Minggu, 22 Desember 2024

Dari Pembatalan Pameran, PPN 12 Persen Hingga Membaca Buku di Taman Bacaan

Pembatalan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional itu contoh egoisme. PPN 12% pun bentuk nyata dari egoisme pemikiran untuk orang banyak. Membungkam orang lain tanpa menyediakan ruang untuk berbeda apalagi berpendapat. Ego-ego kolektif atau individu terbukti masih terjadi di sekitar kita. Egoisme itu ada dan sulit dihindari. Ketika seseorang atau negara, hanya memprioritaskan keinginannya sendiri.

 

Egois itu sifat yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak salah tapi harus dikendalikan. Karena siapapun yang egonya tinggi kerap bertindak semena-mena terhadap orang lain. Merasa paling benar, merasa paling tahu lalu seolah-olah semua keputusan si egois bisa diterima orang banyak. Itulah kesalahan terbesar egoisme.

 

Puncak egoisme yang paling parah, pada akhirnya ketika orang banyak pun membiarkan si egois bertindak. Bahkan sebagian orang “pergi” menghindar dari orang yang bertindak egois. Sangat mengerikan, bila orang atau organisasi, tidak lagi sadar berada pada level egoisme yang akut. Saat arogansi dan subjektivitas menjadi acuan dan dasar tindakan, bukan lagi pada upaya sinergi membangun peradaban.

 

Banyak orang lupa. Semakin besar sikap egois seseorang, maka semakin rasa cintanya. Menurut Erich Fromm, cinta itu harus melibatkan perhatian, empati, dan pengorbanan. Orientasinya kepada orang lain, bukan diri sendiri. Sementara orang yang egois hanya fokus pada kepuasan dirinya, tanpa peduli pada kebutuhan orang lain. Akibatnya, si egois gagal membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain. Bahkan gagal menghargai dirinya sendiri dengan cara yang sehat. Maka siapapun yang dibesarkan dalam ego, pasti sulit bergaul luwes dengan banyak orang.

 

Egois itu penyakit manusia, dari dulu hingga sekarang. Karena egois, biasanya terlihat dari sikap cenderung menyalahkan orang lain, bukan mencari solusi dari masalah. Hanya orang yang egois yang tidak punya empati, bahkan anti kritik. Maka siapapun yang berbeda pandangan pasti anggap sebagai musuh dan layak disingkirkan. Karena egois mengajarkan pemiliknya fokus pada orang atau benda bukan pada tujuan. Dan yang paling berbahaya, si egois sama sekali tidak mau berbagi bila tidak ada untung buat dirinya. Apapun dan segalanya dikerahkan hanya untuk pikirannya yang arogan dan subjektif. Anehnya, circle-nya hanya bisa diam tanpa mau bersuara sikap egoisnya.

 


Berangkat dari realitas itulah, TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor menjadikan taman bacaan sebagai tempat “anti egoisme”. Bukan hanya membaca buku secara rutin, tapi anak-anak diajarkan membaca bareng untuk berinteraksi sosial, toleransi, dan peka terhadap lingkungan sosialnya. Melalui membaca bersuara, senam literasi, bahkan jajanan kampung gratis menjadi ciri penting membangun semangat kesetia-kawanan dan gotong royong. Relawan yang saling bekerja sama dan berbagi peran. Peduli bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk orang banyak. Bahwa taman bacaan bertumpu pada sinergi dan kesejahteraan bersama sekalipun melalui buku-buku bacaan. Tidak boleh ada egoisme di taman bacaan, bila mau maju dan berdampak nyata untuk masyarakat.

 

Terbukti, egoisme siapapun tidak menjadikan keadaan lebih baik. Justru egoisme menjadikan banyak orang tidak produktif. Fokus yang beralih pada orang bukan pada tujuan besar organisasi. Maka siapapun punya tanggung jawab untuk menyuarakan bahaya dan dampak dari egoisme.

 

Maka singkirkan egoisme di mana pun. Hiduplah untuk orang-orang yang membutuhkan kiprah sosial kita, bertemanlah dengan orang-orang yang tanpa sikap egois, berbicaralah dengan orang-orang yang punya empati, dan akhirnya syukurilah orang-orang yang mampu menghargai keberadaan kita. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamamBacaan #BacaBukanMaen




Tidak ada komentar:

Posting Komentar