Jumlah hoaks dan informasi palsu diprediksi akan terus meningkat di tahun 2022 ini. Hingga Maret 2022 ini, data Kementerian Kominfo menyebut ada 2.136 hoaks seputar Covid-19 di media sosial dan 767 diantaranya berujung pada penegakan hukum. Sementara di tahun 2021, didapati 565.449 konten negatif. Covid-19 akan tetap jadi “primadona” isu hoaks. Ditambah soal penundaan pemilu tahun 2024 dan isu perseteruan kelompok cebong vs kadrun. Beragam tema gampang dijadikan hoaks. Intinya, hanya untuk membentuk opini yang salah di mata publik.
Hoaks kian marak karena akses bacaan mangkrak. Maka tidak ada
jurus lain untuk menangkal hoaks, selain meningkatkan budaya literasi masyarakat.
Caranya tentu dengan meningkatkan akses bacaan masyarakat. Agar mampu memperoleh
informasi yang faktual dan objektif. Di samping menjaga transparansi data kepada
publik.
Sudah pasti,
hoaks terjadi akibat budaya literasi masyarakat yang rendah. Masyarakat yang
tidak lagi mau membaca. Sudah lupa baca. Sehingga gagal mencari tahu kebenaran
sumber informasi. Gagal memverifikasi berita. Hanya mampu menyebarluaskan,
apalagi didasari sentimen politik. Semua informasi yang tidak berdasar fakta
ditelan mentah-mentah dan disebarluaskan. Hoaks dan informasi palsu pun kian marak
ke depan.
Adalah fakta pula tingkat literasi di Indonesia tergolong sangat
rendah. Bayangkan saja. data Kemdikbud
menyebut ada 39% dari seluruh SD di Indonesia belum punya akses
bacaan atau perpustakaan. Dari 61% SD yang punya pun hanya 19% dalam kondisi baik.
Di level SMP baru 76% yang punya akses tempat membaca dan hanya 22% yang
kondisinya baik. Di jenjang SMA, ada 76% yang punya akses membaca, tapi hanya
33% dalam kondisi baik. Maka jelas, akses bacaan jadi masalah di Indonesia. Maka
wajar, hoaks akan tetap merajalela ke depan. Karena akses bacaan dan
tempat-tempat membaca tidak diperhatikan.
Bila mau
jujur, saat ini tingkat ketersediaan akses bacaan untuk anak-anak Indonesia
hanya terpenuhi 20% saja dari total kebutuhan 768.000 perpustakaan/taman
bacaan. Akses bacaan adalah kata kunci tingkat literasi masyarakat, Bukan soal minat
bacanya, Minat baca pasti terbentuk bila ketersediaan akses buku bacaan mudah. Akses
bacaan anak dan masyarakat sangat sangat terbatas.
Dan
celakanya saat ini, tidak kurang dari 150 juta penduduk Indonesia sudah memiliki
akses internet. Sudah bermain media sosial setiap harinya. Maka berbagai
informasi dan berita yang belum terbukti kebenarannya pun jadi mudah
disebarluaskan. Konfirmasi terhadap kebenaran berita jadi diabaikan. Sehingga
hoaks dan infomasi palsu pun kian marak.
"Hoaks di negeri ini makin marak, sayangnya akses bacaan
pun mangkrak. Padahal upaya mencegah hoaks itu hanya bisa dilakukan melalui
akses bacaan. Agar masyarakat lebih literat dan mampu memilah berita yang benar
atau bohong. Tapi sayang, akses bacaan di Indonesia kondisinya memprihatinkan. Solusinya,
hidupkan gerakan literasi untuk menangkal hoaks dan konten negatif di media sosial"
ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi Indonesia dan Pendiri TBM Lentera
Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Hoaks kian marak, akses bacaan mangkrak. Mungkin, bangsa
Indonesia dan para kaum terdidik sudah lalai untuk meningkatkan akses bacaan
kepada anak-anak dan masyarakat. Tanpa perilaku membaca dan tingkat literasi yang
rendah, pasti jadi sebab masyarakat gampang bingung. Hingga sulit membedakan
mana hoaks dan mana fakta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar