Jumat, 03 September 2021

Perundungan di KPI, Bukti Literasi Akhlak Bobrok

Kasus perundungan di KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) viral dan menghebohkan. Pelecehan seksual yang dilakukan secara kolektif. Lima orang karyawan KPI kepada 1 orang karyawan kontrak. Di institusi yang terhormat di bidang penyiaran di Indonesia. Alih-alih mewadahi aspirasi dan menata penyiaran, KPI justru KPI menyiarkan kebobrokan yang menakjubkan. Perundungan dan pelecehan seksual di antara kaum sejenis.

 

Buah zakar dicoret pakai spidol. Itu contoh akhlak yang bejat. Bertindak intimidasi dan mem-bully orang lain yang tidak punya salah apapun. Sebagai rekan kerja sekantor, menyuruh membelikan makan secara paksa. Berlangsung sejak tahun 2012, terjadi berulang-ulang. KPI sebagai institusi “merasa” tidak tahu. Dilaporkan ke polisi, tidak ada tindak lanjut. Akhirnya viral dan kini heboh lalu diproses hukum. Lima lawan satu orang di kantor. Terjadilang perundungan dan pelecehan. Apa itu akhlak yang tidak boleh disebut bejat?

 

Orang-orang yang berkelompok memang arogan. Merasa benar atas tindakannya, bahkan omongannya. Bila ada 1 orang di luar kelompoknya, lalu secara keroyokan menganggap boleh melakukan apa saja. Merundung, mem-bully, bahkan melecehkan itu banyak terjadi di kelompok-kelompok seperti yang terjadi di KPI. Hanya di negeri ini, membenci menghina mengejek di-eskalasi kamu-kamu arogan yang ada di dalam kelompok atau komunitas. Asal sudah berkumpul, seolah boleh melakukan apa saja kepada orang lain. Arogan dan bejat akhlaknya.

  

Sungguh, ada persoalan akhlak di KPI. Kok bisa-bisanya rekan kerja diperlakukan seperti itu. Bak predator di tempat kerja. Manusia pemangsa orang yang dianggap lemah. Anakonda, jaguar, buaya, hiu, dan sing aitu hewan predator. Ternyata, di dunia kerja dan Lembaga terhormat pun ada predator. Akhlak yang predator. Hingga membuat korbannya trauma, tidak berdaya, dan megalami tekanan psikolois bertahun-tahun. Sekali lagi akhlak bejat.

 


Bila akhlak diartikan tingkah laku, perangai, atau tabiat. Maka jelas secara kolektif, pelaku perundungan dan pelecehan di KPI sangat pantas disebut manusia ber-akhlak bejat. Moralnya rusak lagi bobrok. Boro-boro menjalankan tugas mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Apa ada standar program siaran yang berkualitas. Bila dihuni karyawan-karyawan dengan akhlak dan moral perundung, peleceh yang kolektif begitu. Luar biasa.

 

Predator di tempat kerja, itulah judul yang pantas untuk kasus perundungan di KPI. Hanya bisa terjadi dari manusia-manusia ber-akhlak predator. Bukannya melindungi malah mengintimidasi. Bukannya mengayomi malah melecehi. Alhasil, mencoreng reputasi lembaganya sendiri.

 

Apa artinya kasus perundungan di KPI?

Selamat datang di zaman edan. Ketika orang-orang banyak “merasa menang dan boleh berbuat apa saja kepada orang lain”. Atas nama pertemanan asal berkelompok, mereka merasa boleh melakukan apa saja. Atas nama bercanda lalu menganggap sah melecehkan orang lain. Mulai dari gibah, intimidasi, bully, dan caci-maki ada di kelompok-kelompok.

Salah tebak, salah sangka. Itulah realitas hari ini, fakta yang terjadi di era digital. Dikira bersih ternyata kotor. Dikira baik ternyata bejat, dikira mulia ternyata hina. Begitu viral dan ter-ekspos, lalu mereka secara berkelompok lagi bilang “itu hanya ulah oknum”.  Di mana akhlak baik mereka? Jangankan berperilaku baik, berniat baik pun belum tentu bisa.

 

Hati-hati di mana pun. Jangan sampai salah tebak.

Dikira kawan ternyata lawan. Itulah yang terjadi hari ini. Karena banyak orang memaksa “pikiran salah” menjadi “perilaku benar”. Atas nama logika dan narasi, membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.

 

Kasus ini adalah fakta. Maka akhlak bejat itu bukti bukan ilusi. Manusia yang tidak literat ada di dekat kita. Salam literasi. #Tamanbacaan #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar