Rabu, 14 Juli 2021

Kenapa Manusia Disebut Ibarat Buku?

Hidup manusia, sejatinya memang seperti buku.

Dari hari ke hari selalu ada yang harus dikerjakan, dituliskan. Setiap hari terbangun di pagi hari bak halaman pertama pada sebuah buku. Hingga akhrnya terlelap tidur di malam hari bak halaman terakhir sebuah buku. Dan ketika halaman terakhir itu selesai, maka berakhirlah kehidupan manusia. Seperti yang dialami saudara-saudara kita yang “berpulang” ke hadirat-Nya akibat pandemi Covid-19.

 

Manusia memang ibarat sebuah buku.

Tanggal lahir bak cover depan. Di situlah manusia diberi nama, seperti buku dengan judulnya. Sedangkan tanggal kematian bak cover belakang. Di situlah ringkasan hidup manusia dicoretkan, seperti buku dengan ringkasannya. Tiap hari ada yang dikerjakan manusia, bak halaman demi halaman pada sebuah buku. Terserah, apa yang mau dituliskan. Kebaikan atau keburukan, kemaslahatan atau kemudharatan. Manusia yang manfaat atau tidak manfaat.

 

Jelas sudah, hidup manusia ibarat sebuah buku.

Ada buku yang tebal, ada buku yang tipis. Ada buku yang menarik dibaca, ada pula buku yang tidak menarik. Begitulah manusia di dunia ini. Manusia pun begitu. Ada yang menebar kebaikan saat hidupnya, ada pula yang bertumpu pada keburukan. Ada yang berbuat untuk sesama, ada pula yang bertindak hanya untuk dirinya sendiri. Pasang surut, manis pahit selalu ada dalam hidup manusia. Terserah, bagaimana menyikapinya?

 

Maka orang bijak pernah bilang. Sebuah ruangan tanpa buku ibarat tubuh tanpa jiwa. Hidup tanpa buku seperti ruang gelap tak berlampu. Maka di dunia ini, ada manusia yang menerangi, ada pula yang menggelapi. Mau terang mau gelap, itu pilihan manusia.

 


Lagi-lagi, manusia memang seperti buku.

Selalu ada cerita suka di satu halaman. Tapi juga ada kisah duka di halaman yang lain. Seperti isi sebuah buku, kisah hidup manusia pada lembar demi lembar halamannya, selalu punya cerita sendiri. Setiap manusia pun bebas untuk menuliskan tiap lembar perjalanan hidupnya. Dia yang menjalani hari-harinya. Dia pula yang memegang pulpen-nya. Entah, coretan apa yang akan digoreskannya?    

 

Ibarat sebuah buku. Apapun yang sudah dituliskan, tidak akan pernah bisa di-edit lagi. Coretan masa lalu yang digoreskan tidak akan bisa di-delete. Karena waktu yang sudah berlalu, tidak akan pernah bisa dipanggil Kembali. Waktu hidup manusia yang laku tidak bisa diputar ulang Kembali. Maka berhati-hatilah, jangan lalai jangan abai dalam hidup. Mau baik atau buruk di sisa hidup, sangat tergantung yang menuliskannya, tergantung manusianya.

 

Manusia memang ibarat buku. Siapapun dan apapun dia.

Dia boleh menulis apapun tiap harinya. Dia boleh berperilaku seperti apapun sehari-harinya. Sesuka hatinya, seenak pikirannya. Hingga tiba waktunya di halaman terakhir. Saat selesai semua yang dituliskannya. Karena semua akan diminta pertanggung-jawabannya. Lalu bertanya, “apakah saya sudah menjadi pribadi yang pantas di hadapan-Nya?”

 

Ibarat sebuah buku, cerita hidup manusia persis seperti isi buku.

Mau ditulis apa isinya? Dari mana memulainya dan mau ke mana akan berakhir? Adalah pilihan untuk jadi buku yang bermanfaat atau tidak. Adalah pilihan untuk menulis buku yang menarik atau tidak menarik. Mau jadi buku yang baik atau butuk, itu pilihan bebas. Tapi sejatinya, setiap buku harus tetap punya misi dan tujuan. Entah, mau jadi buku yang berisi kebijaksanaan, kesalehan, kesenangan, atau kegunaan hidup.

 

Maka, mumpung masih ada waktu. Tulislah cerita dan kisah pada sebuh buku yang baik lagi bermanfaat. Karena pada sebuah buku. Seburuk dan sejelek apapun halaman sebelumnya. Selalu tersedia halaman berikutnya yang bersih, halaman baru yang berisi kebaikan untuk dibaca orang lain.

 

Agar kelak, buku yang tertinggal di rak-rak buku. Hanyalah buku-buku yang bisa menjadi teladan dan punya nilai tambah untuk pembacanya. Bukan buku yang isinya tanpa pengetahuan sama sekali. Karena itu tidak berguna. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #ManusiaIbaratBuku



Tidak ada komentar:

Posting Komentar