Pak Darto menatap pekarangan rumah yang banjir akibat hujan lebat seharian. Rerumputan berserakan, sandal jepit mengambang. Seperti isi hatinya yang kian bingung setelah pensiun. Beban hidupnya terasa makin berat. Di tangannya, sebuah amplop putih lusuh berisi tagihan UKT kuliah anak bungsunya, harus bayar Rp8.000.000 semester ini. Bukan jumlah yang besar bagi sebagian orang. Tapi bagi seorang pensiunan sepertinya, tagihan itu seperti batu besar yang menghantam dada.
Ia menarik
napas dalam, duduk di kursi kayu reyot yang sudah mulai rapuh. Kursi itu sudah
menemaninya sejak ia pindah ke rumahnya dua puluh tahun silam. Dulu, saat masih
aktif bekerja di perusahaan swasta sebagai bagian logistik, Pak Darto bisa
membeli apa pun yang dibutuhkan. Tapi waktu bergulir cepat, dan masa pensiun
datang seperti tamu tak diundang. Kini, dia hanya menjalani hari-hari sebagai
pensiunan tanpa punya gaji lagi.
Pak Darto
memang menerima manfaat pensiun bulanan dari dana pensiun tempatnya bekerja, Namanya
DPPK. Tapi jumlahnya hanya cukup untuk listrik, air, dan kebutuhan dapur
seadanya. Apalagi, sejak istrinya meninggal dua tahun lalu karena diabetes yang
tak tertangani dengan baik, ia membiayai semuanya sendirian, dari beras,
obat-obatan, sampai pendidikan anak bungsunya.
Anak bungsunya
baru semester tiga di jurusan Teknik Informatika. Anak yang cerdas, pendiam,
dan tak banyak menuntut. Tapi justru karena itu, Pak Darto merasa lebih
bersalah. Anaknya tak pernah meminta uang jajan tambahan, apalagi ponsel baru.
Ia hanya sesekali menyodorkan lembar tagihan kampus dengan wajah tertunduk.
Seperti malam ini.
“Pak, ini…
harus dilunasi minggu depan. Kalau tidak, saya nggak bisa ikut UTS,” suara anak
bungsunya lirih. Ia tak sanggup menatap mata ayahnya.
Pak Darto
hanya mengangguk. Ia tidak menjawab, tak juga mengeluh. Ia tahu anaknya pun
sedang berjuang, dan ia tak ingin menambah beban psikologis anak bungsunya
dengan keluhan orang tua yang merasa gagal.
Malam itu, Pak
Darto tak bisa tidur. Di kamar kecilnya yang pengap, ia duduk bersandar pada
dinding sambil membuka buku catatan keuangan. Di antara deretan angka yang tak
seimbang, ia menulis: “Tua bukan berarti bebas. Pensiun bukan berarti selesai.
Kami masih hidup, dan hidup menuntut biaya, begitulah seterusnya.”
----
Keesokan
harinya, Pak Darto memberanikan diri datang ke warung milik Bu Yati, tetangga
sebelah. Ia menawarkan bantuan apa pun. Membantu mengangkat galon, menjaga
warung, membersihkan halaman. Awalnya Bu Yati segan, tapi melihat wajah Pak Darto
yang begitu sungguh-sungguh, ia akhirnya menyetujui. Setiap pagi, Pak Darto
mulai membantu di warung. Siangnya ia beristirahat, dan malam hari, ia bekerja
sebagai penjaga keamanan kompleks. Tiap hari Pak Darto hanya tidur empat jam
sehari.
Seminggu
kemudian, anak bungsunya menyerahkan kuitansi pembayaran kuliah ke ayahnya
dengan mata berkaca-kaca.
“Bapak
pinjam uang?” tanyanya pelan.
Pak Darto tersenyum
kecil. “Tidak Nak. Bapak hanya kerja sedikit lebih keras.”
Anak
bungsunya menunduk. “Maaf, Pak… saya belum bisa bantu apa-apa.”
Pak Darto
memegang bahu anaknya. “Kamu bantu Bapak dengan kuliah yang sungguh-sungguh.
Itu sudah cukup Nak.”
----
Tahun-tahun
berlalu. Anak bungsunya lulus kuliah dengan predikat cum laude dan mendapat
pekerjaan di perusahaan teknologi besar. Tapi kebahagiaan itu datang terlambat.
Saat ia menerima gaji pertamanya dan pulang membawa hadiah untuk sang ayah, ia
hanya menemukan rumah sepi. Pak Darto telah tiada, wafat di pos keamanan
tempatnya bekerja malam hari. Menurut laporan, ia sempat mengeluh sesak napas,
tapi tetap bersikeras menyelesaikan giliran jaga hingga pagi hari.
Di rumahnyayang
sempit, Anak bungsu Pak Darto menemukan buku catatan ayahnya. Di halaman
terakhir, ada tulisan seperti tangan gemetar:
“Anakku,
jika hidup ini harus dibayar dengan lelahku, aku rela. Asal kamu tidak perlu
mengalami hari tua seberat ini. Hidup bukan tentang kaya, tapi tentang
meninggalkan warisan: bukan uang, tapi jalan yang lebih ringan untuk anak yang
kita cintai.”
Anak
bungsunya pun menutup buku itu perlahan, dan menangis untuk pertama kalinya
sejak ia menjadi dewasa. Tangisan bukan karena sedih semata, tapi karena ia
sadar: seluruh hidup ayahnya adalah pengorbanan diam-diam yang tak pernah ia
pahami sepenuhnya.
Sepeninggal
Pak Darto, anak bungsunya kini bekerja sangat keras. Untuk membalas kemiskinan
yang dialami ayahnya di masa pensiun. “Betapa pentingnya dana pensiun untuk
hari tua yang nyaman dan tenang”, ujar batin anak bungsunya sambil menutup
pintu rapat-rapat. Salam #YukSiapkanPensiun #CerpenPensiunan
#EdukasiDanaPensiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar