Mungkin banyak orang keliru. Bila sekolah hanya untuk menjadi orang sukses atau kaya. Bila pendidikan dianggap cuma soal ijazah dan gelar. Agar disebut atau menyebut dirinya sebagai orang pintar. Tapi di saat yang sama, orang-orang pintar itu hanya bisa menuding dan mencari kesalahan orang lain. Tapi karena pintar, katanya mengkritisi atau berpikir analitis. Hebat memang orang pintar, jarang salah saking pintarnya.
Apalagi
saat menyimak orang-orang pintar berceloteh di media sosial atau di grup-grup
WA. Entah soal Sirkuit Mandalika, soal IKN, soal PPKM, dan sebagainya. Ada saja
yang dikomentari atau diperdebatkan. Tapi ujungnya, hanya untuk menyalahkan
orang lain. Bukan menyajikan solusi konkret. Lebih senang mencari “kambing
hitam” atas masalah yang terjadi. Sebentar lagi pun mereka akan rebut soal Pemilu
2024. Bilangnya, analisis peta politik tahun 2024, siapa dan bagaimana?
Suka
merasa bersalah. Bila melihat kelakuan orang-orang yang merasa pintar. Katanya,
orang-orang berpendidikan. Karena selalu merasa benar sendiri dan seolah mereka
tahu segalanya. Sok pintar dan sok tahu. Kerjanya hanya berceloteh dan
berkomentar tentang hal-hal yang tidak diinginkan orang lain. Atau sebaliknya, dia senangnya menolak
apa yang orang lain katakan. Kadang, seperti “tong kosong nyaring bunyinya”.
Banyak omong tapi aksinya kosong.
Sok
pintar dan sok tahu itulah penyakit. Bersikap arogan dan merasa pikirannya
selalu benar. Lalu memaksakan argumen subjektif-nya kepada orang lain. Terlalu
percaya pada logika dan otaknya. Tapi di saat lain, bilangnya adab di atas
ilmu. Orang-orang pintar itu sering ambigu. Orang lain belum tentu salah saja
mampu divonis salah. Giliran dia, semuanya merasa benar. Tidak pernah merasa
bersalah seidkit pun.
Orang-orang
pintar itu tidak pernah main ke taman bacaan sih. Seperti ke TBM Lentera
Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah kampung yang orang-orangnya sama
sekali tidak tahu soal kegaduhan atau komentar orang-orang pintar itu. Orang kampung,
akibat kemiskinan, hanya tahu bagaimana cara bertahan dalam hidup. Bagaimana
bisa menafkahi dan berjuang agar anaknya tidak putus sekolah? Sama sekali tidak
tertarik pada isu-isu yang dipersoalkan orang-orang pintar.
Di
TBM Lentera Pustaka, masih banyak orang yang buta hurif dan butuh bantuan orang
pintar untuk bisa membaca-menulis. Masih ada ratusan anak-anak yang membutuhkan
akses bacaan agar pikirannya lebih terbuka untuk bisa lanjut sekolah. Tidak hanya
meratapi kemiskinan yang jadi sebab putus sekolah. Ada pula puluhan ibu-ibu
yang terjerat rentenir dan utang berbunga tinggi. Bahkan masih banyak anak-anak
yatim dan jompo yang membutuhkan uluran tangan orang-orang sukses dan kaya. Lalu,
siapa yang harus membantu mereka? Tentu, negara atau pemerintah daerah jawab
orang-orang pintar.
Jadi,
untuk apa berpendidikan tinggi?
Bila
hanya untuk berceloteh akan hal yang sia-sia. Tidak ada maslahatnya sama
sekali. Apalagi kerjanya hanya menyalahkan orang lain sambil berkomentar seperti
orang yang tahu segalanya. Menurut saya, percuma berpendidikan tinggi kalau
tidak mau membantu dan menebar manfaat kepada orang lain. Percuma pula jadi
orang pintar dan sukses bila gagal menjaga perasaan orang lain. Egois, subjektif,
dan tidak punya kepedulian.
Maka,
bila ada kaum yang berpendidikan tinggi. Tapi tidak mau melebur dan
mengabdiakan kepada masyarakat. Sungguh, lebih baik pendidikan itu tidak ada
sama sekali. Untuk apa sekolah, untuk apa pintar? Bila tidak mau menolong orang
lain. Tidak mau bertindak nyata untuk mengatasi kesenjangan sosial. Untuk pa
pintar, sukses atau kaya bila hanya untuk diri sendiri. Agar dipuji orang lain
dan dikagumi sebatas dunia.
Orang-orang
pintar sering lupa. Bahwa di dunia ini, ternyata yang paling tinggi itu bukan
gunung; yang paling luas pun bukan lautan. Tapi hawa nafsu dan ego yang dibiarkan
berkembang untuk menyalahkan orang lain. Sambil "membunuh" kepedulian
dan pengabdian kepada sesama. Pintar tapi tidak mau berbuat untuk kebaikan
orang lain. Jadi saatnya, orang-orang pintar itu merenung. Apa sih yang sudah
diperbuat untuk bangsa dan orang lain?
Ada
benarnya. Suatu kali dunia ini sangat berbahaya untuk terus ditinggali. Justru
bukan karena orang-orangnya jahat. Tapi karena orang-orang pintar dan sukses
yang tidak pernah peduli kepada siapa pun. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar