Prihatin terhadap dunia Pendidikan. Saat membaca berita “Kecamatan Rumpin darurat duru da kepala sekolah”. Akibat 23 guru tahun 2021 ini bakal pensiun. Praktis, guru honorer jadi andalan. Sekolah kekurangan guru. Dari data yang ada, kebutuhan kepala sekolah di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor sebanyak 63 orang, sedangkan untuk guru kelas dibutuhkan 494 orang guru (https://bogor-kita.com/kecamatan-rumpin-darurat-guru-sd-dan-kepala-sekolah/). Keadan darurat guru ini sangat memprihatinkan. Apalagi di tengah pandeni Covid-19 dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang sangat butuh guru-guru kreatif. Bisa jadi, fenomena darurat guru ini dialami di daerah-daerah lain di Indonesia.
Bercermin dari kondisi
ini, dapat dipastikan ada masalah dalam tata kelola guru dan lembaga pendidikan
sekolah di Indonesia. Apalagi menyusul
kebijakan SKB 3 Menteri (Menteri Agama – Mendikbud - Mendagri) yang didukung Menpan dan Reformasi
Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) menegaskan tidak adanya
rekrutmen guru CPNS tahun 2021. Lalu diubah menjadi program rekrutmen 1 juta guru Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Konsekuensinya, pelaksana pendidikan
di level daerah kebingungan. Bagaimana antisipasi para guru dan kepala sekolah
ASN yang pensiun? Sehingga lamban dalam proses rekrutmen guru pengganti.
Maka sebagai solusi
terhadap kondisi darurat guru atau kekurangan guru, pemerintah melalui Mendikbud
perlu segera memberikan peraturan menteri untuk menegaskan 1) pejabat Pendidikan
kabupaten/kota di daerah harus segera memperoses pengganti guru ASN yang akan
pensiun tanpa terkecuali, apapun statusnya dan 2) rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2021 harus dipercepat
sesuai dengan kuota masing-masing daerah.Di sisi lain, agenda terkait guru pun
harus mendapat perhatian khusus. Jangan ada marjinalisasi terhadap guru honorer
di daerah yang selama ini terjadi. Karena selama ini guru honorer selalu
dianggap “nomor dua”. Maka guru honorer perlu
mendapat prioritas dan pengembangan agar lebih berkualitas, di samping mendapat
kesejahteraan yang layak. Masalah guru honorer ini bukan hanya terjadi di
sekoah negeri. Tapi terjadi pula pada status “guru tidak tetap” di
sekolah-sekolah swasta. Status guru di sekolah swasta pun sepertinya tidak
mendapat perhatian pemerintah.
Penting untuk diketahui. Selain soal guru honorer di sekolah
negeri, masalah kesejahteraan guru di sekolah swasta pun patut diperhatikan.
Agar sesuai dengan standar upah yang berlaku di daerah tersebut. Intinya, agar
ada kepastian akan kesejahteraan para guru sekolah swasta
dan honorer. Karena faktanya, tidak sedikit guru honorer atau
swasta di daerah yang upahnya di bawah standar UMP/UMR.
Bila buruh bisa demo atas upah, apa guru tidak boleh demo untuk
kesejahteraan mereka?
Belum lagi di luar sana, masih banyak universitas khususnya Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) masih memproduksi tenaga calon guru.
Animo generasi muda untuk menjadi guru yang masih besar. Masih ada puluhan ribu
lulusan S1 calon guru dari berbagai perguruan tinggi. Sementara rekrutmen guru
di sekolah justru dibatasi. Pendidikan menjadi kian tragis.
Masalah
guru, sebenarnya isu klasik dunia pendidikan di Indonesia.
Seolah-olah
isu guru hanya berkutat pada soal darurat guru atau kekurangan guru atau soal
kesejahteraan yang belum layak. Sementara anggaran sektor Pendidikan dan
kebudayaaan tahun
2021 di APBN mencapai Rp550 triliun. Atau sekitar 20 persen dari total APBN
yang mencapai Rp 2.750,02 triliun. Mendikbud sendiri memiliki anggaran Rp 81,5 triliun atau 14,8 persen dari anggaran
pendidikan yang ada di APBN 2021. Jadi, seharusnya dengan anggaran
yang ada harusnya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik dari tahun ke
tahun.
Menurut saya, justru isu penting guru bukan soal di rekrutmen atau
kesejahteraan. Tapi di kompetensi guru yang masih rendah sehingga jadi sebab
tidak optimalnya kualitas pendidikan di Indonesia. Maka mutlak peningkatan
kualitas guru menjadi prioritas. Agar
kualitas pendidikan tidak "jauh panggang dari
api".
Persoalan kompetensi guru
memang tidak sederhana. Walau jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Mala penting
memetakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru. Terlepas dari soal
kekurangan guru atau kesejahteraan guru. Maka setidaknya dapat diduga ada 4
penyebab rendahnya kompetensi guru:
1.
Ketidaksesuaian disiplin
ilmu dengan bidang ajar. Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata
pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya.
2.
Kualifikasi guru yang belum
setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi
tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya.
3.
Program peningkatan
keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang
"tidak mau" mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan
kompetensinya dalam mengajar.
4.
Rekrutmen guru yang tidak
efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme
yang profesional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyaratkan.
Hari ini kompetensi guru harus jadi prioritas. Apalgi di
masa pandemi Covid-19. Yaitu guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi
unit-unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Terjadinya interaksi
guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan
kreativitas. Karena guru bukan sosok
yang dominan di dalam kelas. Maka kompetensi guru harus segera ditingkatkan, itulah
titik penting mutu pendidikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar