Tepat setahun lalu, saya diminta jadi saksi ahli Bahasa di Polda Metro Jaya terkait kasus ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Akibat chat di grup WA, dua politisi level provinsi bertikai dan saling melaporkan ke polisi. Selain ahli IT dan hukum pidana, tentu dibutuhkan ahli bahasa untuk merekonstruksi makna dari ujaran kebencian yang dimaksud. Maka di situlah, saya lakukan analisis bahasa, baik secara struktural, gramatikal, dan semantik. Itu kasus setahun lalu ya.
Tapi
dalam setahun belakangan, alhamdulillah, sepertinya tidak banyak kasus ujaran
kebencian atau pencemaran nama baik. Kecuali yang level nasional atau tergolong
viral. Ini jadi bukti, bahwa masyarakat semakin ber-etika dan hati-hati dalam
berbahasa. Lebih baik walau belum sepenuhnya santun. Semoga saja, bulan puasa
ini jadi ajang introspeksi diri. Bukan hanya memohon maaf lahir batin saat mau
puasa. Tapi setelah sebulan puasa, kembali ke habitat dan sifat aslinya. Lalu
menyalahkan bulan puasa, seolah gagal memperbaiki diri orang yang berpuasa.
Kenapa
ada ujaran kebencian atau pencematran nama baik?
Tentu
karena adanya sifat benci atau iri pada diri seseorang. Seperti Mr. Putin di
Rusia yang kemudian membenci Zelenskyy di Ukraina hingga terjadilah perang.
Putin mungkin emosi atau lupa. Bahwa perang bukanlah jawaban untuk menyelesaikan
masalah. Maka solusinya bukan perang atau invasi. Tapi hanya cinta yang bisa
mengalahkan kebencian.
Sangat
salah bila masih ada benci hari ini. Apalagi membenci karena agama. Benci kepada
negara. Apalagi benci karena warna kulit atau suku. Sama sekali tidak boleh ada
kebencian atas nama apa pun. Maka harus ada spirit baru untuk menghentikan
kebencian di ranah apa pun. Lebih baik menebarkan cinta dan kebaikan di mana
pun. Karena baik saja belum tentu mendapat surga-Nya, apalagi benci.
Di
bulan suci Ramadhan ini, jangan lupa. Benci itu emosi negatif terkuat yang
dimiliki seseorang. Sama sekali benci itu tidak ada manfaatnya, selain membebani
diri orang yang membenci itu sendiri. Benci itu tidak pernah meninggalkan
kebaikan sedikit pun. Apalagin kebencian yang dibangun atas subjektivitas, benci
tanpa alasan. Sungguh tindakan yang keliru bila ada orang yang membenci orang
lain. Kenapa tidak membenci diri sendiri?
Benci
itu penyakit hati. Sekali saja Anda membenci satu atau dua orang, bisa jadi
sulit dihentikan. Karena sebentar lagi, Anda akan membenci puluhan atau ratusan
orang. Orang-orang di dunia maya harus hati-hati. Jangan terjebak pada
kebencian. Bila tidak mampu mencintai, maka cukup untuk tidak membenci. Sederhana
sekali.
Seperti
pegiat literasi di taman bacaan. Untuk selalu membuang jauh-jauh rasa benci, iri,
dan dengki. Karena tanpa benci saja harus bersusah payah untuk tetap eksis.
Agar anak-anak tetap mau membaca di sela waktu senggangnya. Lah apa jadinya bila
taman bacaan dibesarkan dengan kebencian? Boro-boro maju, yang ada bisa “mati
suri”, seperti ada tapi tiada.
Ketahuilah,
menyimpan kebencian dalam diri, kepada siapa pun dan terhadap apa pun sama
sekali tidak baik. Tidak ada manfaatnya pula. Sangat lucu, bila ada orang ingin
hidup tenang dan bahagai tapi bermodalkan rasa benci. Karena kebencian adalah
beban yang terlalu berat untuk ditanggung, baik untuk si pembenci maupun yang dibenci.
Benci itu tidak akan mampu menghadirkan minyak goreng yang langka dan mahal.
Maka
hikmah di bulan Ramadhan, sedikitkanlah benci perbanyaklah cinta. Karena tidak
ada hal yang selesai bila dilandasi rasa benci. Dan bertanyalah, siapa yang mengajari
Anda untuk membenci? Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar