Memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-92 pada 28 Oktober 2020 ini, IKA BINDO (Ikatan Alumni Bahasa Indonesia) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengimbau politisi dan masyarakat untuk menggunakan Bahasa Indonesia secara santun, Agar terhindar dari hoaks dan ujaran kebencian yang akhirnya jadi kasus hukum.
Ditangkapnya Gus Nur akibat
ujaran kebencian. Kasus Jerinx akibat pencemaran nama baik. Bahkan maraknya
hoaks seputar omnibus law UU Cipta Kerja dan Covid-19 adalah bukti Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional tidak dipakai dengan santun. Data Kominfo menyebut ada 2.020 unggahan hoaks terkait pandemi Covid-19 di media
sosia dari Jan-Okt 2020. Sementara Komnas HAM sepanjang taun 2019 menerima 4.778 aduan kasus hoaks dan ujaran kebencian.
Maka
sesuai butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, sudah selayaknya
politisi dan masyarakat menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu
bangsa. Bukan malah untuk menebae kebencian, menghujat atau mencemarkan nama
baik.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak
cukup digunakan dengan baik dan benar, namun harus juga santun. Bahasa santun artinya
digunakan secara positif, tidak
menyinggung perasaan orang lain dan tata bahasanya pun sesuai aturan. Karena kesantunan
berbahasa dapat menjaga hubungan baik dan rasa saling percaya, termasuk menghindarkan
perselisihan. Adalah martabat Bahasa Indonesia sejak dicetuskan selalu memperhatikan
harkat kemanusiaan dan harga diri orang lain, bukan bahasa yang provokatif atau
memancing kemarahan.
“Di tengah era
digital dan media sosial yang masif sekarang ini, sangat penting politisi dan
masyarakat berhati-hati dalam berbahasa. Jangan sampai bahasa dijadikan alat menebar
kebencian dan hoaks. Maka berbahasa Indonesia harus didukung oleh kompetensi. Cukup
gunakan bahasa yang santun, selain baik dan benar. Agar tidak gaduh, tidak jadi
masalah hukum” ujar Syarifudin Yunus, Ketua IKA BINDO UNJ dalam siaran pers
hari ini (27/10/2020).
IKA BINDO UNJ
menyadari. Bahasa Indonesia saat ini sering disalahgunakan bahkan sengaja disalahartikan.
Hingga timbul istilah 1) disinformasi (informasi yang tidak tepat dan destruktif
secara disengaja), 2) malinformasi (informasi fakta yang disebar untuk
merugikan pihak tertentu), dan 3) misinformasi (informasi salah yang disebarkan).
Hingga akhirnya timbul kasus hoaks atau ujaran kebencian yang kian marak.
Sebagai organisasi alumni sarjana pendidikan
Bahasa Indonesia, IKA BINDO mengajak politisi dan masyarakat untuk tidak
sembarang berkata-kata, apalagi di media sosial. Teks-teks bahasa yang negatif dan
memprovokasi harus “dipaksa” untuk dihindari. Agar Bahasa Indonesia tetap dijunjung
tinggi sebagai jati diri bangsa, di samping jadi alat pemersatu bukan pemecah-belah.
Bahasa
bukanlah hanya asal bicara. Tapi harus memperhatikan marwah kesantunan dan
martabat dalam berbahasa. Sebab, bahasa merupakan ciri kepribadian dan karakter
pemakai bahasanya. Berbahasa Indonesia itu harus baik karena sesuai tempatnya,
berbahasa pun harus benar karena pas maknanya. Dan bahasa pun harus santun.
Agar tidak ada yang tersinggung atau merasa dipojokkan. Bahasa Indonesia yang
santun berarti bahasa yang tidak memprovokasi.
"Berbahasa Indonesia memang mudah. Tapi
bukan berarti boleh sembarangan. Kosakata atau diksi harus dipilih sesuai
tujuannya, bukan malah memancing emosi atau amarah orang lain. Kesantunan berbahasa
itulah masalah kita hari ini" tambah Syarifudin Yunus yang telah lebih
dari 26 tahun sebagai dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Indraprasta
PGRI.
Menyadari pentingnya peran bahasa Indonesia di
era digital, IKA BINDO UNJ pun bertekad untuk melakukan kajian teks tentang
ujaran kebencian dan hoaks secara lebih objektif. Hal ini agar dapat dipahami
oleh masyarakat tentang apa dan bagaimana teks ujaran kebencian terjadi serta
dampak buruknya terhadap ilmu bahasa Indonesia. Teks bahasa itu tersurat,
sedang makna tersirat. Maka untuk menjaga nilai rasa bahasa diperlukan, perilaku
berbahasa yang santun.
Apalagi
di musim pilkada tahun 2020 ini, kesantunan bahasa harus jadi prioritas.
Gunakanlah bahasa Indonesia yang merekatkankan, bukan menjauhkan. Politisi
harus menghindari bahasa sarkasme atau ujaran kebencian. Agar eksistensi bahasa
Indonesia sebagai identitas bangsa tetap terpelihara sekalipundi tengah
keberagaman dan perbedaan.
Maka Hari Sumpah Pemuda adalah momen. Untuk
mengembalikan “khitah” Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar