Bisa jadi, orang yang paling stres selama pandemi Covid-19 adalah kaum hedonis.
Kaum individualis, penikmat kenikmatan sesaat. Alumni sekolah cinta dunia.
Kerja untuk dunia. Untuk senang-senang dan kenikmatan diri sendiri. Hobi mencari
kesenangan di mana saja. Asal bikin senang akan selalu dihampiri. Demi
status sosial dianggap tinggi. Dan sejak Covid-19, terbelenggu di dalam rumah.
Tidak bisa kemana-mana. Kaum hedonis, mungkin sedang pusing.
Namanya “Hedon”. Nama panjangnya “Hedonisme Panglima Hidup”, anggota komunitas hedonisme. Tinggal di kota besar,
tidak suka urusan politik. Agama cukup biasa-biasa saja. Hidup
yang penting untuk
kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan. Tidak masalah bila ada orang bilang “hidup hanya untuk kepentingan
dunia”. Karena egois
dan individualis adalah filsafat hidupnya.
Kaum hedonis kini merajalela. Kumpulan orang-orang yang gemar
pada kesenangan sesaat. Ada di
mana-mana. Apalagi di media
sosial. Utamanya ada di kota besar. Dan kini, mulai merambah ke daerah-daerah. Titik kumpulnya ada di mal-mal, di kafe-kafe, dan tempat
tongkrongan lainnya. Hedonis, ada di tempat senang-senang, Ada di tempat-tempat gaya
hidup dan konsumtif.
Hedon itu bisa jadi sifat, bisa jadi perilaku. Katanya, menyesuaikan
kemajuan zaman. Gaya hidup yang disesuaikan status sosial. Konsumsinya, mulai
dari fashion, gadget, dan lainnya dipandang sebagai “kemewahan”. Hura-hura
sesaat. Namun bebas tanpa batas, tanpa etika. Resep hidupnya pun
sederhana. Semau gue saja.
Alias demi enaknya sendiri. Bisa jadi moralitas dan kemanusiaaan
hanya jadi pajangan, bukan kenyataan.
Sementara kaum pegiat literasi di taman bacaan. Terus-menerus
berjuang bahkan berkorban demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi
masyarakat. Untuk bertahan dan tetap eksis di era digital, di era hedonisme. Tekadnya
untuk memperbaiki diri untuk lingkungannya. Karena taman bacaan yakin. Membaca
buku, walau hanya sesaat, akan
dapat menjadikan hidup lebih baik untuk sesama.
Kenapa bisa hedon, gemar
terhadap hedonisme?
Mungkin, karena derajat manusia hanya diukur dari penampilan fisik dan materi semata. Hidup untuk mencintai dunia. Bukan
akhlak, bukan etika. Bahkan urusan moral dan batin jadi barang tidak laku.
Semuanya serba boleh. Kesenangan dunia adalah segalanya. Hedon, bisa jadi “cabang”
gaya hidup baru yang layak dipertontonkan.
Kaum hedon, bisa jadi tidak suka dengan tulisan ini. Dan itu tidak masalah.
Kan demokrasi. Apa saja boleh. Mau hedon boleh, tidak pun boleh. Tapi secara
moral, hedonis pun hanya sekadar simbol. Tudak lebih hanya status sosial. Untuk
kesenangan sesaat.
Tapi sejatinya, manusia di mana pun tetap bukan
apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kecuali kemanfaatannya kecuali ketakwaannya.
Agar tidak terbuai dan terpenjara pada hedonisme. Karena esok, ada hukum bisa
di bawah pun bisa di atas. Seperti hidup, terkadang tidak cukup hanya akal
sehat. Tapi harus ada hati nurani. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar