pernah bertuhan pada kemewahan. Hanya bisa
berteman pada kesederhanaan. Seperti pegiat literasi di taman bacaan. Hanya
fokus menebar kebaikan. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi. Sebuah
pekerjaan kecil yang bermanfaat besar. Bukan pekerjaan besar tapi tidak ada
manfaatnya. Sambil membuang egoisme dan kesia-siaan perbuatan.
Kaum sarungan di taman bacaan. Selalu
sadar bahwa bahagia itu bukan milik orang-orang yang hebat. Tapi milik
orang-orang yang realistis. Sehingga mampu menemukan hal sederhana dalam
hidupnya dan tetap bersyukur dalam segala keadaan. Kaum yang tidak resah bila
ada yang membencinya. Apalagi hanya urusan dunia. Kaum yang takut bila dibenci Allah
SWT. Karena tidak mau menebar kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain.
Maka jadilah
kaum sarungan. Agar mau menahan ego, berani membangun peradaban baik. Bukan asal
omong, asal celoteh. Apalagi hanya menebar kebencian dan hoaks. Sungguh, tidak
ada masalah yang kelar. Bila modalnya hanya omongan dan celotehan tidak bermakna.
Belajarlah akhlak dari sarung. Bahwa sarung selalu melindungi apapun yang ada
di dalamnya; selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya.
Tapi
sayang, mulut manusia itu tidak ada sarungnya, Jari-jari tangan di media sosial
pun tidak punya sarung. Maka akibatnya, bisa membahayakan orang lain. Salam
literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar