Sarung selalu diidentikkan dengan santri atau orang pondok. Bahkan tidak sedikit orang yang menyangka orang yang sarungan sebagai orang tradisional. Tentu, boleh-boleh saja. Tapi yang pasti, sarung itu hanya simbol. Agar siapa pun bersikap lapang hati dan mau menerima realitas. Karena saat memakai sarung, tidak ada orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat atau jabatan. Semuanya setara saat sarungan. Sarung, tidak pernah membeda-bedakan manusia yang memakainya.
Tapi sayang, saat ini makin banyak orang
jarang sarungan. Jarang memakai sarung. Buktinya banyak orang gagal menahan
diri. Dikasih tontonan MotoGP malah yang dibahas soal pawang hujan. Gelaran
event internasional yang dikomentarin soal klenik-nya. Bukankah orang berdoa
untuk memberhentikan hujan tidak masalah? Lagi pula, cara orang dalam ikhtiar
dan doa kan berbeda-beda. Alsannya sederhana, karena jarang sarungan. Gagal fokus,
gagal menahan diri.
Makanya sarungan, agar mampu menahan
diri. Jadi tidak mudah reaktif apalagi emosional. Tidak gemar menebar hoaks.
Tidak suka ngomongin orang. Karena setiap manusia dilahirkan dengan segala
lebih dan kurangnya. Memakai sarung atau sarungan berarti mau menahan diri.
Sebab biasanya, apa yang ada di dalam sarung itu "sesuatu" yang
berbahaya. Makanya keris, pistol selalu ada sarungnya. Agar tidak berbahaya untuk
orang lain. Tapi sayang, mulut manusia tidak ada sarungnya? Jari-jari tangan di
medsos pun tidak ada sarungnya.
"Bagai menghasta kain sarung",
begitu kata pepatah. Artinya, jauhilah perbuatan yang sia-sia. Tidak usah
bicara yang tidak penting atau yang tidak dikuasai. Jangan sibuk untuk urusan yang
tidak bermanfaat. Fokuslah pada kebaikan. Seperti pegiat literasi di taman
bacaan yang selalu fokus menegakkan tradisi baca dan budaya literasi
masyarakat. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi di kampung-kampung. Karena
taman bacaan memposisikan sebagai tempat belajar
menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lainnya. Bukan hanya tempat
baca apalagi gudang buku. Taman bacaan yang menebar manfaat dan kebaikan sekecil
apa pun seperti yang dijalankan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor.
Kaum sarungan. Adalah simbol bagi mereka
yang tidak bertuhan kemewahan. Namun selalu berteman pada kesederhanaan. Hanya focus
menebar manfaat, menjalani kebaikan sekecil apa pun. Karena “urip iku mung
mampir ngombe”. Hidup itu hanya mampir sebentar.
Mamakai sarung atau sarungan. Tidak ada
urusan dengan gengsi atau prestise. Karena sarung mengajarkan pemakainya soal
nilai-nilai kehidupan. Untuk mampu menahan diri, tidak egois, Mau menjaga diri
dari nafsu dunia. Bahkan mampu melindungi orang lain agar tidak mendapat
keburukan darinya. Pakailah sarung untuk membangun peradaban baik. Tidak asal
omong, bukan asal celoteh. Sungguh, tidak ada bangsa atau lingkungan yang maju.
Bila kerjanya hanya omongan.
Di Indonesia itu, ada sarung ada
kerudung. Ada kebaya ada koteka. Semua jadi bukti bahwa selalu ada perbedaan pada
tiap manusia, tiap budaya. Berbeda itu fakta, tidak sama itu sesuatu yang lazi..
Tapi yang penting adalah menyikapi sebuah fakta. Seperti pesan moral sarung,
selalu mengajar satu akhlak. Yaitu, selalu melindungi apapun yang ada di
dalamnya. Selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Salam literasi #TamanBacaan
#PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar