Sahabat, merdeka itu ngopi.
Mari
rayakan Kemerdekaan RI sambil ngopi. Karena dosa meninggalkan kopi itu setara
dengan menghujat pemimpinnya sendiri. Sama beratnya dengan berkeluh-kesah
setiap hari tanpa memberi solusi. Maka biar lebih rileks, dan realistis. Ngopi
dulu hingga disebut sebagai tukang ngopi. Jadi ngopi dululah. Agar mampu
menghargai kemerdekaan RI yang sudah diraih.
Mari
ngopi di Hari Kemerdekaan RI. Agar jangan sampai lupa mensyukuri apa yang telah
ada. Sudah merdeka kok masih berkeluh-kesah dan bermentalitas korban. Bila ada
masalah ya selesaikan, cari solusinya, Bukan malah ngedumel dan menyalah-nyalahkan
orang lain. Katanya “merah putih”, katanya tanah tumpah darahku. Lalu kenapa
masih merana? Mungkin yang salah bukan negeri. Tapi mental dan pikiran buruk
yang ada di dalam diri.
Jadilah
seperti tukang ngopi. Saat berada di warung kopi. Mau dilayani jutek tidak
masalah. Apalagi dilayani dengan sopan, pasti sangat menghargai. Rileks saja, karena
tukang ngopi sadar. Ngopi bisa ngeselin, bisa juga ngangenin. Tapi pada
secangkir kopi, selalu ada rasa pahit yang berakhir manis. Karena ngopi itu nikmatnya
bukan maen.
Kopi
itu netral. Tidak pernah memilihi siapa yang layak untuk menikmatinya. Ada yang
ngopi karena aromanya, ada pula karena harganya. Bahkan sekarang, banyak orang ngopi
karena suasananya. Agar tetap bergairah dan terasa plong. Di hadapan secangkir kopi,
semua orang sama saja. Tidak ada yang istimewa.
Di mata tukang ngopi.
Merdeka itu bukan hanya pekikan. Bukan pula euphoria apalagi sekadar mengganti foto
profil dengan ikat kepala merah putih. Merdeka di zaman sekarang itu harus realistis.
Berani mengambil sikap, apapun risikonya. Karena sikap jauh lebih penting
daripada fakta. Jangan bilang merdeka, bila hidup masih dalam kungkungan
pikiran dan ocehan buruk. Merdeka tapi tidak merdeka.
Merdeka
di mata tukang ngopi itu sederhana. Bahwa siapa pun hanya bertanggung jawab
pada dirinya sendiri. Bukan karena orang lain apalagi dipengaruhi orang lain. Hoaks,
ujaran kebencian, dan caci-maki itu tidak pernah terjadi bila punya sikap. Maka,
ngopilah dulu. Agar lebih rileks dalam hidup.
Kata Bung Karno dan Bung Hatta, merdeka
itu tidak akan datang dengan sendirinya. Tapi harus diperjuangkan. Harus cari
cara untuk bisa membebaskan bangsanya dari penjajahan. Termasuk berani mengambil
risiko untuk memproklamirkan kemerdekaan. Walau dengan teks proklamasi yang ditulis
tangan. Bila menunggu mesin ketik, Belanda keburu datang dan akhirnya tidak jadi
merdeka.
Maka
sahabat, mari rayakan kemerdekaan sambil ngopi. Karena pada secangkir kopi,
hitam itu tidak selalu kotor dan pahit. Hitam pun tidak selalu menyakitkan. Hitam
justru jadi simbol bahwa kita masih sehat. Jadi bisa tahu, mana hitam mana
putih. Agar tidak usah terpengaruh atau ingin mempengaruhi.
Merdeka
itu ngopi. Agar tetap sejuk di tempat yang panas. Agar tetap merasa kecil
meskipun telah besar. Agar tetap tenang di tempat gaduh sekalipun. Tanpa
peduli, suka atau tidak suka. Karena kopi memang punya kelebihan tanpa perlu
dibicarakan. Kopi pun punya kekurangan, tanpa perlu diperdebatkan. Sangat
manusiawi, bila ada kelebihan pasti ada kekurangan. Ada plus ada minus, itu
biasa.
Bila
ada orang di zaman merdeka masih jahat dan berpikir negatif. Bisa jadi itu
bukan tukang ngopi. Karena tukang ngopi sama sekali tidak bisa mengontrol
pikiran dan perilaku orang lain. Siapa pun hanya bisa mengontrol dirinya
sendiri. Ngopi itu yang penting "substansi" bukan "reaksi".
Saat ngopi, sama sekali tidak boleh ada orang lain yang ikut menentukan cara
kita dalam bertindak.
Ngopi
di Hari Kemerdekaan RI. Sungguh luar biasa. Sebagai wujud syukur kepada Allah
SWT. Sambil tetap berpikir positif di mana pun berada, dalam kondisi apapun. Karena
setelah merdeka, pilihannya hanya dua; 1) khairul bariyyah (sebaik-baik
makhluk) atau 2) syarrul bariyyah (seburuk-buruk makhluk) pada akhirnya.
Sahabat,
mari rayakan kemerdekaan dengan ngopi. Karena ngopi itu, mencegah dari
perbuatan keji dan munkar. Salam tukang ngopi #HUTKemerdekaanRI #PegiatLiterasi
#TukangNgopi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar