Mungkin semua pihak sepakat. Bahwa persoalan literasi dan taman bacaan di Indonesia tidak dapat diselesaikan di belakang meja. Atau melalui ruang-ruang seminar dan diskusi. Karena sejatinya, literasi dan taman bacaan adalah aksi nyata. Sebuah perbuatan untuk menciptakan masyarakat yang literat.
Literasi adalah perbuatan. Taman bacaan pun perilaku.
Maka diskursus literasi dan taman bacaan, di mana pun, tidak boleh melupakan
apa yang terjadi di lapangan. Jangan meninggalkan realitas dan akar rumput
literasi itu sendiri. Sungguh, persoalan literasi dan taman bacaan sulit dipecahkan
bila basisnya teoretik. Tanpa mau terjun langsung dan berhadapan dengan
realitas yang ada di masyarakat.
Literasi tidak bisa dituntaskan di belakang meja. Sikap
ini penting. Apalagi di tengah maraknya seminar dan diskusi tentang literasi
dan taman bacaan. Karena hari ini, hampir semua pihak bicara tentang literasi.
Tanpa bisa disortir lagi. Hingga banyak orang bingung, mana yang praktik mana
yang teori. Mana yang pelajaran, mana yang perbuatan?
Sejatinya, literasi dan taman bacaan harus mampu “ditempatkan
sesuai dengan porsinya”. Apapun harus sesuai tempatnya. Jangan sampai makmun
dipersilakan menjadi imam. Jangan pula murid bertindak sebagai guru. Pasti
terkecoh dan membingungkan. Hingga literasi dan taman bacaan justru menjauh dari
tujuannya. Gagal mengurai ‘benang kusut” dunia literasi dan taman bacaan itu
sendiri.
Ketahuilah, tidak ada konsep atau teori jitu tanpa dipraktikkan.
Begitu pula tidak ada seminar dan diskusi hebat tanpa menyentuh persoalan di
lapangan. Ilmu dan pengetahuan itu gagal total. Karena tidak mampu “mendekatkan”
das sollen (harapan) dan das sein (kenyataan). Harapan dan kenyataan tidak
sama. Itulah masalah ilmu pengetahuan yang hingga masih menghantui manusia.
Sebagai contoh, apa yang dilakukan TBM Lentera Pustaka
di kaki Gunung Salak Bogor. Sebelum ada taman bacaan, angka putus sekolah tinggi
– 81% SD dan 9% SMP. Angka pernikahan dini pun marak. Dan
nyata, itu semua jadi sumber kemiskinan. Karena itu, saya mengubah garasi rumah
jadi taman bacaan di tahun 2017. Awalnya hanya punya 600 buku bacaan dan 14
anak yang mau membaca. Tapi kini, TBM Lentera Pustaka melayani lebih dari 160
anak pembaca aktif usia sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya)
dengan koleksi lebih dari 6.000 buku bacaan. Setiap hari Minggu, saya pun
selalu datang dari Jakarta ke Bogor untuk membimbing dan memotivasi anak-anak
di taman bacaan. Maka jelas, taman bacaan harus berproses dan ditopang aksi
nyata.
Apa
yang terjadi di TBM Lentera Pustaka pasca taman bacaan berdiri? Tidak pernah
ada yang menduga. Kini TBM Lentera Pustaka pun menjalankan program lainnya seperti: 1) GEBERBURA
(GErakan BERantas BUta aksaRA) pada 2018 yang diikuti 9 warga belajar buta
huruf, 2) KEPRA (Kelas PRAsekolah) pada 2021 yang diikuti 26 anak usia PAUD, 3) YABI (YAtim
BInaan) pada 2017 dengan 14 anak yatim, 4) JOMBI (JOMpo
BInaan) pada 2021 dengan 8 jompo, 5) TBM
Ramah Difabel pada 2021 dengan 3 anak difabel,
6) KOPERASI LENTERA pada
2021 dengan 28 ibu-ibu sebagai
koperasi simpan pinjam untuk mengatasi soal rentenir dan utang berbunga tingg,
7) DonBuk (Donasi Buku) pada 2020 untuk menerima dan menyalurkan
buku bacaan, 8) RABU (RAjin menaBUng) pada 2018 semua anak punya celengan, 9)
LITDIG (LITerasi DIGital) pada 2020 seminggu sekali setiap anak, 10)
LITFIN (LITerasi FINansial) pada 2018, dan 10) TBM Ramah Difabel pada 2021 dengan
3 anak difabel. Semua proses itu pula, akhirnya TBM Lentera Pustaka pun terpilih 1 dari 30 TBM di
Indonesia yang menggelar program “Kampung Literasi 2021” dari Direktorat
PMPK Kemdikbud RI dan Forum TBM. Selain meraih “31 Wonderful People
tahun 2021” dari Guardian Indonesia (sebagai pihask swasta pertama di Indonesia
yang mau memberi apresiasi kepada pegiat literasi dan taman bacaan) untuk
kategori pegiat literasi dan pendiri taman bacaan.
Jadi, apa yang saya mau katakan dengan tulisan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar