Bagaimana anak di era digital diperlakukan?
Sungguh
tidak mudah bagi orang tua, bagi siapapun. Mendidik anak, memang bukan soal
rumit. Tapi bukan pula soal sederhana. Harus pas, harus proporsional. Karena tiap
anak punya potensi, karakter, dan kepekaan yang berbeda. Tiap anak memang khas,
tiap anak pun unik. Seperti dirinya sendiri, bukan seperti anak-anak yang
diperbandingkan.
Di Hari
Anak Nasional, 23 Juli 2020 ini. Pesan sederhananya adalah “jangan perlakukan
anak-anak seperti kue klepon; terlalu mudah di-gibahkan terlalu mudah dibesar-besarkan
tanpa mau memberi solusi terhadap persoalan anak-anak itu sendiri”.
Sejatinya,
tidak ada anak-anak yang mau dikeluhkan orang tuanya. Tidak pula ada anak yang
ingin lemah atau tidak memenuhi harapan orang tua. Maka biarkan anak-anak itu
berproses untuk menemukan dirinya sendiri. Tanpa harus dibanding-bandingkan
atau dijerat pikiran orang tuanya sendiri. Sehingga yang terjadi bukan maunya
anak. Tapi maunya orang tua.
Kadang
suka kasihan pada anak-anak sekarang. Terlalu sering “dipaksa” mengikuti apa
yang diinginkan orang tuanya. Dalihnya, agar anak bisa lebih berhasil dari
orang tuanya. Agar masa depannya cerah. Atau agar anak-anak itu bisa sukses seperti
yang dipikir dan dimau orang tuanya. Sementara anak-anak itu tidak pernah tahu,
apa sebenarnya yang dimaksud “berhasil” versi orang tuanya itu?
Di zaman now, hampir semua orang tua berlomba dan bersaing mencari cara jitu
dalam mendidik anak. Tidak boleh ini tidak boleh itu. Harus les ini les itu.
Ikut ekstrakurikuler ini dan ekstrakurikuler itu. Dam begitu wabah Covid-19
melanda, semuanya buyar. Alias ambyar. Dan yang pusing tujuh keliling, justru
kaum orang tua. Bukan anaknya. Itulah keadaan anak-anak di era revolusi industri
4.0 yang hidup dalam perangkap “kehendak” orang tua, bukan kehendak anak.
“Nak,
pokoknya ayah pengen kamu begini nanti. Karena itu ayah berjuang untuk kamu…” Ada lagi dialog “Nak kalau mau sukses, Mama kasih
tahu kamu harus begini begitu …” Begitulah kira-kira dialog yang terjadi
antara orang tua dan anak di rumah-rumah. Orang tua hampir lupa, semua yang
dilakukan anaknya adalah kehendak orang tuanya.
Maka
di Hari Anak Nasional ini, Orang tua bertanyalah kepada anaknya: “Kamu, ingin
apa Nak? Kamu mau bagaimana?”. Untuk mendengarkan suara hati anak yang
sesunggunya. Untuk menyimak apa yang diinginkan anak-anak kepada orang tuanya.
Kamu
ingin apa, Nak?
Andai
anak-anak itu ditanya orang tuanya. Mungkin segudang jawaban ingin disampaikannya
secara langusng. Agar orang tuanya mengerti apa yang diinginkannya, apa yang diharapkan
dari orang tuanya.
Anak-anak yang ingin jadi dirinya sendiri. Anak-anak yang tidak sering
dikeluhkan orang tuanya. Bahkan anak-anak yang tidak mudah dibesar-besarkan oleh
orang tuanya sendiri sekalipun. Karena mereka, anak-anak yang tidak lembek
tidak pula bengis. Anak-anak itu sama sekali tidak mau diperlakukan seperti “kue
klepon” yang terlalu mudah dibesar-besarkan dan tdak produktif sama sekali.
Maka
anak-anak itu pun akan menjawab. Bila hari ini, aku ditanya orang tua ingin
apa?
Aku
akan menjawab. Bahwa aku ingin ibuku membiarkan aku bermain sesuka hati,
sebentar saja. Aku ingin ayahku melakukan apa saja persis seperti yang dia katakan
kepadaku selama ini. Aku hanya ingin ibuku tidak menganggap diriku seperti
dirinya. Aku juga ingin tidak menganggap diriku sebagai foto copy dirinya. Bahkan
mulai esok, aku ingin ibuku berbicara secukupnya saja kepadaku, tentang hal
yang penting saja. Dan aku ingin pula ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahannya sebelum menceritakan kesalahan-kesalahanku.
Kamu
mau bagaimana, Nak?
Sungguh,
aku tidak ingin apa-apa. Aku tidak punya banyak kemauan atau harapan. Aku hanya
ingin jadi diriku sendiri. Bukan menjadi seperti yang orang tuaku mau. Karena
aku memang bukan orang tuaku. Aku adalah aku, dan kini aku sedang berproses
untuk bertemu dengan jati diriku sendiri.
Maka aku, hanya ingin. Ibu dan ayahku ada di sampingku. Sambil memeluk erat dan
mendekap penuh kasih sayang. Karena aku khawatir. Ternyata orang tuaku lebih
peduli ponsel-nya daripada aku. Ternyata orang tuaku tidak mengenal diriku yang
sesungguhnya. Dan ternyata, orang tuaku lebih sering membohongiku dengan alasan
untuk kebaikan.
Sungguh,
anak-anak Indonesia hari ini. Hanya butuh contoh dan perilaku yang baik-baik.
Bukan kritik yang berlebihan atau kebencian yang berkelanjutan. Anak-anak yang
tidak perlu diajarkan untuk jadi orang sukses, orang kaya atau orang bahagia. Hanya
anak-anak yang lebih optimis dalam hidupnya, bukan pesimisme atau ketakutan
yang melulu.
Anak-anak
yang lebih mampu menghargai nilai daripada materi. Agar tetap seimbang lahir
dan batin, seimbang dunia dan akhirat.
Selamat Hari Anak Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar