Pada kenyataannya, harus diakui, tingkat literasi di Indonesia memang belum memuaskan. Praktik baik gerakan dan budaya literasi belum banyak dilakukan. Bukti paling sederhana, Litbang Kemdikbud, 2019 menyebut angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32 yang tergolong masih rendah.
Menariknya
di Indonesia, ada istilah “malas baca cerewet di media sosial”. Dengan penduduk terbanyak ke-5 di dunia,
mencapai 272 juta orang, riset We Are Social bertajuk “Global Digital Reports
2020” menyebut 64% penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan
internet. Bahkan angka rata-rata orang Indonesia berselancar di dunia maya
tercatat 7 jam 59 menit per hari. Bandingkan dengan rata-rata global hanya 6
jam 43 menit di internet per harinya.
Tidak dapat disangkal,
tegaknya budaya literasi diyakini dapat menjadi
jalan utama untuk mencerdaskan dan mensejahterakan anak bangsa sekaligus
mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul untuk kemajuan Indonesia.
Namun maraknya hoaks dan ujaran kebencian pun jadi bukti nyata masih rendahnya
budaya literasi yang ada di masyarakat.
Lalu, apa itu literasi?
Sesungguhnya,
istilah literasi berasal dari bahasa latin “literatus”, yang
berarti orang yang belajar. Itu berarti, literasi bertumpu pada adanya kesadaran
belajar seseorang untuk memahami realitas yang ada dalam kehidupan hingga mampu
mentransformasikannya ke dalam perilaku sehari-hari. Dengan kata lain, literasi
dapat dimaknakan sikap terhadap realitas. Misalnya, Covid-19 adalah sebuah
realitas. Maka seseorang yang literat semestinya harus patuh kepada protokol Kesehatan
3M (Memakai masker – mencuci tangan – menjaga jarak), bukan sebaliknya.
Dulu, memang literasi dipahami sebatas kemampuan membaca dan
menulis. Namun lebih tepatnya, literasi adalah istilah yang merujuk pada
kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, termasuk
kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam konteks
ini, literasi menyangkut kemampuan berbahasa dan berpikir.
Sesuai
dengan dinamika yang berkembang, literasi pun berevolusi sesuai dengan
tantangan zaman. Maka kini, literasi sudah mengalami perluasan makna yang menyangkut
“kecakapan hidup” dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Literasi yang
merambah pada praktik pendidikan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan teknologi. Oleh karena itu, Education Development Center (EDC) menyebut
literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill
yang dimiliki dalam hidupnya, lebih dari sekadar kemampuan baca tulis.
Sekali
lagi, menurut saya, literasi adalah kesadaran untuk belajar dan memahami
realitas yang ada sehingga mampu mentransformasikan ke dalam perilaku nyata
yang lebih baik. Mau tidak mau, tingkat literasi seseorang harus memiliki
orientasi pada 5 (lima) perilaku yaitu: 1) memahami, 2) melibatkan, 3)
menggunakan, 4) menganalisis, dan 5) mentransformasi teks.
Jadi
dengan tegas, literasi pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang
dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku, mampu adapatsi terhadap perubahan,
dan terpenting mampu memecahkan masalah dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Maka sangat jelas, literasi lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis.
Lalu,
siapa orang yang disebut literat?
Seseorang
dapat disebut literat, bila memiliki kompetensi dan kecakapan hidup. Orang yang
berdaya dan memberdayakan keadaan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan
memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku
sehari-hari. Seseorang yang literat pasti memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu: 1) hidupnya
adaptif, 2) kontibusinya positif, dan 3) manfaatnya solutif.
Bangsa
yang literat dibentuk dari masyarakat yang literat. Masyarakat yang literat,
tentu dibangun dari individu-individu yang literat. Di tengah era digital dan revolusi
industri 4.0, ada 3 (tiga) fokus pendidikan sebagai diskursus literasi, yaitu:
1) literasi dasar, 2) kompetensi, dan 3) kualitas karakter.
Literasi dasar mencakup 6 (enam) hal, yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2)
literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi
finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Berbekal literasi dasar itulah
akan terbentuk 4 (empat) kompetensi yang mencakup 1) kemampuan berpikir kritis,
2) kreativitas, 3) komunikasi, dan 4) kolaborasi. Sehingga dampak besar dari
budaya literasi adalah meningkatnya kualitas karakter menjadi lebih: 1)
religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong royong, dan 5) integritas.
Bila
mekanisme literasi tersebut dapat dicapat, maka bukan omong kosong peradaban suatu bangsa akan memuncak pada budaya
literasi, lahirnya masyarakat yang literat. Dalam skala kecil, literasi terjadi
bila tidak ada lagi hoaks atau ujaran kebencian.
Namun
patut diketahui, puncak dati budaya literasi adalah perilaku atau perbuatan. Bukan
sekadar wacana atau topik diskusi. Literasi membutuhkan aksi nyata, butuh kesadaran,
bahkan butuh kolaborasi. Semua pihak, di manapun, bertanggung jawab atas
tercipta atau tidaknya budaya literasi di masyarakat.
Maka
untuk literasi harus ada kreasi. Tidak cukup hanya niat baik namun harus ada
aksi nyata #BudayaLiterasi #GerakanLiterasi #ApaItuLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar