Zaman boleh maju, teknologi silakan canggih. Gaya hidup pun kian kesohor walaupun tekor. Itulah manusia “ambigu” di masa kini.
Ambigu.
Dapat diartikan “bermakna ganda, taksa”. Isa juga disebut “bias”. Sehingga
ambigu menjadikan banyak orang bingung. Punya stnadra ganda. Kiri boleh, kanan
boleh. Apa yang diomong berbeda dengan apa yang dilakukan. Apa yang dituju
berbeda dengan apa yang dijalankan. Ambigu.
Katanya
cinta bangsa Indonesia tapi kerjanya berceloteh tentang kekurangan dan
kesalahan bangsanya. Katanya beragama tapi kerjanya justru nyinyir terhadap
umat beragama. Katanya lagi “anti korupsi” tapi kerjanya mencari-cari salahnya
KPK. Katanya “menghormati proses hukum” tapi giliran dipanggil banyak
ngeles-nya. Ada pula orang yang berharap rezeki dari pekerjaannya. Tapi
pekerjaan itu pula yang selalu dikeluhkan. Sekali lagi, ambigu.
Memang,
manusia bila sudah ambigu itu susah ditebak. Bilangnya cinta tapi perilakunya
menghardik dan mencela. Bilangnya paham agama tapi kerjanya menyalahkan orang
lain. Manusia ambigu, kian tidak jelas arahnya. Mau kemana dan lewat mana jalannya?
Bingung dibuat sendiri.
Sebut
saja manusia ambigu di masa pandemi Covid-19.
Katanya
vaksin sebagai ikhtiar sehat. Tapi tidak sedikit orang yang tidak mau
di-vaksin. Katanya terjadi pelecehan seksual di kantor maka dilaporkan. Kini
justru dilaporkan balik orang yang melaporkan. Jadi, yang benar yang mana sih? Manusia
ambigu.
Seperti
anak ABG pacara. Saat jadian, cerita ke orang-orang bahwa “ini bakal jadi jodoh
gue yang dipertemukan untuk masa depan”. Ehh, sebulan kemudian, cerita lagi
bilang sudah putus. Katanya “Gue sudah berusaha, tapi emang tidak jodoh mau
diapain”. Anak muda zaman sekarang pun banyak yang ambigu.
Persis
katanya cinta pada bangsa dan negara. Hidupnya di bumi Indonesia, cari
nafkahnya pun di nusantara. Tapi saat bertutur yang diungkap ketidak-becusan
negaranya sendiri. Mengeluh melulu soal negara. Tidak beres-lah, tidak
becus-lah. Dia lupa, memang ada negara di dunia yang beres?
Manusia
ambigu. Makin kemari kayaknya makin banyak. Bilangnya “cinta” tapi kerjanya
“menyakiti”. Bilangnya “sayang” tapi perilakunya “berkeluh-kesah”. Manusia-manusia
ambigu. Lain di mulut, lain di hati, dan lain pula di perbuatan.
Sekarang
ini, manusia ambigu makin marak. Ada di TV ada pula di gurp WA. Apalagi di
media sosial. Bilangnya praktisi, akademisi, politisi. Tapi tiap ngomong
“sibuk” mencari salahnya orang, sibuk menjelek-jelekkan orang lain. Mengumbar
aib orang lain yang bukan kelompoknya. Bikin publik tambah bingung. Bukannya jadi
solusi justru tambah masalah.
Jelas
sudah. Manusia ambigu itu suatu waktu “menuntut” kenyamanan untuk dirinya. Tapi
di waktu yang lain, dia “merusak” kenyamanan orang lain. Suatu waktu dia minta
orang lain untuk “move on”. Tapi di waktu yang lain, dia sendiri tidak pernah
“move on”. Masalahnya, di situ-situ saja.
Manusia
ambigu ada di dekat kita. Enta mau sampai kapan?
Manusia
ambigu. Orang-orang yang tertawa lepas di siang hari. Tapi selalu menangis dan
uring-uringan di malam hari. Senang sama yang ramai tapi di malam hari terasa
sepi.
Makin
ambigu manusia ambigu itu.
Dulu saat
baru kerja, pengen punya ini pengen punya itu. Semua sudah tercapai. Dan sekarang
sudah punya semua; punya kendaraan, punya uang, punya rumah. Ehh, giliran
ditanya tentang hidup, jawabnya “tidak bahagia”. Ambigu sekali, sampai lupa
bersyukur. Kok bisa sih?
Manusia ambigu. Dia yang bilang “ada siang ada malam”. “Ada duka ada suka”. Ada sedih ada gembir. Ehh, pas giliran lagi kena duka dan sedih, bawaannya mengeluh melulu. Lalu bilang, Tuhan tidak berpihak pada dia. Tapi giliran lagi senang, euforia-nya luar biasa sampai lupa saat lagi sedih. Tuhan pun tiada dipedulikan.
Manusia
ambigu memang tidak literat. Standar ganda dan memuakkan. Manusia yang gagal
mengejar mimpi-mimpinya sendiri. Lalu menyalahkan orang lain. Manusia yang tidak
realistis namun hidup di masa kamuflastis. Manusia ambigu adlaah musuh bagi taman bacaan, lawan bagi pegiat literasi.
Manusia
ambigu itu mengerikan. Saat mereka bertanya “Kenapa kita hidup ya kalau pada
akhirnya mati. Kenapa kita ada ya padahal kita juga akan binasa?”. Begitulah
manusia ambigu. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
#KampungLiterasSukaluyu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar