Hari-hari setelah pensiun, Pak Darto bangun lebih pagi dari biasanya. Jam dinding di ruang tamu baru menunjukkan pukul lima, tapi ia sudah duduk di kursi rotan, menatap kalender akhir tahun yang masih tergantung rapi. Angka merah bertuliskan “Pensiun” di tanggal kemarin belum ia lingkari. Rasanya aneh. Tiga puluh dua tahun bekerja, lalu berhenti begitu saja, tanpa sirene, tanpa tepuk tangan.
Dulu, setiap
pagi hidupnya diatur jam kantor. Sekarang, waktu terasa longgar sekaligus
menakutkan. Istrinya, Bu Siti, menyeduhkan teh hangat.
“Besok mau
ngapain, Pak?” tanyanya pelan.
Pak Darto
tersenyum, tapi jawabannya menggantung. “Ya… santai dulu.”
Beberapa minggu
pertama setelah pensiun memang menyenangkan. Ia memperbaiki pagar rumah,
mengganti motor lama, dan mentraktir cucu-cucu makan bakso. Uang pensiun yang
diterimanya sekaligus tampak besar. Angkanya meyakinkan. Ia merasa aman.
“Sekali seumur
hidup, nikmati saja,” katanya pada diri sendiri.
Dan tidak
terasa Pak Darto sudah melewati masa pensiun setahun lamanya.
Di tahun kedua:
rasa aman mulai retak
Memasuki tahun
kedua, Pak Darto mulai menghitung ulang. Bukan karena uangnya habis, tapi
karena tidak ada lagi angka yang masuk setiap bulan. Yang ada hanya saldo yang
pelan-pelan berkurang. Ia mulai cemas setiap kali ke ATM. Bukan karena saldo
kecil tapi karena setiap penarikan terasa seperti mengurangi masa depannya. Biaya
hidup ternyata tidak sekecil yang dibayangkan. Listrik naik, harga beras
berubah, dan suatu hari Bu Siti harus dirawat karena tekanan darah. BPJS
membantu, tapi tetap ada biaya tambahan. Pak Rahmat mulai sering berkata dalam
hati, “Kalau masih kerja, tentu nggak akan begini.”
Tahun ketiga: menyesal
yang datang terlambat
Suatu sore, ia
bertemu teman lamanya, di mushola. Teman Pak Darto sudah pensiun dua tahun
lebih dulu, tapi terlihat tenang. “Kamu nggak khawatir uang pensiun?” tanya Pak
Darto.
Teman Pak Darto pun tersenyum. “Ada pensiun bulanan. Nggak besar, tapi cukup.
Setiap tanggal segini selalu masuk.” Kalimat itu menancap lama di kepala Pak Darto.
Dulu, HR pernah
menawarkan program dana pensiun tambahan DPLK. Iurannya kecil tapi rutin,
katanya. Tapi Pak Darto menolak. “Masih lama pensiun,” pikirnya waktu itu.
“Lebih baik uangnya dipakai sekarang.”
Dan sekarang,
ia sadar: yang paling dirindukan bukan besarnya uang, tapi kepastian bulanan.
Di tahun kelima:
belajar hidup lebih pelan
Pak Darto mulai
menyesuaikan hidup. Ia mencatat pengeluaran, menahan keinginan, dan berhenti
membantu keuangan keluarga besar kecuali benar-benar perlu. Ia tidak ingin
menjadi beban, tapi juga tidak ingin pura-pura kuat. Kadang ia merasa gagal.
Kadang ia menyalahkan diri sendiri. Namun, ia juga mulai menerima kenyataan.
“Kalau dulu ada
yang bilang pensiun itu soal arus kas, bukan jumlah uang, mungkin saya akan
berpikir dua kali,” gumamnya pada suatu malam.
Akhirnya di tahun
ketujuh: menjadi peringatan yang baik
Kini, Pak Darto
sering diundang berbicara di arisan RT atau acara kantor lama. Bukan sebagai
pejabat, tapi sebagai cerita hidup. Ia selalu berkata jujur:
“Bekerja itu
capek, tapi pensiun tanpa penghasilan rutin jauh lebih melelahkan secara pikiran.”
Ia tidak
menakut-nakuti. Ia hanya bercerita. Tentang bagaimana uang besar bisa terasa
kecil jika tidak diatur. Tentang bagaimana ketenangan datang bukan dari saldo
besar, tapi dari kepastian setiap bulan.
Suatu pagi, Pak
Darto kembali menatap kalender. Kini ia tidak lagi menghitung berapa lama
uangnya bertahan. Ia menghitung hari dengan lebih sederhana: hari ini cukup,
besok semoga tetap cukup. Dan di setiap cerita yang ia bagikan kepada generasi
yang masih bekerja, ia selalu menutup dengan kalimat yang sama “Pensiun bukan
soal berhenti bekerja, tapi soal bagaimana tetap hidup dengan tenang.”
Jadi, persiapkan
masa pensiun dari sekarang. Pastikan tersedia dana yang cukup untuk hari tua
dan dibayarkan secara bulanan. Mungkin, dana pensiun seperti DPLK bisa jadi
solusi. Agar tidak seperti saya di masa pensiun, lirih Pak Darto.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar