Sulit dibantah, penelitian atau riset itu penting. Selain itu mengembangkan pengetahuan dan inovasi, penelitian juga jadi dasar yang memberikan dasar untuk membuat keputusan dan memecahkan masalah. Bertindak dan bekerja berdasarkan data dan hasil penelitian, bukan lagi business as usual. Apalagi di industri dana pensiun, tidak banyak penelitian yang dilakukan. Padahal tanpa riset, dana pensiun sulit memastikan skema pensiun yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat sebagai instrumen jangka panjang untuk menjamin kesejahteraan di hari tua.
Penelitian dana pensiun penting dilakukan. Agar bisa jadi masukan regulasi yang
diperlukan. Dana pensiun mengelola triliunan rupiah, lalau bagaimana uang itu
diinvestasikan dan apa pula manfaatnya untuk peserta? Penelitian dana pensiun bisa
memberi masukan soal tata kelola, transparansi, dan manajemen risiko sekaligus
menjadi bagian memperkuat literasi dan inkluis keuangan. Banyak pekerja
informal (UMKM, freelancer, petani, nelayan) belum punya akses ke dana pensiun.
Melalui penelitian, dana pensiun perlu memikirkan gimana cara jadi produk keuangan
yang inklusif sesuai karakter profesinya. Agar mereka tidak rentan secara keuangan
di masa tua. Jadi, penelitian dana pensiun bukan hanya soal angka. Tapi soal
data dan dinamika terbaru seputar dana pensiun yang disajikan secara ilmiah dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Seperti saya dan anak ke-2 saya yang lulusan statistika UB menulis dan
meneliti bareng tentang dana pensiun untuk keperluan jurnal ilmiah. Dari
ngobrol hingga kolaborasi ilmiah membahas “Kepesertaan DPLK Secara Individu dan
Karakteristiknya untuk Meningkatkan Penetrasi Dana Pensiun Pekerja Sektor
Informal di Indonesia”. Insya Allah bulan September 2025 ini akan terbit di
JUPSIM (Jurnal Publikasi Sistem Informasi dan Manajemen Bisnis) terakreditasi
SINTA 5. Selain berkontribusi terhadap penelitian dana pensiun, ternyata asyik
banget bisa nulis bareng anak untuk urusan yang ilmiah. Ini kali kedua saya
menulis bareng anak saya.
Anak ke-2 saya, yang kini bekerja di Kantor Konsultan Aktuaria punya
pikiran tajam tentang memajukan dana pensiun di Indonesia. Dan sebagai ayahnya
dengan latar belakang praktisi dana pensiun sekaligus dosen pun menuangkannya
ke dalam penelitian. Setelah melalui proses tinjauan reviewer, naskah saya
bersama anak dinyatakan akurat, valid, dan dapat diterima untuk publikasi.
Sudah memenuhi standar ilmiah yang diakui oleh komunitas akademis.
Nulis ilmiah bareng anak, bolehlah dibilang sebagai diseminasi,
penyebarluasan ide dan gagasan baru secara ilmiah. Untuk mendekati sebuah
persoalan dengan cara baru, khususnya di industri dana pensiun. Agar bisa
diakses langsung oleh publik dan menjadi catatan pengetahuan yang sifatnya
lebih permanen. Selain untuk rekam jejak digilan, publikasi ilmiah juga bisa
jadi pengakuan profesional dan reputasi ilmiah kan. Dan yang terpenting, bisa
memberi kontribusi terhadap masyarakat luas. Hasil penelitian yang bisa diterapkan,
dapat memengaruhi kebijakan, praktik industri, bahkan inovasi dan solusi untuk
menjawab tantangan yang ada.
“Saya memilih memberi masukan ke industri dana pensiun melalui penelitian. Sudah
banyak penelitian tentang dana pensiun yang saya publikasikan. Kali ini dengan
anak, saya meneliti tentang kepesertaan DPLK secara individu dan karakteristiknya.
Agar pekerja sektor informal bisa akses dana pensiun” ujar Syarifudin Yunus, peneliti
dana pensiun sekaligus asesor LSP Dana Pensiun dalam rilisnya.
Apa isi penelitiannya? Kita tahu saat ini ada 152 juta pekerja di
Indonesia, 60% ada di sektor informal dan 40% di sektor formal. Sayangnya, 95%
dari total pekerja di Indonesia terancam “miskin di hari tua”. Karena tidak
adanya persiapan untuk masa pensiun. Karena itu, penting memformulasikan
kepesertaan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) secara individu, utamanya
untuk pekerja informal seperti driver ojol, pekerja lepas, atau freelancer.
Selain tetap bekerja tapi punya tabungan pensiun untuk hari tua.
Hasilnya penelitiannya ternyata menyebut pekerja secara individual bila mau
menabung di DPLK karakteristiknya terungkap: 1) tergolong berpenghasilan
rendah, 2) iuran yang disetor paling besar Rp. 100.000 per bulan, 3) iurannya
berpotensi tidak tetap setiap bulannya, 4) usia pensiun ditetapkan sesuai
dengan tujuan keuangannya, dan 5) motif menjadi peserta DPLK karena tidak
memiliki program pensiun untuk hari tua atau untuk dana darurat. Saat ini
peserta DPLK secara individual (atas ksesadaran sendiri) hanya berjumlah
560.000 peserta dari 3 juta peserta. Dan 86% pekerja informal sama sekali belum
mempersiapkan dana pensiun. Maka penting edukasi dan akses digital untuk
meningkatkan partisipasi pekerja informal ke dana pensiun. Dari segi
potensinya, bila 25% dari pekerja informal yang ada saat ini di Indonsia
mengikuti DPLK dengan iuran minimal Rp. 50.000 per bulan maka potensi akumulasi
dananya bisa mencapai Rp. 132 triliun dalam jangka waktu 10 tahun ke depan.
Lumayan besar kan. Jadi, memang perlu digarap dana pensiun di kalangan pekerja
sektor informal dan individual.
Tapi jauh yang paling berkesan, justru bisa nulis bareng dengan anak di
jurnal ilmiah. Diskusi dulu, lalu diteliti bersama dan dipublikasikan secara
ilmiah. Nulis bareng itu banyak sisi positifnya. Selain melatih berpikir kritis
dan logis, juga dapat meningkatkan keterampilan menulis secara ilmiah. Plus
membangun portofolio akademik bila tulisannya sampai terbit di jurnal ilmiah.
Dan ketahuilah, semua orang pasti ingin dana pensiun maju pesat di
Indonesia. Agar mampu sejahterakan pekerja di hari tua, di masa pensiun. Tapi siapapun
yang mau maju, tidak boleh mengabaikan data, tidak boleh melalaikan hasil-hasil
penelitian yang sudah dipublikasikan. Indonesia Emas di tahun 2045 itu
ditetapkan melalui data dan riset ilmiah, bukan sekadar angan-angan atau omong
kosong. Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar