Durasi
waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari
sejam. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9
buku. Itu hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017. Kondisi itu, tentu
jauh di bawah standar Unesco yang meminta agar waktu membaca tiap orang 4-6 jam
per hari.
Itulah
salah satu bukti budaya literasi di Indonesia masih sangat rendah. Angka
membaca Indonesia sangat jauh tertinggal. Sementara masyarakat di negara maju
rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Anehnya, orang Indonesia
mampu menghabiskan waktu 5,5
jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.
Teknologi
boleh makin maju. Tapi itu semua tidak menjamin budaya literasi di Indonesia
makin baik. Orang makin kaya belum tentu makin peduli pada budaya literasi.
Bahkan tidak sediki hari ini oprang pintar yang meninggalkan kegiatan literasi.
Katanya
era digital, era revolusi industri 4.0. Tapi faktanya, justru banyak orang makin
malas membaca, makin malas menulis. Maka wajar, budaya literasi makin dikebiri.
Bahkan hari ini, budaya literasi dianggap cukup diseminarkan tanpa perlu aksi
nyata.
Budaya literasi itu budaya
membaca dan menulis. Masyarakat yang lebih gemar membaca dan menulis daripada
berceloteh di media sosial atau menonton TV. Agak sulit menjadikan budaya
literasi sebagai gaya hidup. Karena banyak orang hari ini, lebih senang budaya
milenial, budaya serba instan, dan budaya gaya hidup.
Maka di
tengah memprihatinkannya budaya literasi di Indonesia, taman bacaan masyarakat
atau perpustakaan mau tak mau harus mengambil peran yang lebih besar. Taman bacaan harus mampu menjadi ujung tombak
untuk mengkampanyekan budaya literasi di anak-anak dan masyarakat. Bahwa
membaca sesuatu yang penting. Untuk menggali informasi dan pengetahuan, bahkan menjadi
tempat pemberdayaan masyarakat berbasis literasi. Apalagi di tengah gempuran
era digital yang kian tak terbendung.
“Budaya literasi di
Indonesia makin ke sini makin memprihatinkan. Untuk itu, taman bacaan
masyarakat harus bisa jadi ujung tombak untuk menghidupkan tradisi baca dan
tulis. Jangan biarkan dunia gawai atau dunia maya memgendalikan hidup anak-anak
kita” ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi sekaligus Pendiri TBM Lentera
Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Berangkat dari realitas
budaya literasi yang memprihatinkan itulah, Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Lentera Pustaka yang berlokasi di Desa Sukaluyu Kaki Gunung Salak Bogor sangat
peduli untuk membangun budaya literasi di masyarakat, di lingkungan, di
keluarga bahkan di sekolah. Budaya literasi yang dibuat menarik dan
menyenangkan. Agara anak-anak mau lebih dekat dengan buku bacaan. Karena
inti budaya literasi, membaca harus jadi perilaku anak-anak dalam keseharian.
Membaca harus jadi kebiasaan, bahkan gaya hidup. Setelah itu, kemudian
membiasakan menulis.
Melalui konsep “TBM-Edutainment”, TBM Lentera
Pustaka saat ini telah menjadi tempat membaca bagi 60-an anak pembaca aktif. Dengan
jam baca 3 kali seminggu, rata-rata setiap anak membaca 5-10 buku. Dengan koleksi
lebih dari 3.000 buku, TBM Lentera Pustaka ingin mengubah “mind set” agar
anak-anak agar mau membaca dan selalu dekat dengan buku.
Memang tidak mudah
membangun budaya literasi masyarakat. Namun dengan pengalaman yang telah
dimplementasikan, TBM Lentera Pustaka memberikan resep membangun budaya
literasi yang bertumpu pada 7 (tujuh) tahapan sebagai berikut:
1. Pahami pentingnya membaca
(karena dapat menambah kosakata, wawasan, kesabaran, karakter) sebagai landasan
untuk menulis.
2. Optimalkan taman bacaan atau perpustakaan
di manapun; agar tercipta kesempatan untuk membaca.
3. Budayakan membaca sebagai gaya
hidup sehari-hari sebagai penyeimbang gawai.
4. Hadiahkan buku kepada anak perlu
dibiasakan.
5. Komunitas baca masyarakat perlu
ditebarkan di masyarakat.
6. Omong sedikit tapi harus banyak
membaca. Jadikan membaca sebagai kebiasaan, tanpa perlu banyak omong.
7. Menulislah setiap hari. Tanpa
menulis, maka sulit tercipta budaya literasi.
Budaya literasi, tentu
tidak boleh kalah dari gaya hidup modern yang serba instan, bergantung pada
gawai atau gadget. Karena masa depan bangsa Indonesia bukan terletak pada
pengguna gawai. Tapi ada dan melekat pada anak-anak, generasi muda yang mau
membaca dan menulis. Anak-anak yang dekat dengan buku.
“Budaya literasi kini semakin tersingkir. Inilah momentum semua pihak untuk
turun tangan menghidupkan kembali budaya membaca dan menulis di kalangan
anak-anak kita. Jika tidak, anak-anak itu akan terlindas zaman” tambah
Syarifudin Yunus yang saat ini tengah menekuni disertasi S3 tentang taman
bacaan.
Budaya literasi adalah
sinyal. Bila kita jauh dari buku maka akan merana. Bila dekat dengan buku maka
akan bahagia. Jangan bilang cinta anak, bila tidak ada aksi nyata. Karena cinta
bukan hanya serpihan ludah yang terpancar dari lisan semata. Tapi cinta itu tentang
kepedulian terhadap budaya literasi. Salam Literasi. #TBMLenteraPustaka
#BudayaLiterasi #TradisiBaca #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar