Zaman boleh maju. Tapi sayang, prasangka pun makin marak. Tidak sedikit hari ini, orang yang hidup dalam prasangka. Apa saja disangka, siapapun sulit terbebas dari prasangka. Kok bisa?
Kata orang bahasa. Prasangka itu artinya pendapat atau anggapan yang
kurang baik sebelum tahu kebenarannya. Argumen yang dilahirkan tapi
tanpa
bukti. Semua kata orang, semua kata obrolan di rumah-rumah atau di
warung-warung kopi. Sekalipun boleh, prasangka buruk sebaiknya dijauhi. Soal
apapun, untuk siapapun. Karena tidak ada manfaat, dan tidak produktif.
Prasangka itu sederhana.
Apa yang dilakukan orang lain salah. Semua yang diomong orang lain tidak disukai. Dan semua yang
dikerjakan orang lain pun serba salah. Yang benar, hanya komentar dan
pikiran "orang yang berprasangka" saja. Walau dia sendiri
tidak pernah melakukannya. Hanya sebatas komentar dan obrolan. Alhasil, berapa banyak orang
yang kini hidup dalam prasangka?
Zaman boleh makin
maju. Ilmu pun makin
tinggi. Status sosial makin keren. Pendidikan makin mentereng. Tapi sayang, di saat yang
sama. Makin banyak pula orang yang menghabiskan sebagain besar
waktunya untuk prasangka buruk. Terlalu geram berprasangkan.
Siapapun memang boleh tidak empati kepada
orang lain. Tapi itu bukan berarti "halal" untuk
berprasangka buruk. Apalagi menaruh prasangka terhadap kebaikan. Seperti aktivitas di
taman bacaan. Hanya untuk menegakkan tradisi baca dan budaya literasi. Tapi masih
saja ada prasangka di dalamnya. Maka jangankan manusia. Gelapnya mendung atau
terangnya matahari pun tidak luput dari prasangka.
Prasangka bisa jadi makin marak.
Karena tidak mampu ikut merasakan apa yang dialami orang lain. Kaum berprasangka hanya bisa
melampiaskan perasannya sendiri. Hanya bisa membenarkan pikirannya sendiri.
Hingga lupa, manusia sebagus apapun akhlaknya dan sehebat apapun akalnya. Sama sekali tidak
berguna bila selalu direcoki oleh prasangka buruk.
Prasangka makin
merajalela. Akibat tidak bisa lagi berpikir objektif. Gagal bersahabat dengan realitas. Membangun argumen
untuk menyalahkan orang lain. Melampiasakan alasan untuk melegalisasi prasangka.
Mereka berpikir hanya untuk mengatur ulang prasangka buruk. Hingga lupa, bahwa opini yang dibangun berdasar prasangka tanpa fakta. Adalah
awal dari berakhirnya sebuah kebenaran.
Sungguh, tidak ada peradaban baik yang dibangun dari prasangka buruk. Di
mana pun, pada siapa pun. Karena peradaban
baik bukan soal untung rugi. Bukan pula soal sepaham atau tidak sepaham. Peradaban baik itu hanya
soal spirit, soal moralitas.
Soal sikap yang mampu "dituangkan" ke secangkir perilaku.
Harus diakui, memang susah berpikir objektif. Memang sulit membuang
prasangka buruk.
Tapi itu bukan
berarti siapapun tidak boleh
jadi orang baik. Karena orang baik, memang tidak harus sempurna di mata
siapa pun.
Tapi orang baik tidak
boleh berhenti mencari cara untuk memperbaiki diri. Karena
orang baik itu seperti senja. Tidak pernah berduka walau menunggu waktu untuk
tenggelam. Tidak
pernah berteriak dan meminta tolong walau hendak "menghilang".
Maka jauhi prasangka buruk. Mulailah berprasangka
baik bila mau peradaban
jadi baik. Karena prasangka baik bukan
dilihat dari kerasnya kita membaca kitab suci. Tapi dari konsistennya kita
menjalankan apa yang kita baca.
Siapa pun, tidak perlu jadi presiden atau gubernur. Bahkan tidak usah pula
jadi pahlwan. Tapi cukup jadi manusia yang siap "berperang" melawan
prasangka buruk sekecil apapun. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan
#KampanyeLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar