Tiba-tiba video lama sebutan “picek” Bupati Banjarnegara viral lagi. Entah kenapa, masih banyak orang yang terlalu mudah mengumbar kontroversial lalu jadi polemik. Bahasa-bahasa yang tidak pantas pun jadi “biang” keributan yang tidak produktif. Mau sampai kapan bangsa Indonesia begini?
Agak prihatin, mencermati perilaku orang-orang yang gemar menimbulkan polemik.
Kata-kata atau bahasa yang kontroversial diangkat ke public lalu jadi
kontroversial. Sementara PPKM dengan berbagai level terus berlanjut di masa pandemic
Covid-19, Kian membatasi produktivitas. Dan bangsa Indonesi belum mampu “keluar”
dari kondisi pandemi untuk segera pulih dan normal. Sementara di Inggris sana,
premier league telah berputar dan penonton-nya membludak seakan tidak ada
Covid-19.
Jadi harusnya bagaimana kita berbahasa sebagai bangsa?
Saya berpendapat hati-hatilah dalam berkata-kata dan
berbahasa. Apalagi di media sosial atau di area publik. Jangan sampai karena sentimen
atau celetukan yang sifatnya informal jadi menimbulkan polemik dan
kontroversial. Hingga jadi masalah huku atau delik aduan. Patut diketahui, UU No. 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa jadi alat untuk menjerat
pelakunya. Bahkan di Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut “melarang setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”. Jadi, berhati-hatilah.
Bertutur kata dan menyebut “picek” lalu menjadi viral dan polemik sama
sekali tidak produktif. Kita masih ingat tentang penggunaan kata “anjay” oleh
seorang artis band. Belum lagi polemik yang timbul akibat istilah “pulang
kampung” dan “mudik” yang jadi perdebatan. Maka siapa pun pengguna Bahasa,
hati-hatilah dalam bertutur kata. Lalu bagi penyimak pun harus dilihat manfaat
dan konteks-nya. Agar tidak jadi ribut atau perdebatan yang tidak produktif. Carilah
bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.
Sebagai sikap dalam berbahasa, kata “picek” atau "anjay" yang dipolemikkan itu
bukanlah kata
baku. Itu hanya Bahasa gaul
atau bahasa lisan. Jadi agak sulit mempersoalkan “kata gaul” yang tidak ada di Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena sifatnya informal. Kata “picek” tidak ada
di KKBI, kata “anjay” pun tidak ada di KBBI. Lalu untuk apa dipersoalkan? Pasti
tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik. Jadi, kata-kata itu dipakai oleh orang yang
tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahkan kesantunan
berbahasa pun diabaikan. Kita cukup tahu kualitas berbahasa orang-orang tersebut,
mungkin masih sangat rendah. Kok bisa memakai Bahasa yang kurang
pas atau tendensi-nya negatif. Sama sekali kurang mendidik. Sehingga cukup disarankan memakai
kata-kata yang lebih baik atau lebih pantas. Agar tidak
jadi masalah, tidak jadi polemik. Selesai. Bila esok, ada yang
menggunakan kata-kata seperti "jijay", "alay", "lebay", "tokay",
dan sejeninya. Apa mau diributkan? Sungguh, sangat membuan waktu dan tidak produktif.
Maka siapa pun yang aktif di media sosial atau tokoh public harus
hati-hati. Jangan sampai gara-gara tuturan atau Bahasa jadi masalah. Secara prinsip, saat menggunakan bahasa atau kata-kat itu harus
memperhatikan dua hal: 1) bentuk bahasa dan 2) penggunaannya.
Misalnya, kata “picek”.
Secara bentuk kata "picek" tidak ada di KBBI, maka kata itu tidak pantas
digunakan karena tidak baku. Tapi bila penggunaan kata “picek” dijadikan
sapaan atau umpatan kepada seseorang ya berarti salah, tidak pantas digunakan.
Di sisi lain, setiap perilaku berbahasa dapat dilihat
dari sisi “makna”.
Seperti kata “picek” maka harus
dilihat konteksnya. Soal hubungan antara konteks luar
bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk
keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan
maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi
patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan
bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.
Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu
berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau
negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang
baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang
yang memakai bahasa itu. Di situlah terlihat kualitas berbahasa seseorang.
Maka, berbahasalah yang pantas dan berterima.
Kata-kata yang
diadopsi dari Bahasa gaul, seperti “pecek”, "anjay" dan sebagainya yang tidak pantas dan tidak
santun sebaiknya
diabaikan. Bagi yang paham, cukup diimbau mereka untuk
tidak menggunakan
kata-kata yang tidak pantas itu. Beri tahu mereka untuk menggunakan kata-kata
dan bahasa yang pantas. Bahasa yang santun. Agar tidka jadi polemik.
.
Lakoff, seorang linguis dari Universitas California menegaskan aspek penting dalam
berbahasa. Agar tidak menimbulkan friksi. Tentang pentingnya
kesantunan berbahasa yang harus dilihat dari 1) formalitas,
2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah,
ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa
berarti tidak santun. Bahasa yang tidak santun cukup diberi tahu yag santun dan
abaikan perdebatannya.
Selain itu, Bahasa pun ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu
menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat
kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi.
Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Maka saya menduga
kata "picek"
itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah. Jadi untuk
apa diributkan?
Sekali lagi, siapa pun berhati-hatilah dalam berbahasa.
Apalagi di media sosial. Intinya, setiap kata dan bahasa yang digunakan itu punya
kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan
tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif tentang persoalan sosial.
Jangan ribut soal kata-kat atau bahasa yang tidak berkualitas. Salam
bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar