Mampukah taman bacaan bertahan di era digital?
Gempuran era digital, realitasnya memang sulit dibantah. Tidak mungkin
ditolak. Karena digitalisasi sudah jadi kebutuhan, bahkan gaya hidup banyak
orang. Hidup tanpa digital seakan hampa. Digital pula yang menjadikan orang
lebih instan, menuntut kebebasan, dan senang mengekspresikan diri. Bahkan era
digital pula anak-anak jadi punya banyak sumber belajar. Tidak lagi terbatas
buku. Lalu, kenapa masih ad ataman bacaan di era digital?
Era digital, mau tidak mau, kian
meminggirkan eksistensi taman bacaan. Perilaku membaca buku secara manual pun kini
tidak populer. Sehingga buku-buku manual yang ada di taman bacaan, di perpustakaan
pun ingin segera diganti e-book. Maka taman bacaan pun kian jadi “jalan sunyi”
di tengah keramaian era digital?
Sementara semuanya serba online. Taman bacaan masih saja berhadapan
dengan persoalan klasik. Masalah taman bacaan yang belum beranjak pulih. Satu,
ada anak tidak ada buku. Dua, ada buku tidak ada anak. Dan ketiga, komitmen dan
konsistensi pengelola taman bacaan yang setengah hati. Jadi, mampukah taman
bacaan bertahan di era digital?
Benar sekali. Terlalu banyak tantangan
dan ujian di taman bacaan. Maka pantas banyak pegiat literasi yang gampang
frustrasi. Serba salah mengembangkan taman bacaannya. Tidak sedikit taman
bacaan yang “mati suri”. Dibilang ada tapi tidak ada. Dibilang tidak ada tapi
ada. Lalu, bagaimana taman bacaan mau “mengharmonisasikan” dengan dunia
digital? Perjuangan untuk bisa bertahan dan tetap eksis saja tidak kunjung
usai.
Maka isu penting taman bacaan di era
digital adalah bukan soal mendirikan taman bacaan. Bukan pula soal buku atau
anak. Tapi soal kemampuan bertahan di tengah era digital. Agar tahu, apa saja
yang harus diperjuangkan taman bacaan. Apa saja yang harus diabaikan di taman
bacaan?
Ini kisah nyata di taman bacaan. Saat tahun
2017, saya mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki
Gunung Salak Bogor. Awalnya, hanya ada 14 anak yang mau membaca di taman
bacaan. Koleksinya pun hanya 600 buku donasi dari kawan-kawan. Setelah berjalan
3-6 bulan pun saya terus berpikir. Lalu bertanya, apa iya daerah ini (Desa
Sukaluyu), anak-anaknya mau diajak membaca seminggu 3 kali? Maklum, sebelumnya
mereka tidak punya akses bacaan. Anak-anak kampung yang tidak punya kebiasaan
membaca buku.
Sebagai pegelola bingung, taman bacaan pun
bingung. Mau bagaimana ke depannya taman bacaan ini? Sepi dan garing. Dugaan
saya kian tepat, berkiprah di taman bacaan itu memang “jalan sunyi”. Jarang
dipedulikan orang, tidak ada uangnya. Dan membaca buku itu memang dihindari
banyak orang. Wajar, bila taman bacaan jadi serba salah. Pengelolanya pun
frustrasi. Apalagi sifatnya sosial. Sangat paripurna, tantangan yang ada di
taman bacaan. Apalagi digempur perangkat yang serba digital.
Tapi apa pun yang terjadi, apapun
keadaaanya. Saya tetap bertekad untuk “menghidupkan” taman bacaan. Tentu, butuh
kreativitas dan cara yang menarik. Saya pun tetap datang seminggu sekali dari
Jakarta ke Kaki Gunung Salak Bogor. Hanya untuk menemani dan memotivasi anak-anak
kampung yang membaca. Berapapun jumlah anaknya? Saya urus apa yang harus saya
urus di taman bacaan.
Alhasil kini, proses dan ikhtiar di taman
bacaan memang tidak pernah mengkhianati hasil. Perlahan, anak-anak yang membaca
di TBM Lentera Pustaka terus bertambah. Dan kini di tahun 2021, ada 168 anak usia
sekolah sebagai pembaca aktif. Rutin datang ke taman bacaan seminggu 32 kali
dan mampu melahap 5-8 buku per minggu per anak. Bahkan lebih dari itu, kini TBM
Lentera Pustaka pun menjalakan program lainnya: 1) GErakan BERantas BUta aksaRA
(GEBERBURA) dengan 9 ibu warga belajar, 2) KElas PRAsekolah (KEPRA) dengan 17
anak, 3) YAtim Binaan (YABI) dengan 16 anak yatim, 4) JOMpo Binaan (JOMBI)
dengan 7 lansia, 5) Koperasi LENTERA dengan 16 anggota sebagai “perlawanan terhadap
praktik rentenir”, 6) DONasi BUKu (DONBUK) untuk menerima dan menyalurkan doansi
buku. 7) RAjin menaBUng (RABU) mengajarkan pentingnya menabung sebagai literasi
finansial, dan 8) LITerasi DIGital (LITDIG) untuk mengajarkan internet sehat
dengan fasilitas 5 komputer hibah. Bahkan
kini, TBM Lentera Pustaka terus berkiprah dan dampaknya
meluas hingga ke 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya).
Media massa seperti NET TV, CNN TV, DAAI
TV, TV Parlemen, Jawa Pos, Media Indonesia, Majalah Kartini, Bogor-kita.com, dan
Liputan6.com pun sudah meliput dan menjadikan TBM Lentera Pustaka sebagai
narasumber taman bacaan, buta aksara , dan gerakan literasi. Lebih dari itu,
kini pun telah berdiri “Yayasan Lentera Pustaka Indonesia” dan hadirnya website:
https://tbmlenterapustaka.com/
sebagai penguatan kiprah taman bacaan ke depannya. Untuk memastikan tercapainya
6 kecakapan literasi dasar (baca-tulis, numerasi, finansial, digital, sains,
budaya-kewargaan). Tentu atas dukungan CSR korporasi sebagai sponsor dan
orang-orang baik yang sudah ada selama ini, para wali baca dan relawan.
Jadi, taman bacaan pasti dapat bertahan
di era digital. Karena taman bacaan adalah satu-satunya “lawan tanding” yang
memadai untuk anak-anak dalam belenggu ancaman putus
sekolah, pernikahan dini, narkoba, bahkan gim online. Hanya taman bacaan, yang
masih mampu menjaga perilaku anak untuk tetap dekat dengan buku. Sekalipun
tradisi membaca anak kian langka.
Maka ada pelajaran penting di taman
bacaan. “Jangan pernah menyerah dalam berkiprah dan jangan terlalu mudah bilang
tidak bisa bertahan”. Taman bacaan adalah perbuatan baik, maka pelihara dengan
apik. Salam literasi #TBMLenteraPustaka
#TamanBacaan #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar