Selasa, 22 Juni 2021

Mampukah Taman Bacaan Bertahan di Era Digital?

Mampukah taman bacaan bertahan di era digital?

Pertanyaan yang sulit lagi tidak bisa buru-buru dijawab.  Sementara semua sisi kehidupan tidak lagi bisa dipisahkan dari dunia digital.  Taman bacaan masih bertahan dengan cara membaca buku manual. Kenapa sih tidak membaca e-book? Kenapa harus taman bacaan? Repot banget harus membimbing anak-anak membaca buku? Tentu, masih banyak sederet pertanyaan yang “melemahkan” eksistensi taman bacaan.

 

Gempuran era digital, realitasnya memang sulit dibantah. Tidak mungkin ditolak. Karena digitalisasi sudah jadi kebutuhan, bahkan gaya hidup banyak orang. Hidup tanpa digital seakan hampa. Digital pula yang menjadikan orang lebih instan, menuntut kebebasan, dan senang mengekspresikan diri. Bahkan era digital pula anak-anak jadi punya banyak sumber belajar. Tidak lagi terbatas buku. Lalu, kenapa masih ad ataman bacaan di era digital?

 

Era digital, mau tidak mau, kian meminggirkan eksistensi taman bacaan. Perilaku membaca buku secara manual pun kini tidak populer. Sehingga buku-buku manual yang ada di taman bacaan, di perpustakaan pun ingin segera diganti e-book. Maka taman bacaan pun kian jadi “jalan sunyi” di tengah keramaian era digital?

 

Sementara semuanya serba online. Taman bacaan masih saja berhadapan dengan persoalan klasik. Masalah taman bacaan yang belum beranjak pulih. Satu, ada anak tidak ada buku. Dua, ada buku tidak ada anak. Dan ketiga, komitmen dan konsistensi pengelola taman bacaan yang setengah hati. Jadi, mampukah taman bacaan bertahan di era digital?

 

Benar sekali. Terlalu banyak tantangan dan ujian di taman bacaan. Maka pantas banyak pegiat literasi yang gampang frustrasi. Serba salah mengembangkan taman bacaannya. Tidak sedikit taman bacaan yang “mati suri”. Dibilang ada tapi tidak ada. Dibilang tidak ada tapi ada. Lalu, bagaimana taman bacaan mau “mengharmonisasikan” dengan dunia digital? Perjuangan untuk bisa bertahan dan tetap eksis saja tidak kunjung usai.

 

Maka isu penting taman bacaan di era digital adalah bukan soal mendirikan taman bacaan. Bukan pula soal buku atau anak. Tapi soal kemampuan bertahan di tengah era digital. Agar tahu, apa saja yang harus diperjuangkan taman bacaan. Apa saja yang harus diabaikan di taman bacaan?

 


Ini kisah nyata di taman bacaan. Saat tahun 2017, saya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Awalnya, hanya ada 14 anak yang mau membaca di taman bacaan. Koleksinya pun hanya 600 buku donasi dari kawan-kawan. Setelah berjalan 3-6 bulan pun saya terus berpikir. Lalu bertanya, apa iya daerah ini (Desa Sukaluyu), anak-anaknya mau diajak membaca seminggu 3 kali? Maklum, sebelumnya mereka tidak punya akses bacaan. Anak-anak kampung yang tidak punya kebiasaan membaca buku.

 

Sebagai pegelola bingung, taman bacaan pun bingung. Mau bagaimana ke depannya taman bacaan ini? Sepi dan garing. Dugaan saya kian tepat, berkiprah di taman bacaan itu memang “jalan sunyi”. Jarang dipedulikan orang, tidak ada uangnya. Dan membaca buku itu memang dihindari banyak orang. Wajar, bila taman bacaan jadi serba salah. Pengelolanya pun frustrasi. Apalagi sifatnya sosial. Sangat paripurna, tantangan yang ada di taman bacaan. Apalagi digempur perangkat yang serba digital.

 

Tapi apa pun yang terjadi, apapun keadaaanya. Saya tetap bertekad untuk “menghidupkan” taman bacaan. Tentu, butuh kreativitas dan cara yang menarik. Saya pun tetap datang seminggu sekali dari Jakarta ke Kaki Gunung Salak Bogor. Hanya untuk menemani dan memotivasi anak-anak kampung yang membaca. Berapapun jumlah anaknya? Saya urus apa yang harus saya urus di taman bacaan.

 

Alhasil kini, proses dan ikhtiar di taman bacaan memang tidak pernah mengkhianati hasil. Perlahan, anak-anak yang membaca di TBM Lentera Pustaka terus bertambah. Dan kini di tahun 2021, ada 168 anak usia sekolah sebagai pembaca aktif. Rutin datang ke taman bacaan seminggu 32 kali dan mampu melahap 5-8 buku per minggu per anak. Bahkan lebih dari itu, kini TBM Lentera Pustaka pun menjalakan program lainnya: 1) GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) dengan 9 ibu warga belajar, 2) KElas PRAsekolah (KEPRA) dengan 17 anak, 3) YAtim Binaan (YABI) dengan 16 anak yatim, 4) JOMpo Binaan (JOMBI) dengan 7 lansia, 5) Koperasi LENTERA dengan 16 anggota sebagai “perlawanan terhadap praktik rentenir”, 6) DONasi BUKu (DONBUK) untuk menerima dan menyalurkan doansi buku. 7) RAjin menaBUng (RABU) mengajarkan pentingnya menabung sebagai literasi finansial, dan 8) LITerasi DIGital (LITDIG) untuk mengajarkan internet sehat dengan fasilitas 5 komputer hibah.  Bahkan kini, TBM Lentera Pustaka terus berkiprah dan dampaknya meluas hingga ke 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya).

 

Media massa seperti NET TV, CNN TV, DAAI TV, TV Parlemen, Jawa Pos, Media Indonesia, Majalah Kartini, Bogor-kita.com, dan Liputan6.com pun sudah meliput dan menjadikan TBM Lentera Pustaka sebagai narasumber taman bacaan, buta aksara , dan gerakan literasi. Lebih dari itu, kini pun telah berdiri “Yayasan Lentera Pustaka Indonesia” dan hadirnya website:

https://tbmlenterapustaka.com/ sebagai penguatan kiprah taman bacaan ke depannya. Untuk memastikan tercapainya 6 kecakapan literasi dasar (baca-tulis, numerasi, finansial, digital, sains, budaya-kewargaan). Tentu atas dukungan CSR korporasi sebagai sponsor dan orang-orang baik yang sudah ada selama ini, para wali baca dan relawan.

 

Jadi, taman bacaan pasti dapat bertahan di era digital. Karena taman bacaan adalah satu-satunya “lawan tanding” yang memadai untuk anak-anak dalam belenggu ancaman putus sekolah, pernikahan dini, narkoba, bahkan gim online. Hanya taman bacaan, yang masih mampu menjaga perilaku anak untuk tetap dekat dengan buku. Sekalipun tradisi membaca anak kian langka.

 

Maka ada pelajaran penting di taman bacaan. “Jangan pernah menyerah dalam berkiprah dan jangan terlalu mudah bilang tidak bisa bertahan”. Taman bacaan adalah perbuatan baik, maka pelihara dengan apik. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen







Tidak ada komentar:

Posting Komentar