Tiap tanggal 23 Juli, negeri ini memperingati Hari Anak Nasional.
Harinya kasih sayang dan kepedulian pada anak-anak.
Tapi di saat yang sama, anak-anak Indonesia pun belum terbebas dari ancaman-ancaman
yang menghantui mereka. Sebut saja kasus
anak tiri yang diperkosa berulang kali di Balaraja. Atau ABG perempuanyang
dibekap pasutri di Ciputat. Bila mau jujur, kasus-kasus yang merundung
anak-anak Indonesia jadi bukti. Bahwa orang tua, keluarga, sekolah, bahkan lingkungan
sosial belum mampu jadi pelindung utama anak-anak.
Media sosial dan gawai pun ikut merusak
anak-anak. Salah satu temuan menyebutkan 90 persen anak di Indonesia terpapar
pornografi online saat berusia 11 tahun. Akibat maraknya konten pornografi anak
via media sosial. Bahkan hari ini, kasus kejahatan anak dan kekerasan seksual diduga
keras berawal dari pengaruh siber atau digital. Harusnya, orang tua ekstra hati-hati
soal pengaruh digital terhadap anak.
Maraknya gim online, bullying, pornografi, kejahatan
seksual, bahkan radikalisme yang mengancam anak-anak Indonesia, suka tidak suka,
sejujurnya “dijembatani” oleh gawai atau perangkat digital. Realitas itulah
yang kini dihadapi anak-anak Indonesia. Lalu, siapa lagi yang peduli untuk
melindungi mereka?
Belum lagi pandemi Covid-19 yang kian menyusahkan
kondisi anak-anak. Mereka kian rentan terpapar virus corona. Aktivitas harian
anak-anak pun terganggu total. Sekolah dari rumah tapi tugas tetap menumpuk.
Sementara ruang bermain dan ekspresi anak makin dibatasi. Anak-anak resah lalu stres.
Dalam kondisi seperti sekarang, tumbuh kembang anak seperti apa lagi yang
diharapkan?
Sejatinya, tema besar Hari Anak Nasional kali ini sejatinya difokuskan
pada perlindungan fisik dan psikis anak. Khususnya di saat pandemi Covid-19
masih mewabah. Tapi sayang, bukan tidak mungkin, anak-anak masih mengalami “pemaksaan”
dari orang tua di rumah. Terlalu mudah dan sering “dipaksa”
mengikuti kemauan orang tuanya. Atas dalih untuk masa depan anak, tidak sedikit
orang tua yang “memaksa” anak untuk mengikuti skenario masa depan sang orang
tua. Seolah-olah keberhasilan anak di masa depan, hanya ada di tangan orang
tua. Bukan ada di tangan anaknya sendiri.
Anak-anak yang dipaksa untuk sukses
seperti orang tuanya. Atau lebih berhasil dari orang tuanya. Sukses dan
berhasil menurut pikiran orang tua. Sebagai “pintu masuk” untuk mendidik anak
menurut kemauan orang tua. Sementara itu, kesuksesan dan keberhasilan orang tua
itu sendiri masih absurd alias tidak jelas. Orang tua sering lupa. Bahwa anak tidak
harus jadi “fotocopy” orang tuanya.
Silakan dicek di rumah-rumah. Anak-anak yang hidup
dalam belenggu keterpaksaan. Anak-anak yang harus ikut ini ikut itu. Anak-anak
yang berjadwal padat. Dan semua itu atas kehendak atau perintah orang tuanya. Anak-anak
yang “dipaksa” jadi fotocopy orang tua. Lalu, merundung secara batin kesehariannya.
Murung, pendiam lagi stres di rumah. Rumah yang gagal memberi ruang kenyamanan
bagi anak-anaknya.
Apa karena orang tua khawatir pada anaknya?
Sangat dimaklumi. Bila orang tua khawatir pada
anaknya. Tapi apa orang tua tahu? Anak pun khawatir pada orang tuanya. Bila
orang tuanya lebih peduli pada gawai-nya daripada anaknya. Bila orang tua
justru tidak mampu mengenal potensi dan karakter anaknya sendiri. Bila orang
tua hanya memaksa kehendaknya tanpa mau memahami perasaan anak. Orang tua pasti
tahu bahwa mendidik anak tidak mudah. Persis seperti tidak mudahnya menjadi anak
saat “dipaksa” mengikuti skenario orang tua.
Maka di Hari Anak Nasional. Inilah momen
untuk orang tua introspeksi diri. Sambil berjuang untuk komit memberikan
perlindungan fisik sekaligus kenyamanan psikis.
Untuk membiarkanlah anak
jadi dirinya sendiri. Lebih bebas dalam ber-ekspresi sesuai potensi dan karakternya.
Bukan anak yang dipakas jadi seperti yang dimau orang tua. Karena anak
bukan fotocopy orang tua.
Hari ini, hampiri anak-anak. Dan bertanyalah, “Nak,
kamu ingin apa?”
Atau izinkan anak-anak berkata kepada orang tuanya,
kepada ayah ibunya. Bahwa anak-anak hanya butuh contoh yang baik, bukan omongan
atau kritik yang berlebihan. Bukan pula scenario yang dipaksakan orang tua
kepada anaknya. Karena anak, hanya butuh nasehat yang cocok untuknya, bukan
cocok untuk orang tuanya.
Karena esok, bisa jadi anak-anak tidak
ingin jadi orang kaya. Tapi hanya ebrtekad jadi orang yang bahagia. Agar mereka
lebih mampu menghargai “nilai” daripada “harga”. Agar ususan dunianya seimbang
dengan urusan akhiratnya. Dan bukan seperti orang tuanya.
Biarlah anak-anak jadi dirinya sendiri. Bukan
menjadi seperti yang dimau orang tua. Agar anak tidak usah terlalu dewasa di masa
yang belum saatnya. Salam literasi. #HariAnakNasional
#TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar