Hari Guru Nasional selalu diperingati tiap tanggal 25 November. Merdeka Belajar sebagai kebijakan pendidikan pun dianggap sudah berubah jadi gerakan. Hastag #BergerakDengan Hati pun jadi spirit baru para guru. Pro-kontra dunia pendidikan pun terus bergulir. Ada yang mengkritisi, ada pula yang memuji. Sementara pandemi Covid-19 bak “badai” yang menyentak dunia pendidikan.
Survei saya (Juli 2020) menyebut 7 dari 10 siswa
mengalami masalah saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pendemi Covid-19.
Kegiatan belajar-mengajar dinilai tidak efektif. Akibat guru hanya menjadikan PJJ sebagai pengganti tatap muka
di kelas. Tanpa mau menyederhanakan kurikulum. Bahkan kompetensi digital guru pun minim, bila tidak mau
dibilang rendah. Maka siapa pun menteri-nya, seperti apapun kurikulum-nya, guru
dan dunia pendidikan akan selalu menarik untuk dicermati.
Pertanyaannnya sederhana, bagaimana sosok guru yang idela di era merdeka
belajar?
Bila ideal itu didefinisikan sangat sesuai
dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki. Maka sosok guru yang ideal adalah guru yang mampu memenuhi harapan siswa dalam belajar,
bukan keinginan pemerintah. Guru ideal, tentu tidak hanya sebatas menguasai materi pelajaran dan
mampu mengelola kelas dengan optimal. Tapi guru ideal pun dituntut untuk mau belajar menemukan
inovasi pembelajaran yang kreatif. Utamanya kemampuan pedagogi digital seiring
dinamika era digital.
Sayangnya hari ini, guru yang ideal bisa
jadi masih “jauh panggang dari api”. Guru masih belum sesuai harapan. Karena
guru masih berpihak kepada birokrasi dan pemenuhan kewajiban atas profesi. Guru
belum berpihak kepada siswa. Belum berorientasi pada pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Bahkan
guru yang memiliki nilai-nilai karakter positif, kreatif, dan inovatif sehingga
mampu jadi teladan siswa mungkin masih sebatas harapan. Guru yang ideal masih sebatas dambaan, belum jadi kenyataan.
Diskursus tentang guru yang ideal, harusnya lebih dipertajam. Bukan hanya soal
kepangkatan atau kesejahteraan guru itu sendiri. Apalagi di masa pandemic Covid-19, lagi-lagi kompetensi guru dan kreativitas
pembelajaran digital guru menjadi penting ditingkatkan. Apalagi dari 4,1 juta guru di Indonesia
saat ini, masih ada 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik
dan 52% guru yang belum memiliki sertifikat profesi
keguruan.
Maka sosok guru ideal, terletak dua kata kunci. Yaitu 1) kompetensi dan 2) sikap Kompetensi guru bertumpu pada kemampuan
pedagodik yang mumpuni, khususnya pembelajaran digital. Lebih dari itu, guru
pun dituntut memiliki kompetensi professional, kepribadian, dan sosial dalam menjalankan tugas pengajaran. Kompetensi guru, mau tidak mau, harus ditopang oleh kualifikasi akademik yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Di samping guru yang selalu terlibat dalam program peningkatan kompetensi
pembelajaran (PKP). Sementara sikap guru menjadi penting sebagai sosok teladan bagi siswa. Nilai-nilai
karakter dan etos kerja yang positif harus melekat pada guru. Guru yang
bertanggung jawab dalam kegiatan belajar-mengajar dan pengembangan intelektual
siswa. Bukan guru yang sibuk mengurus sertifikasi dan kepangkatan semata. Guru
harus bangga terhadap bidang ajarnya. Bukan guru yang di media sosial mengomentasi
urusan-urusan tidak penting untuk dikomentari. Bila perlu, guru harus
berani bersikap untuk tidak terlibat pada urusan administrasi pendidikan yang
berlebihan. Maka kompetensi dan sikap guru harus jadi agenda utama pendidikan di
Indonesia.
Sejatinya,
guru ideal memposisikan proses belajar sebagai cara agar siswa mampu menemukan
potensi dan jati dirinya. Karena belajar bukan proses untuk mencetak siswa sebagai
“ahli” bidang tertnetu. Belajar bukan hanya pengetahuan namun memperkaya
pengalaman siswa. Maka guru
yang ideal tidak lagi dominan di dalam kelas. Bukan hanya memenuhi kewajiban kurikulum semata. Tapi guru yang mampu mengubah siswa yang kompeten sesuai dengan potensi dirinya. Guru yang mampu jadi fasilitator dalam membentuk
kepribadian siswa yang kokoh, baik secara intelektual maupun moral.
Sudah bukan
zamannya. Belajar hari ini hanya untuk menghasilkan siswa yang cerdas. Tapi gagal menciptakan generasi yang berkarakter, kreatif lagi kritis. Sudah cukup, guru yang ideal mampu
membuat kelas belajar jadi
lebih bergairah, lebih ber-energi. Dan akhirnya, guru pun mampu “melawan” kurikulum yang mengungkung kreativitas guru dalam
mengajar. Lalu mampu
memerdekakan siswa untuk lebih realistis dalam hidup sambil mencari solusi atas
semua persoalan hidupnya sendiri. Itulah proses pendidikan yang presisi, guru
yang literat.
Untuk menjadi sosok yang ideal, guru harus berani berbenah dan berubah.
Guru di era merdeka belajar, pendidik di era digital harus punya 5 (lima) orientasi
pembelajaran yang bertumpu pada: 1) pembelajaran yang bersifat praktis, bukan
teoretik, 2) akomodasi
proses belajar sebagai sarana siswa memperoleh pengalaman, bukan pengetahuan, 3) belajar untuk meningkatkan kompetensi dan sikap siswa, 4) penyederhaan kurikulum dan unit pelajaran yang substansial, dan 5) memiliki metode pembelajaran yang menarik
dan menyenangkan.
Jadi siapa guru yang ideal? Itulah guru yang mampu menjadikan belajar dan
pendidikan untuk melahirkan harapan; bukan pesimisme dan hujatan terhadap realitas tanpa memberi solusi. Guru yang bergelimang
kompetensi dan sikap yang positif. Agar ke depan, sosok guru ideal bukan lagi sebatas dambaan. Tapi segera direalisasikan. Selamat Hari Guru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar