Ini contoh peran konkret taman bacaan di masyarakat. Di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, saat ini ada 2 anak difabel yang secara rutin datang di jam baca. Sebut saja si A dan si T yang kini berubah menjadi anak yang ceria dan penuh energi. Sangat rajin datang ke taman bacaan. Selain agar dekat dengan buku, kedua anak difabel TBM Lentera Pustaka menjadikan taman bacaan sebagai tempat interaksi sosial dan aktualisasi diri. Agar hidupnya lebih semangat dan merasa dihargai oleh lingkungan sekitar. TBM yang memberi ruang bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk bergaul. Keduanya sudah bergabung di TBM Lentera Pustaka sejak tahun 2021, empat tahun lalu disetorkan oleh ibunya.
Mungkin tidak banyak taman bacaan yang
punya ruang untuk anak difabel. Selain membutuhkan penanganan khusus, TBM pun
harus punya “doktrin yang kuat” soal memperlakukan anak-anak difabel. Utamanya
aturan untuk anak-anak normal agar tidak “bersikap dan berperilaku” yang berpotensi
“mem-bully” anak difabel. Apalagi anak difabel yang disetor orang tuanya ke
TBM, dipercayakan untuk bisa berada di taman bacaan. Akibat orang tuanya
frustrasi atas perlakuan sosial terhadap anak difabel dan mahalnya akses pendidikan
formal untuk anak difabel di daerah. Itu fakta, maka anak difabel kian terpinggirkan
sekalipun topik “ramah difabel” serig kali didengungkan di ruang seminar atau
meja diskusi.
Harus diakui, anak-anak difabel dan
orang-orang lemah, faktanya memang belum mendapat perhatian di negeri ini.
Mereka dapat disebut kaum yang tersingkirkan. Padahal tidak satu pun dari kita,
mau dilahirkan dalam keadaan difabel. Kondisi yang mengalami keterbatasan, baik
secara fisik maupun mental. Karenanya, TBM Lentera Pustaka mengambil peran khusus
untuk anak difabel. Bahwa setiap anak posisinya sama dan setara, harus saling
menghormati. Adab yang sengaja diajarkan di taman bacaan. Soal cara
memperlakukan orang lain yang dianggap "tidak normal”.
Anak-anak difabel hampir sulit
mendapat tempat di masyarakat. Mau main dengan teman sebaya, di-bully. Mau
sekolah, biayanya sangat-sangat mahal dan lokasinya pun jauh. Maka wajar, orang
tua yang anaknya difabel atau “anak berkebutuhan khusus” jadi pusing. Mau ke
mana membawa anaknya ber-aktualisasi diri? Agar bisa belajar interaksi dengan
orang lain, di samping mampu aktualisasi diri. Dan kini, si A dan si T sudah
tumbuh menjadi anak difabel yang ceria dan serasa hidupnya lebih punya harapan.
Rajin datang dan tidak lagi “kuper” akibat keterbatasan fisik dan mental yang
dialaminya.
Jujur saja, anak difabel di TBM
Lentera Pustaka memang tidak membaca. Tapi mereka bermain dengan rekan sebaya.
Terjadi interaksi dengan anak-anak normal lainnya. Mampu aktualisasi diri dan
yang paling penting, “ada rasa dimanusiakan oleh manusia lainnya”. Karena di
luar sana, mungkin, anak-anak difabel kian tersingkir dari lingkungan sosial.
Anak difabel yang didiskualifikasi “tanpa sengaja” dari akses dan aktivitas
kehidupan sosial.
Lagi-lagi, di TBM Lentera Pustaka,
selalu ada pelajaran. Bahwa berani berbuat baik ternyata bisa jadi cara
mengubah momen "gelap" seseorang (anak difabel) menjadi seberkas
cahaya. Itulah pentingnya kepedulian taman bacaan, untuk memainkan peran sosial
yang lebih besar khususnya bagi anak-anak difabel.
Jadi, seperti apa gerakan literasi dan
taman bacaan yang inlusif? Salam literasi! #AnakDifabel #TBMLenteraPustaka
#TamanBacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar