Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh. Dan tiap Hari Buruh selalu ada demo, selalu ada massa di jalanan. Sekalipun di masa pandemic Covid-19. Kenapa? Karena buruh itu pusing. Pusingnya pun melebihi anak sekolah menghadapi ujian naik kelas. Buruh itu pusing. Seperti atlet yang akan tanding di final ketemu musuh yang belum pernah dikalahkan.
Buruh itu pusing. Selain upahnya tidak cukup dan tidak
sejahtera. Hari-hari begini pun para buruh “dihantui” pemutusan hubungan kerja
(PHK) atau dirumahkan. Akibat Covid-19. Bahkan saat ini, tidak kurang 3 juta
buruh sudah di-PHK. Belum yang
sedang dalam rencana di-PHK. Maka wajar, buruh tidak hanya pusing, Tapi takut
dan khawatir. Dengan apa mereka harus menafkahi keluarganya?
Buruh makin
pusing. Apalagi saat memikirkan seperti apa di hari tua, di masa pensiun saat
tidak bekerja lagi. Puluhan tahun bekerja, tetap saja tidak punya
uang banyak. Tabungannya selalu
kosong. Gaji hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Boro-boro siap untuk
pensiun. Apalagi bila tiba-tiba di-PHK, diberhentikan. Pusingnya buruh seperti kiamat. Maka berapa banyak, buruh
bekerja hanya untuk aktualisasi diri. Berangkat pagi pulang sore. Sesederhana itu
saja.
Pusingnya buruh, memang jauh melebihi anak sekolah yang ujian naik kelas. Seperti atlet yang bertanding di final dengan musuh yang belum pernah dikalahkan.
Buruh semakin
pusing. Karena saat menuntut ipah dan kesejahteraan. Saudaranya buruh yang
bernama pekerja, tenaga kerja, pegawai dan karyawan ikutan mendukung, Tapi saat
buruh turun ke jalan, tidak satu pun dari mereka berani berkeringat kepanasan.
Apalagi membentang spanduk dan memekik “hidup buruh”. Ada yang bilang buruh berbeda
dengan pekerja, tenaga kerja, pegawai atau karyawan. Tapi tidak sedikit pula
yang menyebut sama saja. Menurut saya, apalah namanya semua istilah itu sama. Asal
orang itu bekerja untuk orang lain dan mendapat upah. Itulah buruh, pekerja, pegawai atau karyawan. Bedanya hanya soal status sosial atau soal soal kapital semata. Soal seberapa banyak mereka mampu mengumpulkan uang.
Toh di Hari Buruh yang dinyatakan hari libur. Semua saudaranya buruh pun ikut libur; pekerja, pegawai, atau karyawan. Karena buruh artinya orang yang bekerja
untuk orang lain dengan mendapat upah. Jadi, siapapun yang bekerja untuk
memperoleh upah atau gaji, dapat disebut buruh. Maka buruh, syaratnya kurang
lebih ada 2, yaitu 1) bekerja untuk mendapat upah atau gaji dan 2) punya
majikan, baik orang atau perusahaan. Itulah buruh.
Soal buruh
kian kompleks. Apalagi soal bahasa dan terminologinya Saya ini seorang “pekerja sosial” tapi tidak boleh disebut “buruh sosial”. Ada si mbak yang “pekerja seks komersial - PSK” tapi tidak bisa disebut sebagai “buruh seks komersial –
BSK”. Sementara ada sebutan “buruh tani” tapi tidak bisa
dipanggil “pegawai tani”. Lalu kalau “karyawan bank”, mau tidak dipanggil “buruh bank”? Seperti ASN, dulu namanya “pegawai negeri” tapi kerjanya untuk “negara”. Kenapa tidak disebut “pegawai negara”? Sungguh, urusan buruh memang pusing. Kompleks dan tidak sederhana.
Asal tahu
saja. Dalam filsafat bahasa, tidak ada diksi atau istilah yang bebas nilai.
Semuanya ada kepentingannya. Selalu ada yang tersirat dari yang tersurat. Mau disebut buruh, pegawai, pekerja atau karyawan.
Tujuannya sederhana, untuk menciptakan dikotomi dan kelas sosial semata. Agar tidak ada konsolidasi di antara mereka.
Jadi di “Hari Buruh”, kita sedang menghormati apa?
Tentu, jawabnya relatif. Tergantung pada si buruh. Hanya masing-masing
buruh yang tahu jawabnya. Tapi saya sebagai buruh, hanya ingin merefleksi diri. Bahwa siapapun, baik buruh, pekerja, pegawai atau karyawan patut
berpikir ulang. Harus berani mengubah orientasi. Untuk menggeser orientasi. Harusnya pekerjaan atau profesi apapun tidak semata-mata diukur
dari material. Bekerja
itu bukan hanya soal upah. Apalagi mendewakan pangkat atau jabatan.
Tapi bekerja adalah aktualisasi diri. Kerja sebagai moralitas, soal spiritualitas. Karena bekerja
adalah anugerah sekaligus amanah yang patut disyukuri. Darma bakti yang harus
dijalankan dengan ikhlas, sepenuh hati untuk kebaikan. Selebihnya, biarkan Allah SWT yang “bekerja” untuk
si buruh.
Bila buruh pusing. Bisa jadi karena hidupnya terlalu diukur dari
untung-rugi. Karena hidupnya lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Karena
gaya hidupnya melebihi biaya hidupnya. Maka selagi masih jadi buruh, cukup
terima apa adanya sambil terus bersyukur. Sementara yang jadi majikan atau
pengusaha, ya tidak boleh sewenang-wenang. Tidak boleh merasa sok berkuasa.
Agar buruh atau pengusaha bisa bersinergi, bisa “bertemu di jalan yang sama”.
Bekerja hari ini, harusnya diukur dari nilai sosialnya, bukan hanya nilai
materialnya. Bukankah bekerja juga untuk kemaslahatan umat; untuk kepedulian terhadapa sesama. Bukan hanya untuk mengejar pangkat, untuk jabatan, untuk tunjangan dan sebagainya. Katanya bekerja agar berkah. Di mana berkahnya bila tidak ada manfaatnya untuk orang lain?
Buruh jangan
pusing lagi. Karena buruh hanya statusm hanya simbol. Dan pekerjaan pun bukan beban, bukan hukuman. Melainkan anugerah dan kekuatan agar
buruh bisa lebih berdaya dan lebih
bermanfaat untuk orang lain. Selamat Hari Buruh. #HariBuruh #Mayday #CatatanHariBuruh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar