Pembatalan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional itu contoh egoisme. PPN 12% pun bentuk nyata dari egoisme pemikiran untuk orang banyak. Membungkam orang lain tanpa menyediakan ruang untuk berbeda apalagi berpendapat. Ego-ego kolektif atau individu terbukti masih terjadi di sekitar kita. Egoisme itu ada dan sulit dihindari. Ketika seseorang atau negara, hanya memprioritaskan keinginannya sendiri.
Egois itu sifat yang
hanya mementingkan diri sendiri. Tidak salah tapi harus dikendalikan. Karena
siapapun yang egonya tinggi kerap bertindak semena-mena terhadap orang lain.
Merasa paling benar, merasa paling tahu lalu seolah-olah semua keputusan si egois
bisa diterima orang banyak. Itulah kesalahan terbesar egoisme.
Puncak egoisme yang
paling parah, pada akhirnya ketika orang banyak pun membiarkan si egois
bertindak. Bahkan sebagian orang “pergi” menghindar dari orang yang bertindak
egois. Sangat mengerikan, bila orang atau organisasi, tidak lagi sadar berada
pada level egoisme yang akut. Saat arogansi dan subjektivitas menjadi acuan dan
dasar tindakan, bukan lagi pada upaya sinergi membangun peradaban.
Banyak orang lupa.
Semakin besar sikap egois seseorang, maka semakin rasa cintanya. Menurut Erich
Fromm, cinta itu harus melibatkan perhatian, empati, dan pengorbanan.
Orientasinya kepada orang lain, bukan diri sendiri. Sementara orang yang egois
hanya fokus pada kepuasan dirinya, tanpa peduli pada kebutuhan orang lain.
Akibatnya, si egois gagal membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Bahkan gagal menghargai dirinya sendiri dengan cara yang sehat. Maka siapapun
yang dibesarkan dalam ego, pasti sulit bergaul luwes dengan banyak orang.
Egois itu penyakit
manusia, dari dulu hingga sekarang. Karena egois, biasanya terlihat dari sikap
cenderung menyalahkan orang lain, bukan mencari solusi dari masalah. Hanya
orang yang egois yang tidak punya empati, bahkan anti kritik. Maka siapapun
yang berbeda pandangan pasti anggap sebagai musuh dan layak disingkirkan.
Karena egois mengajarkan pemiliknya fokus pada orang atau benda bukan pada
tujuan. Dan yang paling berbahaya, si egois sama sekali tidak mau berbagi bila
tidak ada untung buat dirinya. Apapun dan segalanya dikerahkan hanya untuk
pikirannya yang arogan dan subjektif. Anehnya, circle-nya hanya bisa diam tanpa
mau bersuara sikap egoisnya.
Berangkat dari realitas
itulah, TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor menjadikan taman bacaan
sebagai tempat “anti egoisme”. Bukan hanya membaca buku secara rutin, tapi
anak-anak diajarkan membaca bareng untuk berinteraksi sosial, toleransi, dan
peka terhadap lingkungan sosialnya. Melalui membaca bersuara, senam literasi,
bahkan jajanan kampung gratis menjadi ciri penting membangun semangat
kesetia-kawanan dan gotong royong. Relawan yang saling bekerja sama dan berbagi
peran. Peduli bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk orang banyak. Bahwa
taman bacaan bertumpu pada sinergi dan kesejahteraan bersama sekalipun melalui
buku-buku bacaan. Tidak boleh ada egoisme di taman bacaan, bila mau maju dan
berdampak nyata untuk masyarakat.
Terbukti, egoisme
siapapun tidak menjadikan keadaan lebih baik. Justru egoisme menjadikan banyak
orang tidak produktif. Fokus yang beralih pada orang bukan pada tujuan besar
organisasi. Maka siapapun punya tanggung jawab untuk menyuarakan bahaya dan
dampak dari egoisme.
Maka singkirkan egoisme
di mana pun. Hiduplah untuk orang-orang yang membutuhkan kiprah sosial kita,
bertemanlah dengan orang-orang yang tanpa sikap egois, berbicaralah dengan
orang-orang yang punya empati, dan akhirnya syukurilah orang-orang yang mampu menghargai
keberadaan kita. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamamBacaan #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar