Terus mengayuh tanpa mengeluh. Itu pelajaran dari becak. Maka saya suka mbecak. Sebuah alat transportasi tanpa polusi udara. Bisa jalan bila digenjot. Butuh energi untuk menggerakkannya. Selalu ada senyum dalam setiap genjotannya, baik yang menggenjot atau yang digenjot.
Becak, dalam bahasa hokkien itu disebut “be-chia” yang berarti
"kereta kuda". Selalu identic dengan kaum marjinal atau kaum kelas
bawah. Karena becak bukan bukan jalan untuk menjadi kaya. Tapi mbecak itu
berarti rezeki yang selalu mengalir, tidak putus-putus. Waton Urip, kata
Sindhunata. Hidup yang bukan asal hidup. Tapi "hidup yang tidak perlu
memberontak terhadap hidup".
Mbecak dan tukang becak. Mengajarkan pada siapa pun untuk
menerima apa yang diberikan oleh kehidupan. Menerima segala anugerah-Nya. Agar tetap
eling lan waspada. Untuk tidak meminta apa yang tidak diberikan oleh kehidupan.
Tidak perlu memaksa untuk meraih apa pun. Karena semua yang diperoleh manusia,
sudah pantas untuknya. Bila masih ada yang menyangka “dunia itu kejam",
maka belajarlah kepada tukang becak. Karena pada tukang mbecak selalu ada pelajaran
solidaritas sosial, keberanian, dan keuletan. Semua tukang becak komitmen
mengayuh dan mengantarkan penumpangnya hingga ke tujuan. Terus mengayuh tanpa
mengeluh.
Tukang becak adalah guru pegiat literasi. Dia mengantar
penumpangnya untuk sampai ke tujuan. Seperti pegiat literasi di taman bacaan
pun hanya mengantar anak-anak yang membaca ke masa depan. Melalui buku-buku
bacaan, melalui aktivitas literasi yang dijalaninya. Maka taman bacaan bukanlah
tujuan, tapi jalan untuk mengantar anak-anak yang membaca lebih punya harapan.
Tetap optimis menatap masa depan, apa pun kondisinya.
Mengayuh terus tanpa mengeluh. Spirit itulah yang dipegang TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak
Bogor. Saat berdiri di tahun 2017, TBM
Lentera Pustaka awalnya hanya menjalankan taman bacaan dengan 14 anak yang
bergabung dan koleksi bukunya pun hanya 600 buah. Tidak punya relawan. Hanya
untuk menyediakan akses bacaan kepada anak-anak di daerah yang angka putus
sekolahnya tergolong tinggi. Niatnya hanya untuk menekan angka putus sekolah. Tapi
kini setelah 5 tahun berjalan dan dengan mengembangkan model “TBM Edutainment”,
TBM Lentera Pustaka sudah menjalankan 13 program literasi, yaitu: 1) TAman BAcaan (TABA) dengan 140 anak pembaca aktif usia sekolah yang berasal dari
3 desa, setiap anak pun mampu membaca 3-8 buku per minggu per anak, 2)
GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA
(Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim
yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai sekolah, 5) JOMBI (JOMpo BInaan)
dengan 8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7)
KOPERASI LENTERA dengan 33 ibu-ibu anggota, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU
(RAjin menaBUng) melalui celengan, 10) LITDIG (LITerasi DIGital) seminggu
sekali, 11) LITFIN (LITerasi FINansial) sebagai edukasi keuangan, dan 12) LIDAB
(LIterasi ADAb) untuk mengajarkan akhlak dan kesantunan, serta 13) MOBAKE
(MOtor BAca KEliling) yang beroperasi seminggu 2 kali. Dengan koleksi lebih
dari 10.000 buku dan didukung 18 relawan aktif, tidak kurang dari 250 orang
menjadi pengguna layanan literasi di TBM Lentera Pustaka setiap minggunya. Maka
pegiat literasi di taman bacaan, memang harus terus mengayuh seperti tukang becak
tanpa mengeluh. Ubah niat baik jadi aksinya.
Tukang mbecak dan pegiat literasi punya kesamaan. Sama-sama selalu
bersyukur atas apa yang mereka punya. Untuk terus mengayuh tanpa mengeluh.
Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar