Kamis, 23 September 2021

Apa Enaknya Jadi Pegiat Literasi, Jangan Mengabdi di Taman Bacaan

Jangan mau mengabdi di taman bacaan. Ada sebagian orang berpendapat seperti itu. Dan itu sah-sah saja. Mungkin karena tidak punya waktu, mungkin juga memang tidak punya hati. Sibuk mengejar dunia, sibuk menggapai kesuksesan dan kekayaan. Jadi, memang tidak mampu mengabdi di taman bacaan.

 

Untuk siapa pun, bila tidak mampu mengabdi untuk masyarakat. Tentu, bukan berarti pikiran dan perilakunya benar kan. Karena pengabdian, apapun bentuknya, hanya bersandar pada hati. Bukan hanya logika atau materi semata. Apalagi di tengah pengaruh gaya hidup dan gempuran digital. Pengabdian kepada masyarakat, boleh di bilang kian jauh “panggan dari api”. Pengabdian sosial dianggap tidak ada manfaatnya.

 

Bila sepakat, seseorang dikatakan baik. Tidak hanya dilihat dari kesuksesan, kepintaran apalagi kekayaan. Banyak orang pula membenci atau memusuhi sesuatu itu karena tidak tahu atau tidak kenal. Maka pengabdian ke masyarakat pun sulit dilakukan pada orang yang tidak tahu dan tidak kenal. Lalu berkata, untuk apa mengabdi dan bersosial dai taman bacaan?

 

Maka bila hari ini, masih ada orang yang tidak mau mengabdi di taman bacaan. Atau bilang, jangan mengabdi di taman bacaan. Bisa jadi hidupnya hanya percaya pada logika bukan hati. Hidupnya untuk dunia semata, bukan untuk akhirat. Sehingga merasa tidak perlu memberi kontribusi nyata kepada masyarakat. Hidupnya untuk diri sendiri dan semakin tidak bermanfaat untuk orang banyak.

 

Jangan mau mengabdi di taman bacaan. Siapa pun yang sibuk untuk dunia namun tidak punya waktu untuk mengabdi secara sosial. Ada 5 hal yang jadi alasan, kenapa tidak mau mengabdi secara sosial?

1.   Hidupnya gagal keluar dari zona nyaman. Seolah hidup di dunia selama-lamanya. Hingga lupa menebar kebaikan dan kemanfaat kepada orang lain.

2.   Hidupnya egois, hanya untuk diri sendiri. Seolah tidak ada tanggung jawab sosial untuk membantu masyarakat atau orang lain yang butuh uluran tangan.

3.   Hidupnya monoton sehingga tidak punya tempat aktualisasi diri. Hidup yang polos, dari pagi hingga malam, hanya untuk kepentingan dunia. Tanpa mau berbuat untuk masyarakat sedikitpun.

4.   Hidupnya tidak untuk memudahkan urusan orang lain. Tapi untuk dinikmati diri sendiri.

5. Hidupnya bias, antara kebaikan dan keburukan. Niat dan omongannya baik tapi perbuatannya bisa jadi bertolak belakang.

 

Pengabdian sosial dianggap tidak ada manfaatnya. Karena pengabdian dilihat dari untung-rugi. Semua hal diukur dari materi, dilihat dari uang. Bahkan bila orang lain bermasalah pun dianggap bukan urusannya. Tidak peka bahkan tidak pdyuli. Itulah pengabdian yang semu.

 


Banyak orang lupa. Siapapun boleh punya ilmu dan pendidikan tinggi. Tapi semua itu  menjadi “hambar” tanpa diikuti pengabdian. Kesuksesan dan kekayaan pun tidak ada artinya tanpa digunakan untuk membantu oranglain. Maka lupa, pengabdian adalah cara untuk bersyukur, bukan untuk takabur. Karena hidup dianggap pengorbanan bukan pengabdian.

 

Ketahuilah, tidak ada orang-orang hebat kecuali mereka yang memiliki pengabdian besar pada kemanusiaan. Tidak ada pula waktu dan uang yang berkah tanpa digunakan untuk pengabdian. Karena sejatinya, hidup dan kehidupan adalah sebuah pengabdian.

 

Lalu, kenapa mengabdi di taman bacaan?

Tentu, ada banyak tempat mengabdi untuk masyarakat. Taman bacaan adalah salah satunya. Bisa pula di rumah yatim, di komunitas sosial, atau di rumah ibadah sekalipun, Silakan saja dipilih. Tapi di taman bacaan, pengabdian jadi lebih berarti. Karena mampu membangun tradisi baca anak-anak yang dihantui ancaman gawai. Mampu menyediakan akses bacaan bagi anak-anak yang selama ini tidak punya tempat membaca buku. Hingga senyum dan harapan masa depan ada dalam hidup anak-anak Indonesia.

 

Pengabdian itulah yang dilakukan di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Dari awalnya hanya ada 14 anak yang membaca, kini menjadi lebih dari 16o anak pembaca aktif yang berasal dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya). Bahkan kini, TBM Lentera Pustaka pun menjalankan program lainnya seperti: 1) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf, 2) KEPRA (Kelas PRAsekolah) yang diikuti 25 anak usia PAUD, 3) YABI (YAtim BInaan) dengan 16 anak yatim, 4) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo, 5) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 6) KOPERASI LENTERA dengan 26 ibu-ibu sebagai koperasi simpan pinjam untuk mengatasi soal rentenir dan utang berbunga tingg, 7) DonBuk (Donasi Buku) untuk menerima dan menyalurkan buku bacaan, 8) RABU (RAjin menaBUng) semua anak punya celengan, 9) LITDIG (LITerasi DIGital) seminggu sekali setiap anak, 10) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 10) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel. Untuk menegaskan pengabdiannya, TBM Lentera Pustaka pun terpilih 1 dari 30 TBM di Indonesia yang akan menggelar program “Kampung Literasi 2021” dari Direktorat PMPK Kemdikbud RI dan Forum TBM.  Selain meraih “31 Wonderful People” dari Guardian Indonesia untuk kategori pegiat literasi dan pendiri taman bacaan atas dedikasi dan pengabdian yang dilakukan sepenuh hati, konsisten dan penuh komitmen sehingga bermanfaat untuk masyarakat.

 

Jadi, jangan mengabdi dan bersosial di taman bacaan. Bila hati belum tergerak dan masih mencari untung ruginya. Dan ingatlah Tuhan tidak memanggil manusia untuk kesuksesan atau kekayaan. Tapi Tuhan memanggil manusia untuk setia kepada-Nya dan mau mengabdi untuk sesama-Nya. Karena siapa pun, sejatinya tidak bisa mengabdi kepada Tuhan tanpa mau mengabdi kepada sesama manusia.

 

Dan akhirnya, saat manusia berdoa. Kepada siapa dia mengangkat tangan dan untuk apa doanya? Itulah arti pengabdian yang sesungguhnya. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi #KampungLiterasiSukaluyu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar