Dalam survei kecil saya, 70% dari TBM atau taman bacaan yang ada terkesan “mati suri”. Dibilang ada lembaganya tapi tidak ada aktivitasnya. Mungkin, karena taman bacaan dianggap sebagai kegiatan sosial. Sehingga cara mengelolanya pun bersifat sosial. Sebagian besar operasionalnya keluar dari “kocek pribadi’ pendirinya. Apalagi tidak mendapat dukungan dari pemda setempat, di samping sulit memperoleh donasi buku bacaan. Bila asumsi itu benar, maka wajar taman bacaan memang “mati suri”.
Berangkat dari realitas itu, saya di TBM Lentera Pustaka
selalu cari cara yang kreatif. Spiritnya sederhana, menjadikan taman bacaan
sebagai tempat yang menarik dan menyenangkan. Itulah yang saya sebut “TBM
Edutainment”. Sebuah model tata kelola taman bacaan yang berbeda; berbasis
edukasi dan hiburan. Sejalan itu pula, saya berkomitmen untuk “terjun langsung”
mengelolanya. Hingga akhirnya, saya “menawarkan” beberapa korporasi untuk ber-CSR
di TBM Lentera Pustaka. Alhasil, alhamdulillah sejak 3 tahun berdiri. TBM
Lentera Pustaka selalu “dipilih” sebagai sasaran CSR korporasi. Tiap tahun ada
3 perusahaan ber-CSR sebagai sponsor. Tentu untuk menutupi biaya operasional
taman bacaan, seperti: membeli buku, honor petugas baca, bayar listrik &
wifi, dan lainnya.
Apa yang saya mau bilang di sini? Sederhana, taman bacaan
harus terus memperbaiki diri. Terus berbenah dalam hal 1) mengajak anak-anak
usia sekolah untuk membaca, 2) menyediakan buku-buku bacaan secukup mungkin,
dan 3) komitmen pengelola yang harus kokoh – tidak pantang menyerah. Berbasis
kondisi itulah, aktivitas taman bacaan bak “air mengalir”. Terus bergerak dan
bertemu di “hulu” dengan orang-orang baik, speerti donatur buku bacaan dan CSR
korporasi sebagai sponsor.
Di TBM Lentera Pustaka, saya belajar betul. Bahwa mengelola
taman bacaan tidak cukup hanya “komitmen”. Tapi harus didukung sikap “konsistensi”
yang tidak berkesudahan. Dan mengandalkan pola interaksi yang “partisipatif”
bukan “sosial”. Sehingga semua pihak merasa terlibat sesuai dengan kapasitasnya
dan kebisaannya.
Maka taman bacaan di manapun, seperti TBM Lentera Pustaka
di Kaki Gunung Salak Bogor yang saya kelola harus terus memperbaiki diri.
Berbenah terus untuk menambah “daya dobrak” kemanfaatan bagi masyarakat
sekitarnya. Bahkan harus “tahan banting” dari berbagai cobaan yang kadang bikin
frustrasi. Taman bacaan memang harus tahan bantin, di samping harus terus
memperbaiki diri.
Lalu, bagaimana cara taman bacaan memperbaiki diri agar
tetap eksis?
Berdasar pengalaman saya, maka setidaknya ada 3 cara
taman bacaan tidak boleh “kehilangan” semangat memperbaiki diri. Agar tetap
dapat eksis, tumbuh dan berkembang dalam menegakkan tradisi baca dan budaya
literasi masyarakat.
1. Tetapkan tujuan dan
sasaran taman bacaan yang paling mudah. Semuanya dilakukan secara perlahan dan
bertahap. Karena taman bacaan memang harus berproses dengan segala peluang dan
tantangannya. Semangat juang pegiat literasi di taman bacaan pun harus bertahap.
2.
Tetapkan tindakan kecil untuk terus
memperbaiki kondisi taman bacaan secara berkelanjutan. Jangan cepat puas di
taman bacaan karena itu menyesatkan. Perbaiki tempat membaca anak-anak,
perbaiki kondisi buku-buku, perbaiki program baca anak-anak, bahkan perbaiki
terus tata kelola taman bacaan speerti kartu baca anak-anak.
3.
Jangankan
taman bacaan, manusia pun seringkali jalan hidupnya tidak sesuai harapan.lalu,
apa harus terus dikeluhkan? Putus asa, frustrasi atau bahkan bingung tidak akan
pernah menyelesaikan masalah. Solusinya hanya satu, teruslah berjuang untuk
memperbaiki diri. Agar taman bacaan tetap dapat menebar manfaat di
lingkungannya berada.
Maka
upaya memperbaiki diri di taman bacaan harus terus dilakukan, secara
berkelanjutan. Karenn taman bacaan adalah pengabdian, bukan pengorbanan. Dan
jawabnya, siapapun yang ada di taman bacaan harus memuat “tidak ada celah
antara rencana dan aksi”. Salam
literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi #BudayaLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar