Katanya, orang Indonesia malas baca tapi cerewet di media sosial. Meski minat baca buku rendah tapi menurut WeareSocial (2017) mengungkap orang Indonesia mampu menatap layar gawai 9 jam sehari. Tidak heran, cerewet-nya orang Indonesia di medsos juara ke-5 di dunia. Apalagi Jakarta mampu mengalahkan Tokyo dan New York.
Sementara tiap tahun, Hari Aksara Internasional pada 8
September selalu dirayakan. Tentu dengan berbagai cara. Sebagai momentum untuk mengingatkan
pentingnya literasi dan memajukan agenda keaksaraan. Untuk mewujudkan masyarakat yang literat. Apa bisa?
Sementara faktanya UNESCO menyebutkan Indonesia berada
di uurutan
kedua dari bawah soal literasi dunia.
Akibat minat
baca-nya sangat rendah atau sangat memprihatinkan. Hanya 0,001% atau hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca. Lain
lagi, riset
World’s Most Literate Nations Ranked (2016) menyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61
negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas
Bostwana (61).
Sementara
diskursus tentang literasi dan agendanya terus menggeliat di Indonesia. Berbagai
seminar, diskusi, hingga festival literasi ada di mana-mana. Semua kalangan pun
“berebut tempat” soal literasi. Euforia literasi begitu bergejolak. Data,
riset, dan program meningkatkan literasi boleh jadi berhamburan. Taman bacaan
di mana-mana, perpustakaan ke mana-mana, komunitas literasi pun ada di
mana-aman. Tapi mungkin, masih berjalan sendiri-sendiri. Cari panggung sendiri.
Hingga bingung, literasi harus mulai dari mana? Siapa yang eksekusi? Dan
bagaimana hasilnya?
Sebagai pengelola taman
bacaan, maka jelang Hari Aksara Internasional, saya pun membuat catatan kritis.
Sebagai refleksi dan aspirasi. Tentu untuk diri saya sendiri dan para pihak yang
tersadarkan. Karena literasi sejatinya dimulai dari diri sendiri.
Bisa jadi, literasi atau taman
bacaan hari ini telah “dipinggirkan atau terpinggirkan”. Bila kata “pinggir”
berarti tepi atau sisi. Maka “dipinggirkan” berarti
menjadikan ke pinggir, menepikan. Sementara “terpinggirkan” berarti sudah
dipinggirkan atau
disisihkan dari. Bolehlah “dipinggirkan” dimaknai ada kesengajaan untuk dikenai tindakan ke pinggir. Sedangakn “terpinggirkan” terjadi akibat perbuatan yang tidak disengaja. Mungkin
karena kurangnya perhatian atau keseriusan. Tentu, siapa pun boleh setuju dan
boleh tidak setuju akan hal ini.
Lalu, siapa subjek yang harusnya
bertindak sebagai pelaku literasi?
Secara normatif, tentu siapa
saja boleh terlibat. Tapi bila mau jujur, literasi akan berjalan efektif dan
berdampak bila masing-masing mengambil peran sesuai kapasitasnya. Ada yang bertindak
sebagai penyedia buku, ada yang mengelola, ada yang menjadi relawan atau
pelaksana program, ada yang bertindak sebagai penyandang dana, bahkan ada yang
membuat kebijakan. Begitulah semestinya agar literasi dan taman bacaan tidak
terpinggirkan.
Sejujurnya,
rendahnya literasi di
Indonesia bukanlah persoalan baru. Sudah jadi diskursus tiap tahun. Apalagi di
Hari Aksara Internasional. Persoalan literasi pun bukan hanya soal minat baca.
Tapi terkait erat dengan akses. Inilah tantangan dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi masalah literasi. Baik
soal sarana prasarana, buku, anak, kultur sosial, koporasi, regulator dan
eksekutor para pegiat literasi. Kata kuncinya, literasi adalah kolaborasi
sesuai peran masing-masing dalam satu komando. Jujur, kolaborasi satu komando itulah
yang tidak ada di negeri ini.
Persoalan literasi, persoalan
taman bacaan. Mungkin banyak pihak sudah tahu “titik masalahnya”. Hanya saja
ada persoalan psikologis dan kultural historis yang menghadang, yaitu “ketidakpedulian”.
Semakin tidak peduli, maka tidak ada obat untuk meningkatkan minat baca. Bila
tidak peduli, maka tidak ada ketersediaan akses bacaan yang masif. Belum diakui kegagalan di level itu,
kini ramai-ramai beranjak mengusung “literasi digital”. Literasi, akhirnya
seakan menempuh jalan yang sama dengan topik yang berbeda. Dari literasi manual
berupa buku-buku menuju literasi digital berupa e-book dan sebagainya. Di
situlah, literasi kian terpinggirkan.
Maka di Hari
Aksara Internasional, inilah momentum untuk refleksi bersama. Merenungkan
tentang perjuangan dan pengorbanan untuk literasi. Sudah sesuai dengan
track-nya atau belum? Apa yang harus dibenahi? Dan apa pula yang harus
ditingkatkan? Semua itu pertanyaan yang harus dijawa sesegera mungkin. Agar
literasi dan taman bacaan tidak makin kehilangan arah. Tidak lagi jadi “jalan
sunyi” yang tidak dipedulikan.
Dan terakhir lagi paling penting, literasi sejatinya dimulai dari diri sendiri. Lalu ditebarkan sebagai gerakan bermanfaat untuk orang banyak. Karena tidak ada masyarakat literat tanpa individu yang literasi. Itulah “titik terang” gerakan literasi. Salam literasi #HariAksaraInternasional #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar