Kamis, 22 Mei 2025

Cerpen "Kisah Pak Darto di Hari Tua"

Pak Darto menatap pekarangan rumah yang banjir akibat hujan lebat seharian. Rerumputan berserakan, sandal jepit mengambang. Seperti isi hatinya yang kian bingung setelah pensiun. Beban hidupnya terasa makin berat. Di tangannya, sebuah amplop putih lusuh berisi tagihan UKT kuliah anak bungsunya, harus bayar Rp8.000.000 semester ini. Bukan jumlah yang besar bagi sebagian orang. Tapi bagi seorang pensiunan sepertinya, tagihan itu seperti batu besar yang menghantam dada.

 

Ia menarik napas dalam, duduk di kursi kayu reyot yang sudah mulai rapuh. Kursi itu sudah menemaninya sejak ia pindah ke rumahnya dua puluh tahun silam. Dulu, saat masih aktif bekerja di perusahaan swasta sebagai bagian logistik, Pak Darto bisa membeli apa pun yang dibutuhkan. Tapi waktu bergulir cepat, dan masa pensiun datang seperti tamu tak diundang. Kini, dia hanya menjalani hari-hari sebagai pensiunan tanpa punya gaji lagi.

 

Pak Darto memang menerima manfaat pensiun bulanan dari dana pensiun tempatnya bekerja, Namanya DPPK. Tapi jumlahnya hanya cukup untuk listrik, air, dan kebutuhan dapur seadanya. Apalagi, sejak istrinya meninggal dua tahun lalu karena diabetes yang tak tertangani dengan baik, ia membiayai semuanya sendirian, dari beras, obat-obatan, sampai pendidikan anak bungsunya.

 

Anak bungsunya baru semester tiga di jurusan Teknik Informatika. Anak yang cerdas, pendiam, dan tak banyak menuntut. Tapi justru karena itu, Pak Darto merasa lebih bersalah. Anaknya tak pernah meminta uang jajan tambahan, apalagi ponsel baru. Ia hanya sesekali menyodorkan lembar tagihan kampus dengan wajah tertunduk. Seperti malam ini.

“Pak, ini… harus dilunasi minggu depan. Kalau tidak, saya nggak bisa ikut UTS,” suara anak bungsunya lirih. Ia tak sanggup menatap mata ayahnya.

 

Pak Darto hanya mengangguk. Ia tidak menjawab, tak juga mengeluh. Ia tahu anaknya pun sedang berjuang, dan ia tak ingin menambah beban psikologis anak bungsunya dengan keluhan orang tua yang merasa gagal.

 

Malam itu, Pak Darto tak bisa tidur. Di kamar kecilnya yang pengap, ia duduk bersandar pada dinding sambil membuka buku catatan keuangan. Di antara deretan angka yang tak seimbang, ia menulis: “Tua bukan berarti bebas. Pensiun bukan berarti selesai. Kami masih hidup, dan hidup menuntut biaya, begitulah seterusnya.”

----

Keesokan harinya, Pak Darto memberanikan diri datang ke warung milik Bu Yati, tetangga sebelah. Ia menawarkan bantuan apa pun. Membantu mengangkat galon, menjaga warung, membersihkan halaman. Awalnya Bu Yati segan, tapi melihat wajah Pak Darto yang begitu sungguh-sungguh, ia akhirnya menyetujui. Setiap pagi, Pak Darto mulai membantu di warung. Siangnya ia beristirahat, dan malam hari, ia bekerja sebagai penjaga keamanan kompleks. Tiap hari Pak Darto hanya tidur empat jam sehari.

 

Seminggu kemudian, anak bungsunya menyerahkan kuitansi pembayaran kuliah ke ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Bapak pinjam uang?” tanyanya pelan.

Pak Darto tersenyum kecil. “Tidak Nak. Bapak hanya kerja sedikit lebih keras.”

Anak bungsunya menunduk. “Maaf, Pak… saya belum bisa bantu apa-apa.”

Pak Darto memegang bahu anaknya. “Kamu bantu Bapak dengan kuliah yang sungguh-sungguh. Itu sudah cukup Nak.”



----

Tahun-tahun berlalu. Anak bungsunya lulus kuliah dengan predikat cum laude dan mendapat pekerjaan di perusahaan teknologi besar. Tapi kebahagiaan itu datang terlambat. Saat ia menerima gaji pertamanya dan pulang membawa hadiah untuk sang ayah, ia hanya menemukan rumah sepi. Pak Darto telah tiada, wafat di pos keamanan tempatnya bekerja malam hari. Menurut laporan, ia sempat mengeluh sesak napas, tapi tetap bersikeras menyelesaikan giliran jaga hingga pagi hari.

 

Di rumahnyayang sempit, Anak bungsu Pak Darto menemukan buku catatan ayahnya. Di halaman terakhir, ada tulisan seperti tangan gemetar:

“Anakku, jika hidup ini harus dibayar dengan lelahku, aku rela. Asal kamu tidak perlu mengalami hari tua seberat ini. Hidup bukan tentang kaya, tapi tentang meninggalkan warisan: bukan uang, tapi jalan yang lebih ringan untuk anak yang kita cintai.”

 

Anak bungsunya pun menutup buku itu perlahan, dan menangis untuk pertama kalinya sejak ia menjadi dewasa. Tangisan bukan karena sedih semata, tapi karena ia sadar: seluruh hidup ayahnya adalah pengorbanan diam-diam yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

 

Sepeninggal Pak Darto, anak bungsunya kini bekerja sangat keras. Untuk membalas kemiskinan yang dialami ayahnya di masa pensiun. “Betapa pentingnya dana pensiun untuk hari tua yang nyaman dan tenang”, ujar batin anak bungsunya sambil menutup pintu rapat-rapat. Salam #YukSiapkanPensiun #CerpenPensiunan #EdukasiDanaPensiun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar