Di negeri ini, katanya lagi ramai soal baliho, soal papan iklan tokoh politik. Di sudut-sudut jalan di berbagai daerah terpampang gambar “orang-orang top”. Ada yang menteri, ada yang ketua lembaga tinggi negara. Katanya lagi, baliho itu dipasang bukan untuk pilpres 2024. Bukan kampanye, bukan untuk mengangkat elektabilitas-nya. Aneh, tokoh politik itu. Rakyat-nya seperti dianggap “bego”. Jadi, untuk apa pasang baliho segede-gede gajah gitu? Berapa uang dihabiskan untuk baliho itu?
Jujur saja, buat saya baliho-baliho tokoh politik itu kian
menegaskan bangsa ini punya masalah moral yang serius. Kok bisa-bisanya di
tengah pandemi Covid-19, berkampanye hanya untuk kepentingan politik,
kepentingan kekuasaan. Baliho, papan iklan atau apalah tidak akan pernah
memberi solusi terhadap kesulitan rakyat. Tidak akan pernah jadi “obat”
masyarakat yang kini dirundung kesusahan. Jadi,
baliho itu semua tidak ada artinya. Tokoh politik, kadang bekerja tidak pakai “hati”.
Entah, moralnya kemana? Terlalu banyak berdalih.
Memang sih, ambisi politik seseorang wajar-wajar saja. Tapi sayang, di
saat yang sama, tokoh politik itu tidak memahami etika. Kurang etis dan tidak punya
empati terhadap persoalan rakyat. Mereka begitu tega membunuh hati Nurani atas
nama kekuasaan. Berkampanye di tengah pandemic Covid-19, di saat rakyat-nya didera
kesusahan. Itulah perbuatan yang kian menegaskan “politik itu kotor”.
Bisa
jadi, hari ini kian banyak tokoh politik atau orang-orang yang kehilangan hati
mereka sendiri. Atas nama kekuasaan, membolehkan semua perbuatan. Hati nurani-nya,
entah pergi kemana?
Beda dengan apa yang dilakukan TBM
Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sebulan sekali menggelar kampanye “Ayo
Baca”. Hanya mengajak anak-anak usia sekolah untuk membaca di taman bacaan.
Maklum, di wilayah ini, angka putus sekolah tergolong masih tinggi. Tingkat pendidikan
masyarakat-nya 81% SD dan 9% SMP. Maka kampanye “Ayo Baca” digelar. Agar dengan
membaca buku di taman bacaan, wawasan mereka bertambah. Sehingga “menolak”
untuk berhenti sekolah, akibat alasan apa pun.
Apa hasilnya? Alhamdulillah. Berkat kampanye “Ayo
Baca”, kini TBM Lentera Pustaka meiliki 168 anak-anak pembaca aktif dari
sebelumnya hanya 14 naak saat berdiri tahun 2017 lalu. Anak-anak yang membaca
buku seminggu 3 kali dan berasal dari 3 desa
(Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya). Selain itu, TBM Lentera Pustaka pun
menjalankan program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9
warga belajar buta huruf, KEPRA (Kelas PRAsekolah) yang diikuti 25 anak usia
PAUD, YABI (YAtim BInaan) yang menyantuni 16 anak yatim, JOMBI (JOMpo BInaan) dengan
8 jompo, dan KOPERASI LENTERA dnegan 25 ibu-ibu sebagai koperasi simpan pinjam untuk
mengatasi soal rentenir dan utang berbunga tinggi.
Kampanye, tentu sah-sah saja. Tapi hal yang lebih
penting dari kampanye adalah harus berujung pada “kemanusiaan”. Kampanye untuk membangun peradaban rakyat dan
memajukan pendidikannya. Silakan pasang baliho untuk “menasehati” rakyat akan
pentingnya membaca buku, pentingnya pendidikan tinggi. Bila perlu, pasang baliho
tentang kinerja baik yang telah dicapai. Bukan slogan, atau gembar-gembor untuk
kekuasaan semata.
Sungguh, kampanye terbaik adalah bekerja untuk kemanusiaan dan kebaikan
rakyat. Baliho terbaik itu yang mengingatkan pentingnya menebar manfaat untuk sesame
anak bangsa. Baliho tentang pentingnya membaca buku bagi anak-anak daripada
main gim online.
Jadi antara baliho tokoh politik dan kampanye ayo baca,
siapa yang menang? Salam
literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaanBalihoTamanBacaan #KampanyeAyoBaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar