Jumat, 11 Agustus 2023

Literat Kok Isi Omongannya Keluhan?

Mengeluh, kata banyak orang wajar. Bahkan mengeluh katanya bagus untuk kesehatan . Apa iya begitu? Mungkin benar, bisa mengeluh dilakukan hanya sesekali saja. Tapi bila mengeluh terus menerus, tentu tidak menyehatkan. Mengeluh kok setiap hari. Pekerjaan dikeluhkan, orang lain dikeluhkan, negara dikeluhkan, dan punya uang walau kurang banyak pun dikeluhkan. Apa ada sesuatu hal yang menjadi lebih baik bisa hanya dikeluhkan?

 

Ini kisah nyata. Ketika ada kawan saya yang setiap kali berkumpul kerjanya mengeluh. Terus terang, kawan-kawan yang lain pun jadi sebal. Kok, apa-apa dikeluhkan? Akibat keseringan mengeluh, akhirnya si kawan pengeluh itu pun akhirnya jadi dijauhi oleh kawan-kawannya. Kenapa? Karena orang yang suka mengeluh itu jadi “menularkan” sikap dan perilaku yang negatif. Banyak mengeluh itu dapat memupuk sikap pesimis dalam diri. Hanya bisa melihat segala sesuatu dari sisi negatif. Gagal melihat sisi positif tentang apapun. Jadi lupa untuk sabar dan Syukur dalam hidup.

 

Untuk apa sih mengeluh? Hidup kan hanya sekali. Kata orang tua saya, hidup pun sebaiknya menebar manfaat ke orang lain. Berperilaku baik kepada siapapun. Bila tidak mampu berbuat baik dan bermanfaat, maka cukup diam. Jangan mengeluh atau membahas dari sisi yang negatif, apalagi bercerita yang jelek-jelek ke orang lain. Maka ada baiknya untuk melatih kesabaran. Sambil mensyukuri apa yang ada dan dimiliki. Bila perlu ikhlaskan apapun yang membuat diri kita sedih dan kecewa. Agar tidak ada keluhan, atau minimal mengurangi durasi mengeluh.

 


Lucu kan, bila berkata ke orang lain. Ayo semangat, harus pantang menyerah. Bahkan gegap gempita merasa apa-apa berjuang sendiri. Tapi di saat yang lain, ternyata malah banyak mengeluh. Segala hal dikeluhkan. Jadi, mana yang benar? Semangat pantang menyerah apa mengeluh sepanjang hayat. Mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Mengeluh kok panjang banget kayak kereta, nggak capek apa?

 

Mengeluh boleh kok. Asal mengeluh pada tempatnya, pada waktunya. Justru mengeluh yang terbaik itu saat berada di hadapan Allah SWT. Saat bersama-Nya jika perlu menangislah. Katakan semua kesal dan jeluhan kepada-Nya, karena itu lebih baik. Karena semua masalah, sungguh datangnya hanya dari Allah SWT. Maka seharusnya dikembalikan kepada-Nya. Mengeluh itu ada tempatnya, ada waktunya. Bukan melulu mengeluh.

 

Seperti di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Slaak Bogor. Terbukti sudah, soal literasi dan taman bacaan tidak ada yang selesai bila hanya dikeluhkan. Keluhan hanya bikin frustrasi. Maka solusinya, harus lebih keratif dalam berproses di taman bacana. Berkegiatan, membangun motivasi, dan berkolaborasi mengelola taman bacaan bersama wali baca dan relawan. Agar semuanya jadi lebih ringan, lebih menyehatkan. Untuk apa berada di taman bacaan tapi malah menyakitkan? Literat kok isi oomongannya keluhan?


Sejatinya, tidak ada orang yang tidak punya masalah. Hanya oreintasinya mau cari solusi atau sekadar dikeluhkan? Faktanya, ada banyak kok celah kehidupan lain yang bisa bikin siapapun lebih semangat. Untuk lebih fokus menanta kembali “puzzle” kehidupan dengan lebih optimis daripada mengeluh. Bukankah keluhan ada untuk dikendalikan, bukan dilepaskan. Agar hidup terasa lebih ringan dan menentramkan. Woww keren!

 

Dan esok biasanya semua yang dikeluhkan ternyata hanya omong kosong. Karena apapun dapat berubah dan berbuah seiring waktu berjalan. Ternyata, hidup lebih mudah ketika kita tidak mengeluh, tidak khawatir atau stres tentang omong kosong. Salam literasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar