Kamis, 03 Maret 2022

Hoaks Marak Akibat Akses Bacaan Mangkrak, Kok Bisa?

Jumlah hoaks dan informasi palsu diprediksi akan terus meningkat di tahun 2022 ini. Hingga Maret 2022 ini, data Kementerian Kominfo menyebut ada 2.136 hoaks seputar Covid-19 di media sosial dan 767 diantaranya berujung pada penegakan hukum. Sementara di tahun 2021, didapati 565.449 konten negatif. Covid-19 akan tetap jadi “primadona” isu hoaks. Ditambah soal penundaan pemilu tahun 2024 dan isu perseteruan kelompok cebong vs kadrun. Beragam tema gampang dijadikan hoaks. Intinya, hanya untuk membentuk opini yang salah di mata publik.


Hoaks kian marak karena akses bacaan mangkrak. Maka tidak ada jurus lain untuk menangkal hoaks, selain meningkatkan budaya literasi masyarakat. Caranya tentu dengan meningkatkan akses bacaan masyarakat. Agar mampu memperoleh informasi yang faktual dan objektif. Di samping menjaga transparansi data kepada publik.

 

Sudah pasti, hoaks terjadi akibat budaya literasi masyarakat yang rendah. Masyarakat yang tidak lagi mau membaca. Sudah lupa baca. Sehingga gagal mencari tahu kebenaran sumber informasi. Gagal memverifikasi berita. Hanya mampu menyebarluaskan, apalagi didasari sentimen politik. Semua informasi yang tidak berdasar fakta ditelan mentah-mentah dan disebarluaskan. Hoaks dan informasi palsu pun kian marak ke depan.

 

Adalah fakta pula tingkat literasi di Indonesia tergolong sangat rendah. Bayangkan saja. data Kemdikbud menyebut ada 39% dari seluruh SD di Indonesia belum punya akses bacaan atau perpustakaan. Dari 61% SD yang punya pun hanya 19% dalam kondisi baik. Di level SMP baru 76% yang punya akses tempat membaca dan hanya 22% yang kondisinya baik. Di jenjang SMA, ada 76% yang punya akses membaca, tapi hanya 33% dalam kondisi baik. Maka jelas, akses bacaan jadi masalah di Indonesia. Maka wajar, hoaks akan tetap merajalela ke depan. Karena akses bacaan dan tempat-tempat membaca tidak diperhatikan.

 

Bila mau jujur, saat ini tingkat ketersediaan akses bacaan untuk anak-anak Indonesia hanya terpenuhi 20% saja dari total kebutuhan 768.000 perpustakaan/taman bacaan. Akses bacaan adalah kata kunci tingkat literasi masyarakat, Bukan soal minat bacanya, Minat baca pasti terbentuk bila ketersediaan akses buku bacaan mudah. Akses bacaan anak dan masyarakat sangat sangat terbatas.

 


Dan celakanya saat ini, tidak kurang dari 150 juta penduduk Indonesia sudah memiliki akses internet. Sudah bermain media sosial setiap harinya. Maka berbagai informasi dan berita yang belum terbukti kebenarannya pun jadi mudah disebarluaskan. Konfirmasi terhadap kebenaran berita jadi diabaikan. Sehingga hoaks dan infomasi palsu pun kian marak.

 

"Hoaks di negeri ini makin marak, sayangnya akses bacaan pun mangkrak. Padahal upaya mencegah hoaks itu hanya bisa dilakukan melalui akses bacaan. Agar masyarakat lebih literat dan mampu memilah berita yang benar atau bohong. Tapi sayang, akses bacaan di Indonesia kondisinya memprihatinkan. Solusinya, hidupkan gerakan literasi untuk menangkal hoaks dan konten negatif di media sosial" ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi Indonesia dan Pendiri TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

Hoaks kian marak, akses bacaan mangkrak. Mungkin, bangsa Indonesia dan para kaum terdidik sudah lalai untuk meningkatkan akses bacaan kepada anak-anak dan masyarakat. Tanpa perilaku membaca dan tingkat literasi yang rendah, pasti jadi sebab masyarakat gampang bingung. Hingga sulit membedakan mana hoaks dan mana fakta?

 

Ada banyak kegaduhan di bumi Indonesia. Pada akhirnya berujung pada tingkat literasi yang masih rendah. Maka solusinya adalah tingkatkan akses bacaan di mana-mana. Jadi, siapa yang lebih mematikan antara hoaks atau akses bacaan? Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #GerakanLiterasi #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar