Sebagai bagian untuk memperbarui survei tata kelola taman bacaan masyarakat (TBM) dan dibantu oleh AI, bila ditanya dari mana dana atau anggaran untuk membiayai operasional taman bacaan? Maka responden menjawab 87% dari dana pengelolanya atau swadaya, 12% dari donator/CSR, dan 1% dari pemerintah. Sekalipun bersifat sosial, tentu taman bacaan masyarakat pasti membutuhkan biaya. Minimal untuk biaya listrik, wifi, atau kebutuhan dasar sebagai organisasi sosial. Survei tata kelola taman bacaan ini dilakukan oleh TBM Lentera Pustaka yang diikuti 172 responden dari 97 kabupaten/kota di 27 provinsi di Indonesia, dengan data yang diperbarui pada Agustus 2025. Dengan tujuan, untuk memetakan kondisi objektif taman bacaan dari sisi pengelolanya.
Mayoritas pembiayaan operasional taman bacaan dari “kantong”
pengelolanya bisa disebabkan banyak faktor diantaranya minimnya anggaran Pemerintah
untuk TBM atau taman bacaan. APBN/APBD untuk sektor literasi lebih banyak
dialokasikan ke perpustakaan umum, sekolah, dan program formal, bukan untuk TBM
berbasis komunitas. Bantuan untuk TBM sering kali hanya berbentuk hibah buku
atau program sekali waktu, bukan pendanaan operasional rutin.
Faktor lainnya adalah status badan hukum TBM yang tidak seragam.
Banyak TBM berbentuk inisiatif komunitas atau perorangan, tidak berbadan hukum
(yayasan). Akibatnya, sulit mengakses dana hibah resmi atau kerja sama dengan
swasta/pemerintah karena syarat legalitas yang tidak terpenuhi. Di sisi lain,
TBM dengan model berkelanjutan belum
banyak diterapkan. TBM lebih sering dijalankan sebagai kegiatan sosial
ketimbang lembaga dengan model bisnis sosial. Tidak ada sumber pemasukan rutin
selain donasi, sehingga akhirnya pengelola menutup kekurangan biaya dengan kantong
pribadi.
Rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi
tantangan tersendiri. Taman bacaan atau literasi belum dianggap kebutuhan utama
oleh sebagian besar masyarakat. Dukungan dalam bentuk donasi rutin atau
sponsorship masih sangat terbatas. Akibantnya, bila TBM mau eksis maka beban
terbesar ada di pengelolanya. Hingga saat ini, belum ada kebijakan khusus literasi
berbasis komunitas. Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan program Perpusnas RI, bisa
jadi masih terfokus pada sekolah dan perpustakaan daerah. Sehingga TBM sebagai
simpul literasi informal di kampung-kampung belum memiliki kerangka kebijakan
dan pendanaan khusus.
Survei ini menegaskan
pentingnya kolaborasi dan sinergi berbagai pihak untuk sedikit banyaknya mencari
solusi atas dana operasiolan TBM yang beroperasi di daerah masing-masing.
Kolaborasidapat berbentuk donasi maupun CSR. Agar semangat meningkatkan
kegemaran membaca anak-anak dan masyarakat tetap berlangsung dengan optimal. Melihat
peran penting taman bacaan, dana operasional patut mendapat perhatian. Utamanya
untuk melakukan aktivitas dan program literasi di taman bacaan, di samping
untuk meingkatkan sarana prasarana yang dibutuhkan taman bacaan.
Potret hari ini, masalah dana
operasional masih menjadi “pekerjaan rumah” para pegiat literasi dan
masyarakat. Tapi apa pun kondisinya, taman bacaan tetap komitmen untuk terus
meningkatkan budaya baca dan ketersediaan akses bacaan di masyarakat. Salam
literasi #SurveiTamanBacaan #TBMLenteraPustaka #TataKelolaTBM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar