Apakah Anda percaya masih ada kaum buta aksara di era digital dan serba modern?
Seliter
beras yang “ditukar” semangat berantas buta aksara. Hanyalah sepenggal kisah
untuk membangun kesadaran belajar kaum buta aksara di Kaki Gunung Salak Bogor.
Sebuah proses pemberantasan buta aksara yang tidak akan pernah usai. Sekaligus
“mengusir” stigma di masyarakat bahwa belajar baca tulis tidak berguna di usia
yang tidak lagi muda. Karena ibu-ibu kaum buta aksara, menganggap kegiatan
yang menghasilkan nilai ekonomi lebih menarik dan jadi prioritas. Ketimbang
belajar baca dan tulis. Itulah bukti bahwa kesadaran dan kepedulian pendidikan
masyarakat masih sangat rendah. Adalah fakta, masih ada kaum buta aksara di
tengah era digital. Letaknya tidak jauh dari ibu kota Jakarta, hanya berjarak
puluhan kilometer. Memberantas buta aksara, memang tidak mudah di zaman now.
Selain faktor usia dan kesadaran, faktor gengsi pun masih menyelimuti kaum buta
aksara. Apalagi di tengah himpitan ekonomi, makin kuat alasan mereka untuk
tidak belajar dan malu mengenal huruf. Kaum buta aksara bukan hanya terpinggirkan,
bahkan hampir pasti tidak diperhatikan banyak orang. Atas panggilan hati,
seminggu sekali saya pun datang khusus dari Jakarta untuk terjun langsung
mengajar mereka, warga belajar buta aksara di Kaki Gunung Salak Bogor.
Itulah
penggalan artikel berjudul “Seliter Beras untuk Berantas Buta Aksara” oleh
Syarif Yunus selaku Pendiri TBM Lentera Pustaka yang berhasil terpilih
sebagai “20 naskah terbaik” pada Sayembara Menulis Bulan Bahasa Tahun 2020 yang
digelar oleh Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) yang bekerja
sama dengan: Sarah Book Store, Rasikei, Yayasan Otong Indonesia.
Sayembara
Menulis PBI disajikan untuk berbagi pengalaman dan kisah suka-duka bergerak
dalam dunia literasi; tentang latar belakang dan proses pendirian hingga
pengembangan simpul pustaka, juga gagasan tentang literasi dan gerakannya. Kisah
perjuangan inspiratif dalam menegakkan perilaku baca masyarakat Indonesia yang
tidak sebatas kegiatan sosial. Namun bertaburan “best practice” yang patut
diapresiasi. Karena mereka bergerak atas hati nurani untuk sesama, untuk masa
depan bangsa yang lebih baik.
Naskah-naskah sayembara menulis yang masuk pun beragam;
berasal dari ujung barat hingga timur Indonesia. Dari ke-47 naskah yang
diterima maka terpilih “20 naskah terbaik” yang mendapat penghargaan sayembara
menulis PBI. Nantinya, ada 38 naskah yang akan diterbitkan ke dalam buku
bertajuk “Para Pencipta Peristiwa”.
Indonesia (PBI) sebagai buku kisah “praktik baik gerakan literasi”. Tentu, seluruh
naskah yang diterbitkan akan dilakukan penyuntingan dan penyelarasan aksara
oleh tim relawan editor PBI (https://www.facebook.com/groups/pustakabergerak/permalink/1304600996538994/?comment_id=1304981139834313).
Menariknya, sebagaiman dikutip akun facebook
PBI, rencana penerbitan buku "Para Pencipta Peristiwa" ini pun melibatkan
penggerak literasi lainnya untuk menyumbang ide dan saran dalam kegiatan
"Sayembara Ilustarasi Sampul" buku Para Pencinta Peristiwa. Sebuah proses
kolaborasi ber-literasi; dari – oleh – untuk literasi.
“Saya sangat apresiasi terhadap sayembara
menulis Pustaka Bergerak Indonesia (PBI). Karena literasi saat ini jadi diskursus
yang banyak dibicarakan. Tapi faktanya, literasi belum banyak dipahami banyak
orang. Literasi di Indonesia, selain harus dipraktikkan harusnya memang mampu
dituliskan. Agar lebih dokumentatif dan jadi bagian sejarah gerakan literasi
itu sendiri” ujar Syarif Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus Dosen
Unindra di Kaki Gunung Salak Bogor.
Sejatinya, literasi
adalah kesadaran untuk belajar dan memahami realitas untuk mentransformasikan
pikiran ke dalam perilaku nyata yang lebih baik. Maka kata kunci literasi,
harus ada kesadaran belajar – memahami realitas yang ada – transformasi ke
dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, setiap gerakan literasi sekecil apapun
harus bisa dituliskan. Apalagi dalam konteks era digital dan revolusi industri
4.0, mau tidak mau, literasi harus bertumpu pada 5 (lima) perilaku nyata yaitu:
1) memahami, 2) melibatkan, 3) menggunakan, 4) menganalisis, dan 5)
mentransformasi teks. Jadi dengan tegas, literasi pastinya merujuk pada
“kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku,
mampu adaptasi terhadap perubahan, dan terpenting mampu memecahkan masalah
dalam realitas kehidupan sehari-hari. Plus, setiap kisah baik literasi harus dituliskan.
Penghargaan sayembara
menulis PBI adalah sebuah apresiasi. Untuk makin menegaskan bahwa literasi adalah perbuatan alias
perilaku. Agar literasi tidak hanya besar di ruang-ruang seminar atau pikiran
semata. Tanpa ada implementasi atau aksi nyata. Maka semua pihak, siapapun,
harus peduli dan ikut aktif dalam menggerakan aktivitas literasi di manapun.
Untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Karena di tengah gempuran era
digital dan rongrongan gaya hidup. Mau tidak mau, hanya gerakan literasi yang
mampu menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing masyarakat menjadi
lebih baik. Menuju peradaban dan kehidupan masyarakat yang lebih cerdas dan
berkualitas.
Jadi, gerakan literasi
di manapun harus terus bergerak. Hingga kapanpun… Salam literasi.
#GerakanLiterasi #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar