Kecil atau besar di zaman begini ternyata bukan hanya ukuran. Tapi menyangkut status sosial. Begitu kata netizen di media sosial. Kecil diartikan status rendahan atau orang kampung. Sementara orang besar dianggap orang berada atau orang kota. Jadi kata netizen, orang kecil atau orang besar diukur dari materi alias ekonomi. Hingga identic dengan status sosial.
Dulu, orang kecil atau orang besar itu dilihat dari
postur fisik. Orang kecil yaitu orang yang pendek, kuntet, dan tidak tinggi. Fisik
kecil juga identik dengan orang yang kurus alias kerempeng. Sedangkan orang
besar ukurannya berbadan gemuk atau gendut. Badannya tinggi atau atletis. Maka
dibilang, orang kecil tidak enak dilihat. Tapi orang besar enak dipandang mata.
Ujungnya, muncul sebutan "orang kecil dianggap susah, orang besar dianggap
bahagia". Begitulah orang-orang zaman begini menilai orang lain.
Kok bisa, mengukur orang kecil dan orang besar hanya
dari status sosial?
Orang kecil dianggap miskin, orang besar dianggap kaya.
Orang kecil identik dengan hidup susah, tidak punya pangkat, dan pendidikannya
biasa-biasa ssaja. Sementara orang besar katanya hidup baagia, punya pangkat
dan jabatan, dan pendidikannya tinggi bila peril jebolan luar negeri. Muncul
lagi istilah, orang kecil tidak penting. Orang besar berarti orang penting. Apa
iya begitu?
“Wah, dia mah orang besar, orang terhormat” begitu
kawan saya. Itu berarti, si orang besar itu dianggap penting, kaya, berpangkat,
dan status sosialnya tinggi. Orang besar diukur dari uang atau harta. Sementara
orang kecil kebalikannya, dianggap tidak penting dan tidak punya uang. Makanya,
orang kecil jarang diminta nasihat apalagi saran. Intinya, orang kecil sering
dipinggirkan di negeri ini. Orang kecil mah tidak dianggap.
Banyak orang lupa. Menyebut orang kecil atau orang
besar dari status sosial atau fisik itu salah. Kata siapa orang kecil itu tidak
bahagia? Kata siapa pula orang besar itu selalu bahagia? Bahagia itu sifatnya relatif.
Tidak ada hubungannya dengan status sosiall apalagi fisik. Apalagi karena
sering update gaya hidup dan hedonism di media sosial. Di medsos, ada ungkapan “jangan
lupa bahagia”. Itu sejatinya hanya ungkapan kamuflase. Akibat banyak orang
gagal mencapai mimpi-mimpinya. Lupa bahwa bahagia itu bersifat batiniah, sebuah
kenyamanan secara psikologis.
Orang kecil atau orang besar. Sejatinya, dilihat
dari amal perbuatan dan manfaatnya untuk orang lain. Untuk apa punya ilmu
tinggi tidak diamalkan? Untuk apa pula kaya tapi tidak membantu orang miskin
dan jarang sedekah? Jadi, orang kecil atau orang besar itu harusnya diukur dari
"cara berpikir". Orang kecil atau besar itu dilihat dari tingkat
literasi-nya. Mampu tidaknya memahami realitas dan mengambil hikmah positif
dari apa yang terjadi.
Orang besar itu berani menerima realitas. Berani berpikir
besar, membahas ide-ide besar. Bukan sebaliknya, malah melihat apapun dari
pikiran sempit. Mengeluh, menyalahkan orang lain, membenci bahkan mencaci-maki
orang lain. Seolah-olah jadi “korban” dari orang lain dan lupa bersyukur. Lihat
saja, mereka yang dikasih rezeki cukup dan peluangnya seperti “ikan besar”.
Tapi setiap hari teriak-teriak susah dan mengeluh. Karena pikirannya terlalu
sempit.
Cara berpikir, amal perbuatan, dan seberapa
manfaat untuk orang lain. Itulah kata kunci orang kecil atau besar. Orang kecil
itu sukanya ngomongin orang lain, pikirannya sempit. Sementara orang besar
lebih suka ngomongin ide, karena pikirannya luas. Orang kecil fokusnya di orang
lain, bukan dirinya sendiri. Eenerginya negatif, kerjanya mengintip orang lain.
Karena semboyannya, “harus untung untuk dirinya”. Dalil hidupnya, semuanya
“tidak mungkin", "tidak dapat dikerjakan", dan "tidak ada
gunanya " untuk urusan apapun.
Sementara orang besar fokusnya di diri sendiri, cara
merealisasikan ide besar. Untuk mengembangkan diri dan menebar manfaat untuk
orang lain. Selalu energik dalam berkarya dan berbuat untuk orang lain. Orang besar
berpikir positif dan selalu optimis. Lalu bertindak untuk menebar kebaikan
seperti pegiat literasi di taman bacaan. Sekalipun hanya menyediakan akses
bacaan ke anak-anak kampung, taman bacaan dikelola dengan sepenuh hati dan
konsisten. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat.
Jadi orang besar itu ada di taman bacaan. Karena
apapun kondisinya, hambatan yang ada segera diubah jadi kemenangan. Niat baik
diubah jadi aksi nyat di taman bacaan. Orang yang berpikir besar untuk sediakan
akses bacaan di tengah gempuran era digital. Orang bear di taman bacaan, selalu
optimis dan berani bertindak.
Dan yang paling penting, orang kecil
maupun orang besar pasti punya masalah. Karean tidak ada orang yang tidak punya
masalah selagi masih di dunia. Bedanya adalah, orang kecil selalu menganggap
masalah sebagai beban. Kadang masalah kecil dibikin besar atau
dibesar-besarkan. Jadi kepo, gibah, bahkan fitnah. Sementara orang besar,
masalah apapun dianggap ujian dan tantangan. Tiap masalah dianggap cara untuk “naik
kelas” dan dilihat dari sisi positif.
Hanya orang besar, masalah dilihat
sebagai hadiah dari Tuhan untuk diselesaikan. Agar menjadi manusia yang lebih
matang, lebih baik, dan lebih bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnaas anfa’uhum
linnas, sebaik-baik manusia adlaah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Salam literasi.
#TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar