Minggu, 01 November 2020

Pendiri TBM Lentera Pustaka Raih Penghargaan “20 Naskah Terbaik” Sayembara Menulis Pustaka Bergerak Indonesia Tahun 2020

Apakah Anda percaya masih ada kaum buta aksara di era digital dan serba modern?

Seliter beras yang “ditukar” semangat berantas buta aksara. Hanyalah sepenggal kisah untuk membangun kesadaran belajar kaum buta aksara di Kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah proses pemberantasan buta aksara yang tidak akan pernah usai. Sekaligus “mengusir” stigma di masyarakat bahwa belajar baca tulis tidak berguna di usia yang tidak lagi muda. Karena ibu-ibu kaum buta aksara, menganggap kegiatan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih menarik dan jadi prioritas. Ketimbang belajar baca dan tulis. Itulah bukti bahwa kesadaran dan kepedulian pendidikan masyarakat masih sangat rendah. Adalah fakta, masih ada kaum buta aksara di tengah era digital. Letaknya tidak jauh dari ibu kota Jakarta, hanya berjarak puluhan kilometer. Memberantas buta aksara, memang tidak mudah di zaman now. Selain faktor usia dan kesadaran, faktor gengsi pun masih menyelimuti kaum buta aksara. Apalagi di tengah himpitan ekonomi, makin kuat alasan mereka untuk tidak belajar dan malu mengenal huruf. Kaum buta aksara bukan hanya terpinggirkan, bahkan hampir pasti tidak diperhatikan banyak orang. Atas panggilan hati, seminggu sekali saya pun datang khusus dari Jakarta untuk terjun langsung mengajar mereka, warga belajar buta aksara di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

Itulah penggalan artikel berjudul “Seliter Beras untuk Berantas Buta Aksara” oleh Syarif Yunus selaku Pendiri TBM Lentera Pustaka yang berhasil terpilih sebagai “20 naskah terbaik” pada Sayembara Menulis Bulan Bahasa Tahun 2020 yang digelar oleh Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) yang bekerja sama dengan: Sarah Book Store, Rasikei, Yayasan Otong Indonesia.

 

Sayembara Menulis PBI disajikan untuk berbagi pengalaman dan kisah suka-duka bergerak dalam dunia literasi; tentang latar belakang dan proses pendirian hingga pengembangan simpul pustaka, juga gagasan tentang literasi dan gerakannya. Kisah perjuangan inspiratif dalam menegakkan perilaku baca masyarakat Indonesia yang tidak sebatas kegiatan sosial. Namun bertaburan “best practice” yang patut diapresiasi. Karena mereka bergerak atas hati nurani untuk sesama, untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

  

Naskah-naskah sayembara menulis yang masuk pun beragam; berasal dari ujung barat hingga timur Indonesia. Dari ke-47 naskah yang diterima maka terpilih “20 naskah terbaik” yang mendapat penghargaan sayembara menulis PBI. Nantinya, ada 38 naskah yang akan diterbitkan ke dalam buku bertajuk “Para Pencipta Peristiwa”. Indonesia (PBI) sebagai buku kisah “praktik baik gerakan literasi”. Tentu, seluruh naskah yang diterbitkan akan dilakukan penyuntingan dan penyelarasan aksara oleh tim relawan editor PBI (https://www.facebook.com/groups/pustakabergerak/permalink/1304600996538994/?comment_id=1304981139834313).

 


Menariknya, sebagaiman dikutip akun facebook PBI, rencana penerbitan buku "Para Pencipta Peristiwa" ini pun melibatkan penggerak literasi lainnya untuk menyumbang ide dan saran dalam kegiatan "Sayembara Ilustarasi Sampul" buku Para Pencinta Peristiwa. Sebuah proses kolaborasi ber-literasi; dari – oleh – untuk literasi.

 

“Saya sangat apresiasi terhadap sayembara menulis Pustaka Bergerak Indonesia (PBI). Karena literasi saat ini jadi diskursus yang banyak dibicarakan. Tapi faktanya, literasi belum banyak dipahami banyak orang. Literasi di Indonesia, selain harus dipraktikkan harusnya memang mampu dituliskan. Agar lebih dokumentatif dan jadi bagian sejarah gerakan literasi itu sendiri” ujar Syarif Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus Dosen Unindra di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

Sejatinya, literasi adalah kesadaran untuk belajar dan memahami realitas untuk mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku nyata yang lebih baik. Maka kata kunci literasi, harus ada kesadaran belajar – memahami realitas yang ada – transformasi ke dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, setiap gerakan literasi sekecil apapun harus bisa dituliskan. Apalagi dalam konteks era digital dan revolusi industri 4.0, mau tidak mau, literasi harus bertumpu pada 5 (lima) perilaku nyata yaitu: 1) memahami, 2) melibatkan, 3) menggunakan, 4) menganalisis, dan 5) mentransformasi teks. Jadi dengan tegas, literasi pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku, mampu adaptasi terhadap perubahan, dan terpenting mampu memecahkan masalah dalam realitas kehidupan sehari-hari. Plus, setiap kisah baik literasi harus dituliskan.

 

Penghargaan sayembara menulis PBI adalah sebuah apresiasi. Untuk makin menegaskan  bahwa literasi adalah perbuatan alias perilaku. Agar literasi tidak hanya besar di ruang-ruang seminar atau pikiran semata. Tanpa ada implementasi atau aksi nyata. Maka semua pihak, siapapun, harus peduli dan ikut aktif dalam menggerakan aktivitas literasi di manapun. Untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Karena di tengah gempuran era digital dan rongrongan gaya hidup. Mau tidak mau, hanya gerakan literasi yang mampu menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing masyarakat menjadi lebih baik. Menuju peradaban dan kehidupan masyarakat yang lebih cerdas dan berkualitas. 

 

Jadi, gerakan literasi di manapun harus terus bergerak. Hingga kapanpun… Salam literasi. #GerakanLiterasi #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar