Selain dikenal sebagai negeri yang ramah-tamah dan gotong-royong, Indonesia mungkin dikenal juga dengan budaya korupsi. Iya korupsi atau rasuah. Sebuah perbuatan bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, aatau mencuri. Sebuat saja maling. Akibat menyalahgunakan kepercayaan yang dikuasakan kepadanya. Untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Perilaku
nyata korupsi, diantaranya: 1) menukar kekuasaan dengan sejumlah uang atau
hadiah, 2) menyuap janji atau hadiah, 3) memeras atas nama jabatan, dan 4) menerima gratifikasi.
Semua itu bentuk perbuatan melawan hukum. Karena menyalahgunakan jabatan dan
kewenangan sehingga menajdi kesempatan untuk korupsi. Selain memperkaya diri
sendiri, korupsi juga merugikan keuangan negara.
Alhasil, Transparency International
Indonesia (TII) mengungkap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
tahun 2020 berada di skor 37, berada di peringkat 102 dari 180 negara yang
dilibatkan. Sementara Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2021 sebesar 3,88 pada skala 0
sampai 5. Artinya, budaya
korupsi masih tergolong tetap marak. Mungkin, karena masyarakat pun bersikap
toleran dan semakin permisif terhadap korupsi.
Sebut
saja kasus korupsi yang mendera anggota DPR yang lalu. Dijadikan tersangka akibat
dugaan korupsi pemberian
hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK. Diduga, dia
memberikan uang pelicin Rp 3,1 miliar kepada mantan penyidik KPK. Sementara dia
sendiri punya harta kekayaan mencapai 100 miliar. Terkadang tidak masuk akal,
kok sudah kaya masih saja mau korupsi. Di mana hati nuraninya ya?
Memang
sulit dibantah, banyak orang mengejar materi dan harta di zaman begini.
Agar dibilang kaya dan terpandang. Belum lagi gaya hidupnya yang luar biasa
hedonis dan konsumtif. Belanja barang bermerek ke luar negeri, nongkrong di
kafe-kafe, belum lagi memamerkan kekayaan. Sangat manusiawi sih. Tapi ya itulah
yang disebut tamak. Persis seperti orang makan yang tidak pernah merasakan
kenyang. Hingga lupa bersyukur atas karunia-Nya.
Sementara di kampung kecil di kaki Gunung Salak
(seperti di gambar), masih banyak warga yang hidup dalam kemiskinan. Makan saja
sehari dua kali. Hidup apa adanya dan tidak pernah berteriak lapar. Ada yang
kerjanya membersihkan kebun, ada yang jadi pembantu. Bahkan ada yang memelihara
ayam atau berkebun. Alias baru bisa punya uang bila ayamnya dijual atau
kebunnya panen. Mereka kaum ibu, yang sama sekali tidak pernah tahu apa yang
sedang terjadi dan dipermainkan bangsanya.
Maka tiap kali ada orang baik yang bersedekah, mereka
antusias menyambutnya. Bersyukur masih ada orang-orang peduli yang membantu
keadaannya. Entah mie instan, minyak goreng atau sekarung beras. Dengan senyum tersungging,
mereka pun merengkuhnya dibawa pulang. Untuk menyambung hidup dan makan
sehari-hari.
Itulah realitas masyarakat di sekitar TBM
Lentera Pustaka di Desa Sukaluyu di kaki Gunung Salak. Sebuah daerah yang tingkat
ekonomi masyarakatnya prasejahtera, angka putus sekolahnya tinggi karena 81%
tingkat Pendidikan sebatas SD, bahkan pernikahan dini pun sering terjadi. Sebuah
potret yang kontras antara perilaku koruptor dengan warga masyarakat. Setelah 4
tahun berdiri, kini TBM Lentera Pustaka pun terus berkembang dan menjalankan 12
program literasi ke masyarakat seperti: 1) TABA (TAman BAcaan) dengan 160 anak
pembaca aktif dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) dengan waktu baca 3
kali seminggu, kini setiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, 2) GEBERBURA
(GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf agar
terbebas dari belenggu buta aksara, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak
usia prasekolah, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan
4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut,
6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 31
ibu-ibu anggota koperasi simpan pinjam agar terhindar dari jeratan rentenir dan
utang berbunga tinggi, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10)
LITDIG (LITerasi DIGital) untuk mengenalkan cara internet sehat, 11) LITFIN
(LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb) untuk mengajarkan adab ke
anak-anak seperti memberi salam, mencium tangan, berkata-kata santun, dan
budaya antre. Tidak kurang 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM
Lentera Pustaka setiap minggunya.
Lalu apa hubungannya korupsi dengan taman bacaan?
Memang tidak ada hubungan langsung. Tapi setidaknya,
ada pesan moral untuk jangan korupsi bila masih banyak warga yang miskin dan
membutuhkan bantuan. Untuk apa memperkaya diri sendiri, sementara orang lain
yang membutuhkan tidak dibagi atau tidak menikmatinya. Korupsi itu bukan hanya
jahat. Tapi melukai hati dan pikiran orang-orang miskin. Bayangkan bila “uang
korupsi” itu disalurkan ke masyarakat miskin di Indonesia, insya Allah mereka
bisa lebih berdaya dan mandiri menata ekonominya.
Maka ke depan, TBM Lentera Pustaka pun akan memulai pendidikan
anti korupsi. Sebagai cara untuk memperkuat karakter anak-anak, di samping pencegahan
dini kepada masyarakat. Agar hidup lebih berkah lebih baik secara moral, bukan
hanya material. Taman bacaan di mana pun punya tanggung jawab moral. Untuk
mendidik anak-anak dan masyarakat agar menghindari perilaku koruptif. Tidak
boleh ,engambil sesuatu yang bukan haknya. Itulah akhlak yang dibutuhkan bangsa
Indonesia.
Pendidikan
anti korupsi di taman bacaan. Setidaknya mengajarkan anak-anak untuk tidak
melihat apapun dari luarnya semata. Tapi lebih baik mempercantik hati nurani
dan bertindak apa adanya. Pegiat literasi di taman bacaan, tidak perlu mengangkat
senjata ke medan perang. Tapi cukup mengajarkan pendiikan anti korupsi. Agar
tidak mau melukai hati orang lain.
Ada benarnya kata Mahatma Gandhi “Dunia ini cukup untuk
menampung apapun. Tapi tidak cukup menampung orang yang tamak dan serakah”.
Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
#KampungLiterasiSukaluyu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar