Hidup manusia, sejatinya memang seperti buku.
Dari hari ke hari selalu ada yang harus dikerjakan,
dituliskan. Setiap hari terbangun di pagi hari bak halaman pertama pada sebuah
buku. Hingga akhrnya terlelap tidur di malam hari bak halaman terakhir sebuah buku.
Dan ketika halaman terakhir itu selesai, maka berakhirlah kehidupan manusia. Seperti
yang dialami saudara-saudara kita yang “berpulang” ke hadirat-Nya akibat pandemi
Covid-19.
Manusia memang ibarat
sebuah buku.
Tanggal lahir bak cover depan. Di situlah manusia diberi nama, seperti buku
dengan judulnya. Sedangkan tanggal kematian bak cover belakang. Di situlah ringkasan
hidup manusia dicoretkan, seperti buku dengan ringkasannya. Tiap hari ada yang
dikerjakan manusia, bak halaman demi halaman pada sebuah buku. Terserah, apa
yang mau dituliskan. Kebaikan atau keburukan, kemaslahatan atau kemudharatan. Manusia
yang manfaat atau tidak manfaat.
Jelas sudah, hidup manusia ibarat sebuah buku.
Ada buku yang tebal, ada buku yang tipis. Ada buku
yang
menarik dibaca, ada pula buku yang tidak menarik. Begitulah manusia di
dunia ini. Manusia pun begitu. Ada yang menebar kebaikan saat hidupnya, ada
pula yang bertumpu pada keburukan. Ada yang berbuat untuk sesama, ada pula yang
bertindak hanya untuk dirinya sendiri. Pasang surut, manis pahit selalu ada
dalam hidup manusia. Terserah, bagaimana menyikapinya?
Maka orang bijak pernah bilang. Sebuah
ruangan tanpa buku ibarat tubuh tanpa jiwa. Hidup tanpa buku seperti ruang
gelap tak berlampu. Maka di dunia ini, ada manusia yang menerangi, ada pula
yang menggelapi. Mau terang mau gelap, itu pilihan manusia.
Lagi-lagi, manusia memang
seperti buku.
Selalu ada cerita suka di
satu halaman. Tapi juga ada kisah duka di halaman yang lain. Seperti isi sebuah
buku, kisah hidup manusia pada lembar demi lembar halamannya, selalu punya
cerita sendiri. Setiap manusia pun bebas untuk menuliskan tiap lembar perjalanan
hidupnya. Dia yang menjalani hari-harinya. Dia pula yang memegang pulpen-nya. Entah,
coretan apa yang akan digoreskannya?
Ibarat sebuah
buku. Apapun yang sudah dituliskan, tidak akan pernah bisa di-edit lagi.
Coretan masa lalu yang digoreskan tidak akan bisa di-delete. Karena waktu yang
sudah berlalu, tidak akan pernah bisa dipanggil Kembali. Waktu hidup manusia yang
laku tidak bisa diputar ulang Kembali. Maka berhati-hatilah, jangan lalai jangan
abai dalam hidup. Mau baik atau buruk di sisa hidup, sangat tergantung yang
menuliskannya, tergantung manusianya.
Manusia memang ibarat
buku. Siapapun dan apapun dia.
Dia boleh menulis apapun
tiap harinya. Dia boleh berperilaku seperti apapun sehari-harinya. Sesuka
hatinya, seenak pikirannya. Hingga tiba waktunya di halaman terakhir. Saat selesai
semua yang dituliskannya. Karena semua akan diminta pertanggung-jawabannya.
Lalu bertanya, “apakah saya sudah menjadi pribadi yang pantas di hadapan-Nya?”
Ibarat sebuah
buku, cerita hidup manusia persis seperti isi buku.
Mau ditulis
apa isinya? Dari mana memulainya dan mau ke mana akan berakhir? Adalah pilihan
untuk jadi buku yang bermanfaat atau tidak. Adalah pilihan untuk menulis buku
yang menarik atau tidak menarik. Mau jadi buku yang baik atau butuk, itu pilihan
bebas. Tapi sejatinya, setiap buku harus tetap punya misi dan tujuan. Entah,
mau jadi buku yang berisi kebijaksanaan, kesalehan,
kesenangan, atau kegunaan hidup.
Maka, mumpung masih ada waktu. Tulislah cerita dan kisah pada sebuh buku
yang baik lagi bermanfaat. Karena pada sebuah buku. Seburuk dan sejelek apapun halaman sebelumnya. Selalu tersedia halaman
berikutnya yang bersih, halaman baru yang berisi kebaikan untuk dibaca orang
lain.
Agar kelak, buku yang tertinggal di rak-rak buku. Hanyalah
buku-buku yang bisa menjadi teladan dan punya nilai tambah untuk pembacanya.
Bukan buku yang
isinya tanpa pengetahuan sama sekali. Karena itu tidak berguna. Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
#ManusiaIbaratBuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar