Salah satu praktik baik yang selalu diterapkan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka adalah menulis untuk taman bacaan. Tidak ada aktivitas taman bacaan yang tidak dituliskan. Menulis untuk taman bacaan sangat penting. Apalagi pegiat literasi yang pelupa. Kapan aktivitas dilakukan? Siapa yang datang ke taman bacaan? Baru seminggu saja, sudah lupa kapan waktunya dan siapanya. Jadi jelas, menulis untuk taman bacaan memang penting.
Mungkin ada benarnya. Pegait
literasi di taman bacaan sepertinya perlu mengurangi terlalu banyak berpikir.
Apalagi terlalu banyak bicara. Karena berpikir dan berbicara sulit dijadikan
bukti. Tapi tulisan tentang taman bacaan, pasti bisa jadi bukti otentik. Di
samping sebagai rekam jejak digital di era media sosial yang sulit dihindari
lagi. Lebih dari itu, menulis untuk taman bacaan pastinya akan jadi bukti sejarah. Apa yang terjadi pada suatu waktu
hanya bisa diketahui karena tulisan. Seperti buku-buku bacaan, tulisan itulah
yang menjelaskan suatu peristiwa, ilmu pengetahuan, dan Sejarah sekalipun.
Bila
aktivitas taman bacaan itu baik dan bagus, kenapa tidak dituliskan? Tidak cukup
hanya update di facebook, Instagram atau media sosial lainnya. Tapi buatlah
jadi satu atau lima paragraph. Tertuang
ke dalam tulisan. Karena tulisan tentang taman bacaan dan gerakan literasi, bukan
hanya memberikan informasi yang bermanfaat. Tapi juga jadi sarana mengembangkan
diri pegiat literasinya. Maka sesederhana apapaun aktivitas dan kata-kata yang
dituliskan, pasti bermanfaat bagi yang membacanya. Seperti pepatah “scripta
manen verba volant”, yang tertulis akan abadi yang terucap akan hilang.
Seperti
yang dialami langsung TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Tanpa
disangka mendapatkan donasi buku, ada yang berkunjung, bahkan lebaga yang
ber-CSR. Saat ditanya dari mana tahunya? Jawabnya, dari tulisan yang tersajikan
di media online atau saat di “googling” muncullah TBM Lentera Pustaka. Jadi,
menulis untuk taman bacaan itu penting. Bahkan sama pentingnya dengan proses
dan praktik baik yang ada di taman bacaan itu sendiri.
Imam Syafi’I, seorang ulama
terkenal, menyebut bahwa menulis adalah alat untuk mengikat ilmu atau bacaan.
Sekiranya tidak ada tulisan maka kita lupa. Maka saat lupa maka lenyaplah ilmu dan
peristiwa itu dari diri kita. Menulis bukanlah pelajaran tapi perbuatan.
Menulis bukan pula teori tapi praktik. Menulis tidak cukup diomongkan tapi
dibiasakan. Menulis adalah keberanian, bukan kekhawatiran.
Seperti para pujanggga dulu,
selalu menyerukan kebaikan lewat tulisan. Mereka menulis, menulis, dan terus
menulis untuk menghadirkan tiap kata, tiap kalimat, tiap paragraf, tiap cerita sebagai
cara berbagai kebaikan yang menggugah jiwa. Dan semoga esok, kita tidak sekadar jadi pengagum dan penikmat karya
orang-orang penyeru kebaikan itu. Tapi mau ikut andil menambah daftar panjang
kelompok orang-orang penyeru dan perindu meluasnya nilai-nilai kebaikan melalui
tulisan. Sekalipun hanya tulisan tentang taman bacaan dan gerakan literasi.
Karena kata Imam Ghozali,, “Kalau
kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.” Salam
literasi! #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar