Minggu, 28 Maret 2021

Literasi Hedonisme, Hidup Tidak Cukup Akal Sehat

Bisa jadi, orang yang paling stres selama pandemi Covid-19 adalah kaum hedonis.

Kaum individualis, penikmat kenikmatan sesaat. Alumni sekolah cinta dunia. Kerja untuk dunia. Untuk senang-senang dan kenikmatan diri sendiri. Hobi mencari kesenangan di mana saja. Asal bikin senang akan selalu dihampiri. Demi status sosial dianggap tinggi. Dan sejak Covid-19, terbelenggu di dalam rumah. Tidak bisa kemana-mana. Kaum hedonis, mungkin sedang pusing.

 

Namanya “Hedon”. Nama panjangnya “Hedonisme Panglima Hidup”, anggota komunitas hedonisme. Tinggal di kota besar, tidak suka urusan politik. Agama cukup biasa-biasa saja. Hidup yang penting untuk kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan. Tidak masalah bila ada orang bilang “hidup hanya untuk kepentingan dunia”. Karena egois dan individualis adalah filsafat hidupnya.

 

Kaum hedonis kini merajalela. Kumpulan orang-orang yang gemar pada kesenangan sesaat. Ada di mana-mana. Apalagi di media sosial. Utamanya ada di kota besar. Dan kini, mulai merambah ke daerah-daerah. Titik kumpulnya ada di mal-mal, di kafe-kafe, dan tempat tongkrongan lainnya. Hedonis, ada di tempat senang-senang, Ada di tempat-tempat gaya hidup dan konsumtif.

 

Hedon itu bisa jadi sifat, bisa jadi perilaku. Katanya, menyesuaikan kemajuan zaman. Gaya hidup yang disesuaikan status sosial. Konsumsinya, mulai dari fashion, gadget, dan lainnya dipandang sebagai “kemewahan”. Hura-hura sesaat. Namun bebas tanpa batas, tanpa etika.  Resep hidupnya pun sederhana. Semau gue saja. Alias demi enaknya sendiri. Bisa jadi moralitas dan kemanusiaaan hanya jadi pajangan, bukan kenyataan.

 


Sementara kaum pegiat literasi di taman bacaan. Terus-menerus berjuang bahkan berkorban demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Untuk bertahan dan tetap eksis di era digital, di era hedonisme. Tekadnya untuk memperbaiki diri untuk lingkungannya. Karena taman bacaan yakin. Membaca buku, walau hanya sesaat, akan dapat menjadikan hidup lebih baik untuk sesama.

 

Kenapa bisa hedon, gemar terhadap hedonisme?

Mungkin, karena derajat manusia hanya diukur dari penampilan fisik dan materi semata. Hidup untuk mencintai dunia. Bukan akhlak, bukan etika. Bahkan urusan moral dan batin jadi barang tidak laku. Semuanya serba boleh. Kesenangan dunia adalah segalanya. Hedon, bisa jadi “cabang” gaya hidup baru yang layak dipertontonkan.

 

Kaum hedon, bisa jadi tidak suka dengan tulisan ini. Dan itu tidak masalah. Kan demokrasi. Apa saja boleh. Mau hedon boleh, tidak pun boleh. Tapi secara moral, hedonis pun hanya sekadar simbol. Tudak lebih hanya status sosial. Untuk kesenangan sesaat.

 

Tapi sejatinya, manusia di mana pun tetap bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kecuali kemanfaatannya kecuali ketakwaannya. Agar tidak terbuai dan terpenjara pada hedonisme. Karena esok, ada hukum bisa di bawah pun bisa di atas. Seperti hidup, terkadang tidak cukup hanya akal sehat. Tapi harus ada hati nurani. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar