Wabah Covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia. Virus yang merajalela dan mengancam jiwa manusia. Penyebarannya sulit dideteksi bahkan tidak bisa diduga. Siapa yang menularkan, siapa yang ditularkan? Hingga kini pun, tidak satupun ahli yang tahu. Kapan wabah virus corona akan berakhir?
Saking lamanya orang bekerja dari rumah. Istilah kerennya work from home. Saking lamanya anak-anak tidak sekolah. Saking lama pula kampus belajar jarak jauh. Ekonomi porak-poranda. Kondisi psikologis manusia gelisah dan di ambang kefrustrasian. Semua dianggap “tidak normal” alias “abnormal”. Dan kini didengungkan untuk berdamai dengan Covid-19. Disebutlah istilah “new normal”, sebuah era hidup normal baru. Hidup dengan protokol kesehatan. Rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak satu sama lainnya. Itulah “new normal”.
Lalu saya menyatakan. Maaf saya tidak butuh “new normal”. Karena dari dulu hingga kini saya normal-normal saja. Saya bukan orang yang “menuhankan” gaya hidup. Saya pun bukan pecinta dunia yang gemar nongkrong di kafe-kafe. Apalagi kongkow-kongkow yang tidak produktif seperti manusia abnormal. Saya tidak butuh new normal. Karena saya bukan orang yang merekayasa diri untuk dipuji. Apalagi buang waktu ngobrolin orang lain dan negara yang tidak ada manfaatnya. Saya tidak suka berkamuflase dalam hidup. Saya hanya orang biasa yang normal. Seorang pengelola taman bacaan di Kaki Gunung Salak Bogor. Bahkan pengajar ibu-ibu buta huruf.
Jadi tegas saya katakan. Saya tidak butuh era “new normal”. Karena “new normal” hanya untuk orang-orang penggila gaya hidup dan pecinta dunia. Mereka yang sudah gagal membedakan mana kenyataan dan mana fantasi? Maka “new normal” bisa disebut cara kecil untuk membesarkan hati penggila gaya hidup dan pecinta dunia. Karena Covid-19 adalah “kematian” gaya hidup mereka.
Saya sama sekali tidak butuh “new normal”. Karena memang saya orang normal. Karena sebelum Covid-19, berapa banyak orang yang sudah hidup “tidak normal”. Lalu akibat Covid-19, mereka terpenjara di rumah, terkurung dalam fantasi hidup mereka sendiri. Maka kini, mereka butuh “new normal”.
Kemarin-kemarin sebelum Covid-19, sudah banyak orang yang hidupnya tidak normal. Sebut saja, manusia abnormal. Siapa mereka itu?
Mereka itu kaum yang “menuhankan” ponsel alias gawai. Di mana saja, tangannya selalu menggengam ponsel. Di rumah, di kantor, di jalan, bahkan saat berkumpul pun hanya ponsel yang dipelototin. Ponsel dianggap lebih menarik dan lebih utama ketimbang berbincang dengan orang di sebelah. Tidak ada lagi obrolan, canda dan tawa yang orisinal. Manusia abnormal, ketika menganggap ponsel jadi segalanya dalam hidupnya. Bangga padahal tidak produktif. Jadi “new normal” itu kurangi pakai ponsel dan bergaulah di dunia nyata.
Sangat abnormal sebelum Covid-19. Ketika banyak orang gemar “mempertontonkan” gaya hidup hedonis. Hobby kulineran, hobby traveling. Kemana-mana mampu dilakonin. Bahkan rumah pun dibikin “surga”. Tapi sayang di saat yang sama, tidak gemar sedekah. Apalagi bantu anak yatim dan orang miskin. Jarang menghampiri orang susah. Otanya hanya ada citra dan prestise. Hidupnya enak buat sendiri, tapi tidak ada manfaatnya buat orang lain yang susah. Mau masuk surga tapi sendirian. Ini pun abnormal. Jadi “new normal” itu perbanyak sedekah dan manfaat buat orang lain yang membutuhkan.
Ada lagi yang sangat abnormal kemarin. Kaum yang milih “tempat nongkrong” dianggap berkelas. Minum kopi doang harus bayar Rp. 45 ribu. Sementara kopi saya hanya 3 ribu; kalau bikin sendiri hanya seribu per sachet. Hanya orang abnormal yang bayar kopi semahal itu. Hanya minum kopi tapi harus bayar prestise dan simbol merek ternama. Sangat abnormal, bila membayar terlalu berlebihan untuk secangkir kopi di tempat nongkrong.
Jadi maaf. Saya tidak butuh “new normal”. Karena saya normal-normal saja. Dari dulu sampai sekarang. Ada corona atau tidak ada corona. Tidak bergaya hidup, tidak pula hedonis. Dan “new normal” biarlah untuk mereka yang cinta gaya hidup, yang gandrung prestise dan pengagum citra keren.
Umberto Uco bersama Baudrillard sudah bilang tahun 1981. Abnormal itu ketika manusia memandang sesuatu secara berlebihan. Disebut hiper-realitas. Saat kepalsuan dikonsumsi sebagai kenyataan. Mereka yang tidak mampu lagi membedakan kenyataan dan fantasi. Atas dalih era digital era media sosial. Itu semua abnormal, maka butuh “new normal”. Sementara saya, normal-normal saja …. #BudayaLiterasi #NewNormal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar