Mungkin, banyak orang tidak percaya. Di zaman yang serba digital sekarang, masih ada kaum buta huruf. Mereka yang tidak bisa membaca dan menulis. Jangankan menggenggam gawai atau handphone, membaca spanduk besar di jalan pun tidak bisa. Apa iya masih ada kaum buta huruf di era digital?
Tidak
bisa baca-tulis, itulah yang dialami Ibu Euis. Dia bersama 8 ibu-ibu lainnya
menjadi warga belajar Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera
Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Dua kali seminggu (Kamis dan Minggu), Ibu
Euis rutin belajar baca-tulis. Tentu, bukan agar menjadi orang pintar. Tapi sekadar
untuk melek aksara, bisa membaca dan menulis sehingga dapat menemani anaknya
saat belajar.
Siapa
pun sepakat, tidak satu pun manusia yang ingin terlahir dalam keadaan buta
huruf. Tapi apa mau dikata bagi Ibu Euis. Terlahir dari orang tua yang juga
buta huruf. Apalagi ekonominya tergolong prasejahtera. Hdiup di zaman begini,
pasti kian berat. Jangankan membaca dan menulis, Tanggal lahir pun dia tidak
tahu.
“Maapin
saya ya Pak. Bacanya harus dekat-dekat. Abis mata saya udah susah lihat kalau
jauh…” begitu suara Ibu Euis, warga belajar buta huruf yang mengalami gangguan
penglihatan.
“Iyaa
Bu, tidak apa” jawab saya singkat.
Tidak
ada kata terlambat untuk bisa membaca dan menulis. Apalagi di era digital. Seperti
Ibu Euis, sudah puluhan tahun berharap ada yang bisa mengajari baca-tulis.
Tujuannya, hanya untuk menemani anaknya bila ada “pekerjaan rumah” dari
sekolah. Bukan untuk menjawab soal tapi untuk sekadar membacakan soalnya saja. Tapi
sayang, dia tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Sebagai ibu rumah tangga, dia
hanya bisa pasrah menerima nasib. Beliau sadar, kaum buat huruf memang gampang
diremehkan. Soal apa pun dan oleh siapa pun. Kaum buta huruf yang kian
dipinggirkan tanpa ada yang mau membantu.
Sejak
tiga tahun lalu, harapan Ibu Euis mulai terkuak. Cita-citanya bisa baca-tulis tidak
lagi sebatas mimpi. Bisa belajar baca-tulis pun jadi kenyataan. Seperti tiap
hari Minggu siang pukul 13.00 WIB, Ibu Euis bersama teman-temannya selalu rajin
datang menuju Taman Baca Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di dekat rumahnya.
Bergabung di Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA), kini Ibu Euis pun sudah
bisa membaca dan menulis secara sederhana. Walaupun masih terbata-bata, Ibu
Euis masih tetap semnagat belajar hingga kini. Mumpung ada yang mau ngajarin, dia
selalu semangat untuk datang.
“Pak, kita sekolah kan…?” tanya Bu Euis saat
tiba di taman bacaan. Sekolah adalah istilah yang digunakan para kaum buta huruf.
Saya pun menjawab lantang, “Sekolah dong Bu…”. Raut wajahnya pun begitu ceria
dan memecah panasnya terik matahari.
“Alhamdulillah
Pak…” begitu suaranya penuh semangat.
B-a
Ba, c a ca … baca. Begitulah cara Ibu Euis dan teman-temannya mengeja kata.
Satu per satu, hingga kata demi kata. Dan sekarang, kaum buta aksara GEBERBURA masih
terus berjuang untuk membaca dan menulis dalam bentuk kalimat. Kian sulit memang
tapi mereka tetap bersemangat. Kaum buta huruf, hari ini hanya bermodalkan
tekad. Agar bisa terbebqas dari belenggu buta aksara. Mungkin hanya tekad yang
bisa dibanggakan dirinya esok. Dia memang bodoh, dia memang buta huruf. Tapi dia
masih mau ikhtiar belajar. Sekalipun di usia senja.
“Pak,
terima kasih ya. Sudah mau ajarin saya. Semoga Bapak sehat ya Pak” katanya
lirih. Seusai diperiksa PR-nya, maju ke papan tulis untuk menulis lalu membaca
sendiri tulisannya. Raut wajah Ibu Euis pun merekah. Seakan dalam hatinya, ia
mau berkata. Saya bangga bisa merasakan susahnya jadi orang yang sedang
belajar. Ibu Euis pun berhak membawa pulang seliter beras. Sebagai hadiah bagi
kaum buta huruf yang masih mau datang belajar dengan ikhlas dari sang guru.
Itulah
fakta seorang Ibu Euis, kaum buta huruf di tengah era digital. Katanya zaman
canggih tapi dia tidak bisa baca-tulis. Mungkin di pelosok sana, di negeri
nusantara ini, masih banyak kaum buta huruf seperti Ibu Euis. Tapi belum sempat
bisa belajar. Akibat tidak adanya orang yang mau mengajarinya baca-tulis.
“Tolong
ajari saya baca-tulis…” begitulah suara hati Ibu Euis dan ibu-ibu lainnya di
kejauhan. Suara batin yang membutuhkan uluran tangan orang-orang pintar. Untuk
membebaskan dirinya dan yang lainnnya dari belenggu buta huruf. Tentu, Ibu Euis
hanya bagian kisah nyata di era digital. Tentang kaum buta huruf yang terus
berjuang untuk bisa melek huruf.
Dari
Ibu Euis, siapa pun bisa belajar. Untuk selalu bersyukur atas kondidi apa pun
yang dihadapi. Sambil tetap berjuang untuk ikhtiar baik. Bukan justru menebar
prasangka buruk dan pesimistis. Karena baik itu perbuatan, bukan pelajaran.
Salam literasi #GeberBura #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar