Sukaluyu, nyaéta salah sahiji ngaran désa di kaki Gunung Salak. Memang teu aya hubungan langsung antara penamaan Gunung Salak jeung Désa Sukaluyu. Tapi, ku ngagunakeun silsilah babad modérn, Gunung Salak nu mindeng kasaput “halimun”, dina harti nu hartina, teu mustahil Désa Sukaluyu ogé ngalaman “halimun” nu terus neunggeul, utamana ti wewengkon. tingkat atikan anu kawilang handap sarta mata pencaharian masarakat anu kagolongkeun turun-tumurun teu stabil.- turun temurun ti ratusan taun nepi ka kiwari.
Selain memiliki pesona alam dan suasana
pegunungan yang indah, ternyata Gunung Salak di Bogor pun menyimpan misteri
yang sangat kental di masyarakat. Bahkan di kalangan pendaki, Gunung Salak
dikenal sebagai gunung yang angker. Saking maraknya cerita mistis-nya, tidak
jarang masyarakat menyebut Gunung Salak sebagai Gunung terangker di Jawa Barat.
Kisah mistis seputar Gunung Salak, suka
tidak suka, sering dikait-kaitkan dengan Mbak Salak sebagai penunggu Gunung
Salak. Bila ada pendaki yang tersesat lalu hilang atau wisatawan yang tertimpa
musibah di Gunung Salak, selalu muncul cerita mistis Mbah Salak. Bahkan di
dunia penerbangan, tidak sedikit pesawat jatuh di lereng Gunung Salak.
Selain menyimpan segudang misteri, Gunung
Salak pun punya banyak versi silsilah. Kenapa dinamakan Gunung Salak? Versi
pertama, ada yang menyebut, Gunung Salak diambil dari
bahasa sansekerta “Salaka” yang berarti perak. Maka Gunung Salak dapat
dimaknakan sebagai 'Gunung Perak'. Versi kedua, ada yang menyebut pernah pernah
berdiri sebuah kerajaan di lereng gunung bernama Salakanagara pada abad ke-4 masehi.
Sehingga nama Gunung Salak diduga berasal dari kata “salaka”, nama depan
kerajaan tersebut. Dan versi ketiga yang terakhir, Gunung Salak dianggap gunung
yang sering diselimuti “kabut” sehingga mengganggu penglihatan. Mungkin suasana
alam inilah yang sering jadi sebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang di
sekitar Gunung Salak, di samping tempat adem untuk bersemedi. Maka banyak
sekali petilasan atau tempat bersemedi para raja dan pengikut kerajaan
Pajajaran, Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi di kaki Gunung Salak
di daerah Bogor.
Sukaluyu, adalah salah satu nama desa di
kaki Gunung Salak. Apa kaitannya dengan silsilah Gunung Salak. Memang tidak ada
hubungan langsung penamaan Gunung Salak dengan Desa Sukaluyu. Tapi dengan
menggunakan silsilah versi ketiga, sebut saja babad modern, Gunung Salak yang
sering diselimuti “kabut” secara pemaknaan bukan tidak mungkin Desa Sukaluyu
pun mengalami “kabut” yang masih terus melanda, khususnya dari tingkat pendidikan
yang relatif rendah dan mata pencaharian masyarakat yang tergolong tidak tetap
secara turun-temurun dari ratusan tahun hingga kini.
Dari sepuluh survei ke penduduk lokal dan
sesepuh kampung (15-20 Agustus 2022), sebagian besar dari mereka sama sekali
tidak tahu silsilah asal muasal nama Desa Sukaluyu. Namun bila dikaji dari sisi
etimologis, “sukaluyu” dapat diartikan “kegaiban”. Gaib yang berarti sesuatu yang tidak mampu
dijangkau dengan indra dan tidak diketahui hakikatnya. Di sisi lain, bila
mengacu pada terminology “kabut” Gunung Salak, maka Desa Sukaluyu pun bisa
dikategorikan salah satu desa yang “berkabut”. Sebuah realitas masyarakat yang
masih suram akan masa depan akibat tingkat pendidikan masyarakat yang masih
minin, di samping mata pencaharian yang tidak menentu. Ada “kabut” di Sukaluyu,
sekalipun zaman sudah berkembang ke era digital.
Babad tanah
Sukaluyu, begitulah kisahannya. Ada
“kabut” di Desa Sukaluyu. Sebuah kondisi masyarakat yang masih dinaungi “awan
yang turun” ke daratan. Kabut yang bisa tebal bisa tipis. Bila tebal dapat
menghalangi jarak pandang, bila tipis pun mengganggu penglihatan. Kabut yang
jadi sebab “tidak nyata”, kondisi kelam yang siap menghadang kehidupan manusia.
Sukaluyu, kabut yang masih melanda hingga kini.
Salah satu
indikator “kabut” yang masih melanda adalah tingkat pendidikan masyarakat-nya.
Di Desa Sukaluyu, tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya 82% di SD, 9% di SMP,
dan 8% SMA. Bahkan dari total 10.407 populasi penduduk Desa Sukaluyu, data
menyebutkan 71% penduduknya tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan
tetap. Masyarakat yang tergolong prasejahtera. Bahkan lebih dari itu, dengan
populasi anak-anak usia sekolah mencapai 3.035 anak yang terdiri dari 1)
rentang usia 0-6 tahun mencapai 22%, 2) usia 7-12 tahun mencapai 37,5%, dan 3)
usia SMP-SMA mencapai 40% selama ini tidak punya akses bacaan, baik berbentuk
taman bacaan atau perpustakaan umum.
Maka babad
tanah Sukaluyu, menegaskan kehadiran taman bacaan menjadi penting sebagai
ikhtiar untuk memecah “kabut” turun-temurun sehingga apa yang tampak di depan
menjadi lebih mudah terlihat, lebih jelas dalam menatap masa depan melalui
buku-buku bacaan. Desa Sukaluyu adalah sinyal kuat untuk kaum berdaya dan
peduli untuk membangun “cara pandang” baru di masyarakat akan pentingnya
Pendidikan setinggi mungkin bagi anak-anak. Agar tidak mudah putus sekolah, di
samping pendidikan yang mampu menekan angka pernikahan dini dan pengangguran
terbuka. Taman bacaan harus mampu
menjadi inkobator dalam mempersiapkan generasi muda ke depan yang lebih
berdaya, lebih berpengetahuan, Untuk menciptakan kualitas hidup masyarakat Desa
Sukaluyu yang lebih baik, dari waktu ke waktu.
Tentu, babad
tanah Sukaluyu ini hanya pengantar awal untuk memulai diskusi dan obrolan
sejarah tentang silsilah Desa Sukaluyu agar lebih terang-benderang. Diskursus
analitis di awal yang siap bergerak menjadi “bungkusan” pemikiran sintesis dari
berbagai fakta dan realitas masyarakat dari tahun ke tahun, sebagai bukti
perjalanan sejarah yang dapat dibaca kembali oleh anak-cucu di kemudian hari.
Harus
diakui, sejujurnya hingga detik ini. Sejarah tentang asal muasal Desa Sukaluyu
di kaki Gunung Salak Bogor belum diketahui secara pasti. Karena memang, belum
pernah ditemui “babad tanah leluhur” tentang Desa Sukaluyu yang terdokumentasi.
Namun, ikhtiar untuk menelusuri dan mengungkap fakta sejarah Desa Sukaluyu
memang harus dimulai dan ditindaklanjuti. Maka di situlah, peran sesepuh desa
dan tokoh masyarakat dapat berbagi kisah dan cerita “masa lalu” agar dapat
dikisahkan dan didokumentasikan secara lebih paripurna. Ke depan, siapa pun
harus punya kepedulian untuk mengungkap kisah babad tanah Desa Sukaluyu.
Agar
esok, “kabut” pun berubah menjadi “sinar terang” cahaya yang menyelimuti tanah
desa dan masyarakat Desa Sukaluyu. Sehingga jangan ada lagi pertanyaaan, kenapa
masih ada “kabut” di Desa Sukaluyu? Salam literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar