Perasaan, bisa jadi satu hal yang kapasitas-nya bisa mengalahkan agama. Karena betapa banyak orang yang begitu percaya pada perasaannya. Rassa yang berubah jadi kepercayaan. Perasaan yang menghantui segala lini kehidupan. Merasa tidak mampu, merassa benci, merasa takut, merasa tidak sebanding, dan rasa-tasa lainnya.
Pandemi Covid-19 sudah setahyn lebih, perasaannya makin sakit. Takut dan frustrasi.
Bekerja dari rumah, kuliah dari rumah, perasaannya bingung. Serba salah. Entah,
zaman
now, sedikit-sedikit acuannya
perasaan. Merasa begini, merasa begitu. Kadang kita
bertanya, apa perasaan itu selalu benar?
Agak susah. Bila hidup, modalnya "main
perasaan".
Katanya, hidup sudah ada dalam scenario-Nya. Tapi di
saat yang sama, perasaannya begotu dominan. Lalu lupa, tidak semua hal
tergantung perasaan. Bahkan, tidak semua hal bisa dikaitkan dengan rasa. Karena
“rasa” itu bersifat personal, terlalu subjektif. Bahkan kadang tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Kenapa
ada orang suka membenci? Kenapa harus marah? Itu semua terjadi karena dia maunya
menyalahkan orang lain atas perasaan dia sendiri. Merasa begini, merasa
begitu lalu benci dan marah. Kok bisa?
Maka berhentilah, bermain dengan rasa. Karena tidak semua hal tergantung rasa. Perasaan itu tidak selalu
benar. Sekalipun tidak selalu enak. Ibarat di restoran. Tidak semua
resto rasa makanannya enak. Tapi resto zaman now, yang bikin enak itu tempatnya,
suasananya. Atau teman makannya yang bikin semangat. Apalagi orang lagi pacaran,
makanan tidak enak pun
dibilang enak.
Seperti aktivitas di taman bacaan, Pun tidak usah peduli
pada rasa. Takut sepi, takut tidak didukung, takut tidak punya buku. Bila aktivitasnya
positif dan praktiknya baik. Buka dan kelola saja taman bacaan. Tidak usah nge-gedein.
Percayalah, setiap perbuatan baik di taman bacaan pada akhirnya akan menemui
jalannya sendiri. Asal penih komitmen dan konsisten. Dan jangan pikirkan atau
risaukan rasa akibat orang lain.
Di dunia literasi, perasaan itu kemungkinannya hanya dua. Bila tidak manis
ya pahit. Bila tidak senang
ya benci. Bila tidak gembira ya sedih. Intinya, rasa itu tidak
jauh-jauh dari situ. Maka jangan bergantung pada rasa. Karena banyak orang
tertipu oleh perasaannya sendiri. Jadi hari ini yang dibutuhkan
bukan rasa. Tapi berani dan bersahabat dengan realitas. Harus
ada ruang yang lebih besar untuk realitas, untuk
kenyataan.
Katanya tidak ada
manusia yang hidupnya sempurna. Tapi di saat yang sama, ia pun menyesali
keadaannya sendiri. Benci, marah, kecewa bahkan mengeluh setiap hari. Mereka itu gagal bersahabat
dengan realitas. Terlalu
memnbesarkan rasa, terlalu percaya pada perasaann.
Rasa itu kecil. Perasaan itu tidak ada apa-apanya. Bila
paham caranya.
Setangkup garam itu bila ditabur
di segelas air pasti rasanya asin. Tapi setangkup garam tidak ada rasanya bila ditabur
di bak mandi apalagi danau. Jadi, rasa itu justru tergantung wadahnya, pada orangnya.
Semakin besar wadahnya, maka semakin tidak ada rasanya.
Orang literat itu tidak percaya rasa. Hanya percaya pada agama.
Sehingga tidak mudah mati rasa. Apalagi “beragama” pada perasaan. Hidup itu
cukup dengan ikhtiar baik dan doa baik. Karena hasil akhirnya pasti sesuai
dengan ketetapan-Nya. Bahwa apa yang kita punya saat ini, sudah pantas untuk kita. Salam
literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar