Senin, 07 Maret 2022

Taman Bacaan Tidak Butuh Orang Pintar yang Hanya Berceloteh

Mungkin banyak orang keliru. Bila sekolah hanya untuk menjadi orang sukses atau kaya. Bila pendidikan dianggap cuma soal ijazah dan gelar. Agar disebut atau menyebut dirinya sebagai orang pintar. Tapi di saat yang sama, orang-orang pintar itu hanya bisa menuding dan mencari kesalahan orang lain. Tapi karena pintar, katanya mengkritisi atau berpikir analitis. Hebat memang orang pintar, jarang salah saking pintarnya.

 

Apalagi saat menyimak orang-orang pintar berceloteh di media sosial atau di grup-grup WA. Entah soal Sirkuit Mandalika, soal IKN, soal PPKM, dan sebagainya. Ada saja yang dikomentari atau diperdebatkan. Tapi ujungnya, hanya untuk menyalahkan orang lain. Bukan menyajikan solusi konkret. Lebih senang mencari “kambing hitam” atas masalah yang terjadi. Sebentar lagi pun mereka akan rebut soal Pemilu 2024. Bilangnya, analisis peta politik tahun 2024, siapa dan bagaimana?

 

Suka merasa bersalah. Bila melihat kelakuan orang-orang yang merasa pintar. Katanya, orang-orang berpendidikan. Karena selalu merasa benar sendiri dan seolah mereka tahu segalanya. Sok pintar dan sok tahu. Kerjanya hanya berceloteh dan berkomentar tentang hal-hal yang tidak diinginkan orang lain. Atau sebaliknya, dia senangnya menolak apa yang orang lain katakan. Kadang, seperti “tong kosong nyaring bunyinya”. Banyak omong tapi aksinya kosong.

 

Sok pintar dan sok tahu itulah penyakit. Bersikap arogan dan merasa pikirannya selalu benar. Lalu memaksakan argumen subjektif-nya kepada orang lain. Terlalu percaya pada logika dan otaknya. Tapi di saat lain, bilangnya adab di atas ilmu. Orang-orang pintar itu sering ambigu. Orang lain belum tentu salah saja mampu divonis salah. Giliran dia, semuanya merasa benar. Tidak pernah merasa bersalah seidkit pun.

 

Orang-orang pintar itu tidak pernah main ke taman bacaan sih. Seperti ke TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah kampung yang orang-orangnya sama sekali tidak tahu soal kegaduhan atau komentar orang-orang pintar itu. Orang kampung, akibat kemiskinan, hanya tahu bagaimana cara bertahan dalam hidup. Bagaimana bisa menafkahi dan berjuang agar anaknya tidak putus sekolah? Sama sekali tidak tertarik pada isu-isu yang dipersoalkan orang-orang pintar.

 


Di TBM Lentera Pustaka, masih banyak orang yang buta hurif dan butuh bantuan orang pintar untuk bisa membaca-menulis. Masih ada ratusan anak-anak yang membutuhkan akses bacaan agar pikirannya lebih terbuka untuk bisa lanjut sekolah. Tidak hanya meratapi kemiskinan yang jadi sebab putus sekolah. Ada pula puluhan ibu-ibu yang terjerat rentenir dan utang berbunga tinggi. Bahkan masih banyak anak-anak yatim dan jompo yang membutuhkan uluran tangan orang-orang sukses dan kaya. Lalu, siapa yang harus membantu mereka? Tentu, negara atau pemerintah daerah jawab orang-orang pintar.

 

Jadi, untuk apa berpendidikan tinggi?

Bila hanya untuk berceloteh akan hal yang sia-sia. Tidak ada maslahatnya sama sekali. Apalagi kerjanya hanya menyalahkan orang lain sambil berkomentar seperti orang yang tahu segalanya. Menurut saya, percuma berpendidikan tinggi kalau tidak mau membantu dan menebar manfaat kepada orang lain. Percuma pula jadi orang pintar dan sukses bila gagal menjaga perasaan orang lain. Egois, subjektif, dan tidak punya kepedulian.

 

Maka, bila ada kaum yang berpendidikan tinggi. Tapi tidak mau melebur dan mengabdiakan kepada masyarakat. Sungguh, lebih baik pendidikan itu tidak ada sama sekali. Untuk apa sekolah, untuk apa pintar? Bila tidak mau menolong orang lain. Tidak mau bertindak nyata untuk mengatasi kesenjangan sosial. Untuk pa pintar, sukses atau kaya bila hanya untuk diri sendiri. Agar dipuji orang lain dan dikagumi sebatas dunia.

 

Orang-orang pintar sering lupa. Bahwa di dunia ini, ternyata yang paling tinggi itu bukan gunung; yang paling luas pun bukan lautan. Tapi hawa nafsu dan ego yang dibiarkan berkembang untuk menyalahkan orang lain. Sambil "membunuh" kepedulian dan pengabdian kepada sesama. Pintar tapi tidak mau berbuat untuk kebaikan orang lain. Jadi saatnya, orang-orang pintar itu merenung. Apa sih yang sudah diperbuat untuk bangsa dan orang lain?

 

Ada benarnya. Suatu kali dunia ini sangat berbahaya untuk terus ditinggali. Justru bukan karena orang-orangnya jahat. Tapi karena orang-orang pintar dan sukses yang tidak pernah peduli kepada siapa pun. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar