Tadinya, kita hanya mengenal penyakit
“silent killer”. Seperti hipertensi, diabetes, kanker, atau jantung. Secara
tiba-tiba menyerang dan mematikan. Ternyata, tidak hanya di penyakit. Pemimpin
atau atasan yang “silent killer” pun ada. Sebut saja, pemimpin yang arogan dan
bersikap subjektif dalam menjalin hubungan kerja. Gejaa awalnya tidak jelas, sudah
dikenali pada tahap awal jadi pemimpin. Tapi seiring perjalanan, akhirnya jadi
penyebab kerusakan serius pada organisasi kerja. Sebut saja, pemimpin “silent
killer”, yang pada akhirnya akan merusak organisasi kerja yang mewadahinya. Hati-hati
dan patut dicermati.
Pemimpin "silent
killer" dalam konteks sosial jarang bergaul. Biasanya muncul belakangan untuk
meng-aktualisasikan diri sambil merebut simpati orang lain. Tapi begitu diberi “jabatan”
langsung berubah perilakunya jadi manipulatif. Pikirannya buruk, sikapknya
subjektif dan gemar menjustifikasi apapun. Biasanya karena kurang wawasan dan
kurang pergaulan. Tidak luas pergaulan sebelumnya. Dalihnya untuk memajukan
organisasi, tapi nyatanya “jalan di tempat”. Bila ada yang dilakukan hanya
sebatas “membayar” janji yang digebar-gemborkan sebelum punya jabatan. Pemimpin
“silent killer” biasanya targetnya memusuhi orang yang tidak sepaham dan dengan
segala cara berusaha menyingkirkan orang lain (sekalipun awalnya meminta
dukungan untuknya). Jadi, hati-hati dengan pemimpin “silent killer atau
pembunuh senyap.
Pemimpin buruk alias “silent
killer” biasanya berusaha untuk mengendalikan orang lain. Tanpa diketahui niat
jahatnya secara langsung. Seringkali membangun narasi atau argumen subjektif, untuk
menyatakan “harusnya begini, harusnya begitu”. Untuk menyatakan secara “halus”
orang lain salah. Padahal, narasi dan argument yang dibangunnya hanya
akal-akalan alias berangkat dari subjektivitas tinggi. Tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Bahkan nyata-nyata, pemimpin “silent killer” ngomongnya
di depan publik “manis” tapi perilaku konkretnya”pahit”. Dikasih kepercayaan
memegang organisasi, justru jadi momen untuk mencari popularitas semu!
Ternyata, pemimpin “silent
killer” itu ada dan nyata. Orang begini biasanya jarang bergaul, wawasannya pun
sempit. Ditambah sikap arogan dan subjektif, maka jadilah prinsip kerjanya “kaca
mata kuda”. Sok tahu dan sok merasa benar. Pemimpin model begini, pengen maju
tapi harus menyingkirkan orang lain. Pengen “naik daun” tapi harus menjatuhkan orang
lain. Pengen dibilang baik tapi caranya menjelekkan orang lain. Dan pengen
dibilang benar tapi harus menyalahkan orang lain. Jadi, hati-hatti bila ketemu
dengan pemimpin model begini. Diam dan pergi!
Pemimpin “silent killer”, bekerja dalam senyap untuk memperjuangkan arogansi
dan subjektivitasnya. Ilmunya belum tentu banyak tapi merasa tahu segalanya. Kerjanya
elegan dan halus tapi niatnya untuk menyingkirkan orang lain tanpa terlihat
jahat. Dia lupa, bahwa pangkat jabatan dan sejenisnya itu cuma semu. Dia rela
bermusuhan dengan orang lain hanya untuk menyebut dirinya benar. Padahal bila si-survei
pakai google form tentang dirinya, mungkin skor-nya biasa-biasa saja.
Hati-hati
bila bertemu pemimpin “silent killer” di tempat kerja, di organisasi profesi.
Biasanya pura-pura mendukung, tapi diam-diam menjatuhkan. Di depan orang banyak
seolah setuju atau ramah, tapi di belakang memberi info negatif, gosip, atau
framing buruk tentang orang lain. Terlalu gampang memanipulasi informasi
sekalipun ada bukti otentik. Lalu membangun narasi dan argumen yang seolah-olah
dia baik. Dan biasanya, dia tidak bisa kerja. Jadi harus menggunakan orang
ketiga – pihak lain untuk eksekusi pikiran buruknya. Anehnya, ada pula
orang-orang yang sama buruknya dengan si pemimpin “silent iller”.
Kata-kata
pemimpin “silent killer” deliknya bisa kelihatan. Bilangnya “wahh idenya bagus
tapi saya maunya begini …”. Kesannya mendukung orang lain padahal sedang
memaksa “pikirannya” untuk di-iya-kan orang lain. Begitulah seterusnya dan
seterusnya. Tidak jadi tapi mampu “bersandiwara” dengan mulut manisnya. Tentu,
tujuannya untuk memoles citra diri sambil mengecilkan orang lain. Kalau lagi
sendiri, kira-kira dia akan menepuk dadanya sendiri sambil berkata dalam hati, “tuh
kan, gue mampu …”. Begituah adanya si “silent killer”.
Maka
hati-hati, bahwa pemimpin buruk yang “silent killer” itu ada di dekat kita.Kata-katanya
“manis” untuk menutupi hatinya yang “busuk”. Omongannya keren untuk memanipulasi
niat jahatnya. Permainannya halus tapi terstruktur jeleknya. Hingga jelas
pembeda anta pemimpin “silent killer” vs pemimpin sehat yang demokratis.
Pemimpin buruk “silent killer”
nyata-nyata lebih senang membicarakan orang, sementara pemimpin sehat lebih
gemar membahas ide dan gagasan. Pemimpin buruk lebih senang menengok masa
lampau, sementara pemimpin sehat lebih bicara visi ke depan dan apa yang mau
dikerjakan. Selamat mencermati dan berhati-hatilah dengan pemimpin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar